‘Serbuan’ Lalat di Kintamani Disorot
DPRD Usul Dilepas Predator Alami
BANGLI, NusaBali - Fenomena banyaknya lalat di wilayah Kintamani, Bangli menjadi perbincangan di media sosial. Anggota DPRD Bangli pun menyoroti fenomena lalat di wilayah Kintamani ini. Dinas terkait diharapkan melakukan langkah konkrit dalam menangani kondisi ini.
Anggota DPRD Bangli, Jero Gede Tindih mengatakan banyaknya lalat di Kintamani sebenarnya bukan hal baru. Namun sejak penggunaan pupuk mentah berupa limbah kotoran, populasinya semakin meningkat. "Selain kondisi alam dan lingkungan, pupuk juga sedikit menyumbang,” ungkap Jero Gede Tindih, Minggu (7/1).
Tidak dipungkiri banyaknya populasi lalat ini sedikit mengganggu pariwisata di Kintamani, terlebih saat ini jumlah kunjungan terbilang tinggi. Sejauh ini memang belum ada penelitian terkait lalat di Kintamani yang hinggap di makanan ataupun minuman akan menyebabkan penyakit. "Lalat yang ada di Kintamani ini bukan lalat bangkai, melainkan hanya lalat biasa. Memang kondisi ini menyebabkan tamu komplain. Sejatinya berbagai daya dan upaya sudah dilakukan pihak restoran, seperti menyalakan lilin. Tapi hasilnya nihil," jelasnya.
Menurut politisi asal Desa Songan, Kecamatan Kintamani ini, meningkatnya populasi lalat merupakan fenomena alam. Pihaknya pun menyarankan agar pemerintah daerah melepaskan burung ataupun predator alami untuk memakan lalat tersebut.
Jero Tindih mencontohkan, seperti hama tikus di Tabanan. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan melawan hama tersebut dengan cara melepaskan burung hantu (celepuk) yang merupakan predator alaminya. "Karena ini merupakan siklus alam, maka harus dilawan dengan alam juga. Artinya buyung atau lalat di Kintamani harus dilawan dengan burung yang merupakan predator alaminya. Namun demikian perlu dibarengi dengan aturan daerah, terkait pelarangan memburu burung tersebut," kata Politisi NasDem ini.
Jro Tindih menambahkan, solusi jangka panjang penanganan lalat harus dilakukan dari hulu ke hilir. Mulai dari pembinaan kepada petani terhadap pemakaian pupuk mentah, termasuk juga pembinaan kepada masyarakat mengenai hidup bersih.
Di sisi lain, Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan (PKP) Bangli, I Wayan Sarma menyampaikan jika banyaknya lalat di Kintamani merupakan fenomena biasa. Kemunculan lalat dalam jumlah besar terjadi pada musim-musim tertentu.
"Biasanya terjadi pada akhir tahun, yakni dari bulan November hingga Maret, saat musim buah di Kintamani," terangnya. Selain disebabkan oleh musim, peningkatan populasi lalat di Kintamani salah satunya diperkirakan akibat penggunaan limbah ternak sebagai pupuk. Sarma menjelaskan limbah ternak berupa sekam kotoran ayam boiler semestinya lebih dulu melalui proses fermentasi sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk.
“Kami sudah sempat melakukan edukasi untuk mengolah limbah ternak sebelum dijadikan pupuk. Hanya saja biayanya lebih mahal, dibandingkan dengan penggunaan limbah secara langsung,” jelasnya. Diakui jika di tahun 2023 pupuk organik pengadaan Dinas Pertanian Provinsi Bali sudah terserap secara maksimal. Kemudian untuk tahun 2024, pihaknya telah menyampaikan pada Pemerintah Provinsi agar lebih banyak diberikan porsi pupuk organik. "Penggunaan pupuk organik ini untuk meminimalisir pemanfaatan limbah kotoran ternak secara langsung. Untuk mengurangi populasi lalat, dibuat pula perangkap lalat. Salah satunya penggunaan 'likat kuning' (lem lalat),” sambungnya.
