Pajak Hiburan Ancam Usaha Spa di Bali
Ketua BPC PHRI Badung
I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya
Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati
Ketua BPD PHRI Bali
PHRI sebut regulasi Pemerintah mestinya mempermudah dunia usaha
DENPASAR, NusaBali
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai pengenaan pajak hiburan sebesar 40 persen, mengacu UU No 1/2022 akan mengancam usaha spa di Bali. Dikhawatirkan banyak usaha spa yang akan gulung tikar, kalau pajak hiburan tersebut diterapkan. Hunian hotel akan terdampak juga, mengingat 90 persen hotel di Bali memiliki fasilitas spa di dalamnya.
Ketua BPC PHRI Badung I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya mengatakan regulasi semestinya mempermudah dunia usaha. “Jangan memberatkan,” ujar Gung Rai, sapaan tokoh pariwisata dari Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
Dia khawatir jika kenaikkan pajak ini diterapkan, akan berimbas terhadap konsumen atau wisatawan. “Katakanlah misalnya dari Rp 200 ribu naik menjadi Rp 240 ribu, bisa saja mengurangi customer yang datang,” ujarnya bernada menyayangkan. Jika wisatawan berkurang, hunian hotel menurun, industri pariwisata Bali secara keseluruhan akan terdampak.
Terkait itu, Rai Suryawijaya mengatakan negara lain yang nota bene merupakan pesaing Bali dalam industri pariwisata sebagai referensi, Thailand, merupakan salah satunya. Di negeri ‘gajah putih’ tersebut, pemerintahnya justru menurunkan pajak hiburan, untuk bisa lebih banyak mendatangkan wisatawan dari luar negeri.
“Kalau wisatawan(wisman) banyak datang, hunian hotel tentu meningkat. Dari sana pemerintah juga akan dapat meningkatkan pendapatan,” ujar Gung Rai yang juga Wakil Ketua BPD PHRI Bali.
Menurut Gung Rai Suryawijaya, terkait pengenaan pajak hiburan khususnya pada spa sebesar 40 persen, pihak terkait akan mengadakan seminar.
Ketua BPD PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace mengatakan seminar akan mendudukkan kembali spa pada posisi awalnya sebagai wellness, untuk kesehatan bukan sebagai hiburan.
“Itu antara lain tujuannya. Karena dampaknya akan banyak sekali nanti, kalau spa dimasukkan sebagai hiburan,” ujar tokoh pariwisata dari Puri Agung Ubud, Gianyar ini.
Kata dia, wisatawan nanti berlibur dan mau menikmati spa dengan maksud wellness sekonyong-konyong dimasukkan dalam kelompok hiburan.
Seminar tersebut akan mengundang pakar hukum, stakeholder dan pihak bidang kesehatan, kalangan industri sendiri dan lainnya. Rumusan dari seminar tersebut, nanti akan dijadikan rujukan untuk langkah selanjutnya.
Dikatakan Gung Rai Suryawijaya, kenaikkan pajak hiburan, termasuk usaha spa didalamnya, memang mengejutkan. Pertama karena kurang adanya sosialisasi. Yang kedua, dalam perumusannya, dirasakan tidak melibatkan unsur industry (usaha spa). Spa di Bali itu bukan hiburan, spa adalah wellness, soal kebugaran.
“Kalau orang mau hiburan tentunya bukan ke spa, bisa ke karaoke, diskotik atau yang lainnya,” ujarnya.
Di Bali menurut Gung Rai Suryawijajaya ada sekitar 5.000 hotel. Jumlah tersebut menunjuk keseluruhan jumlah akamodasi, mulai dari hotel bintang 3 -5, hotel melati atau non bintang, vila, guest house, home stay dan akomodasi lainnya. “Rata-rata memiliki atau sekitar 90 persen ada spa-nya,” jelasnya.
Senada, Ketua Bali Tourism Board (BTB) atau Gabungan Industri Pariwisata Bali (GIPI), Ida Bagus Agung Partha Adnyana mengatakan kenaikkan pajak hiburan, yang salah satunya dimana spa dimasukkan didalamnya potensial melemahkan daya saing pariwisata Bali.
Kondisi tersebut, berbalik dengan pesaing Bali, diantaranya Vietnam dan Thailand, dimana pemerintahnya justru memberi insentif kepada industri pariwisatanya dengan tujuan meningkatkan kunjungan.
“Ini memberatkan pariwisata Bali yang baru memulai pemulihan tahun 2022 setelah pandemi Covid-19,” ujar Gus Agung, sapaan pengusaha pariwisata asal Sanur, Denpasar. Menurutnya, sampai dengan 2025 nanti, pariwisata Bali masih belum stabil benar.
Khusus usaha spa di Bali menurut Gus Agung, salah kalau menganggap spa di Bali sebagai hiburan.“Dan spa tidak hanya ada di hotel berbintang, tetapi juga di hotel non bintang. Juga banyak diusahakan oleh UMKM,” jelasnya.
Tenaga kerja yang diserap merupakan tenaga kerja lokal. Demikian juga produknya, seperti scrab, ramuan merupakan produk UMKM. Karena itu spa di Bali banyak menyerap tenaga kerja dan produk UMKM.
“Kalau industrinya (usahanya) mati (karena kenaikkan pajak), UMKM tentu juga ikut mati,” ujar Gus Agung.
Untuk itu dia meminta pelaksanaan undang-undang (UU No 1/2022) ditunda. Dia berharap, undang-undang atau regulasi mesti berpihak pada pariwisata Bali. Gus Agung menilai, undang-undang terkait dengan kenaikkan pajak hiburan kurang berpihak pada pariwisata Bali, sehingga potensial melemahkan parwisata Bali. k17.
Komentar