Disinggung terkait saran dari anggota DPRD Bangli agar menanggulangi lalat dengan predator, seperti burung tertentu, Wayan Sarma mengatakan akan mengkomunikasikan saran dan usul tersebut dengan UPTD Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Provinsi Bali. 7 esa
Tidak dipungkiri banyaknya populasi lalat ini sedikit mengganggu pariwisata di Kintamani, terlebih saat ini jumlah kunjungan terbilang tinggi. Sejauh ini memang belum ada penelitian terkait lalat di Kintamani yang hinggap di makanan ataupun minuman akan menyebabkan penyakit. "Lalat yang ada di Kintamani ini bukan lalat bangkai, melainkan hanya lalat biasa. Memang kondisi ini menyebabkan tamu komplain. Sejatinya berbagai daya dan upaya sudah dilakukan pihak restoran, seperti menyalakan lilin. Tapi hasilnya nihil," jelasnya.
Menurut politisi asal Desa Songan, Kecamatan Kintamani ini, meningkatnya populasi lalat merupakan fenomena alam. Pihaknya pun menyarankan agar pemerintah daerah melepaskan burung ataupun predator alami untuk memakan lalat tersebut.
Jero Tindih mencontohkan, seperti hama tikus di Tabanan. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan melawan hama tersebut dengan cara melepaskan burung hantu (celepuk) yang merupakan predator alaminya. "Karena ini merupakan siklus alam, maka harus dilawan dengan alam juga. Artinya buyung atau lalat di Kintamani harus dilawan dengan burung yang merupakan predator alaminya. Namun demikian perlu dibarengi dengan aturan daerah, terkait pelarangan memburu burung tersebut," kata Politisi NasDem ini.
Jro Tindih menambahkan, solusi jangka panjang penanganan lalat harus dilakukan dari hulu ke hilir. Mulai dari pembinaan kepada petani terhadap pemakaian pupuk mentah, termasuk juga pembinaan kepada masyarakat mengenai hidup bersih.
Di sisi lain, Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan (PKP) Bangli, I Wayan Sarma menyampaikan jika banyaknya lalat di Kintamani merupakan fenomena biasa. Kemunculan lalat dalam jumlah besar terjadi pada musim-musim tertentu.
"Biasanya terjadi pada akhir tahun, yakni dari bulan November hingga Maret, saat musim buah di Kintamani," terangnya. Selain disebabkan oleh musim, peningkatan populasi lalat di Kintamani salah satunya diperkirakan akibat penggunaan limbah ternak sebagai pupuk. Sarma menjelaskan limbah ternak berupa sekam kotoran ayam boiler semestinya lebih dulu melalui proses fermentasi sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk.
“Kami sudah sempat melakukan edukasi untuk mengolah limbah ternak sebelum dijadikan pupuk. Hanya saja biayanya lebih mahal, dibandingkan dengan penggunaan limbah secara langsung,” jelasnya. Diakui jika di tahun 2023 pupuk organik pengadaan Dinas Pertanian Provinsi Bali sudah terserap secara maksimal. Kemudian untuk tahun 2024, pihaknya telah menyampaikan pada Pemerintah Provinsi agar lebih banyak diberikan porsi pupuk organik. "Penggunaan pupuk organik ini untuk meminimalisir pemanfaatan limbah kotoran ternak secara langsung. Untuk mengurangi populasi lalat, dibuat pula perangkap lalat. Salah satunya penggunaan 'likat kuning' (lem lalat),” sambungnya.
Disinggung terkait saran dari anggota DPRD Bangli agar menanggulangi lalat dengan predator, seperti burung tertentu, Wayan Sarma mengatakan akan mengkomunikasikan saran dan usul tersebut dengan UPTD Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Provinsi Bali. 7 esa
Komentar