Naik 40 Persen, Potensi Pendapatan dari Pajak Spa-Diskotek Rp 200 Miliar
MANGUPURA, NusaBali - Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Badung, Ni Putu Sukarini, menyebut potensi pendapatan dari spa, karaoke, bar, diskotek, hingga kelab malam pada 2024 mencapai Rp 200 miliar. Potensi pendapatan itu sudah memperhitungkan kenaikan pajak hiburan tersebut yang mencapai 40 persen.
Sukarini mengatakan wajib pajak spa di Gumi Keris mencapai 383 usaha. “Untuk penerimaan dari objek pajak spa, karaoke, diskotek, dan kelab malam sampai Desember 2023 kurang lebih sebesar Rp 95 miliar,” tuturnya Jumat (12/1) seperti dilansir detikcom.
Sebelumnya sejumlah kalangan keberatan dengan kenaikan pajak spa hingga 40 persen. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali Tjok Oka Artha Ardana Sukawati bakal menggugat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Undang-Undang 1 Tahun 2022 itu mengatur kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PJBT) dari 15 persen menjadi 40 persen dan maksimal 75 persen itu.
Sukarini sudah bertemu dengan sejumlah pengusaha spa yang keberatan dengan kenaikan PJBT. “Kami hanya sebagai pelaksana amanat UU dan kami akan sosialisasi kembali,” ungkapnya.
Pemkab Badung, Sukarini melanjutkan, menaikkan pajak hiburan menjadi 40 persen. Padahal, Pemkab bisa menaikkan pajak tersebut hingga 75 persen.
Sementara, Asosiasi Spa Indonesia (ASPI) telah melayangkan gugatan aturan pajak hiburan 40 persen hingga 75 persen ke (MK). Ketua I ASPI Mohammad Asyhadi mengatakan Pasal yang diujikan adalah Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2022. “Jumat, 5 Januari 2024 (ASPI masukkan gugatan ke MK). Untuk sidang menunggu jadwal MK. JR (judicial review) itu dilakukan karena menurut pendapat kami UU Nomor 1 Tahun 2022 bertentangan dengan UUD 1945,” katanya seperti dilansir CNNIndonesia.com, Jumat (12/1).
“Tuntutan JR ada di UU Nomor 1 Tahun 2022, Pasal 55 ayat (1), spa dimasukkan hiburan. ASPI (menuntut) mengeluarkan kategori spa dari hiburan. Kedua, Pasal 58 ayat (2) besarannya 40 persen sampai 75 persen itu tidak rasional. Menurut kami bertentangan dengan Pasal 1, di mana paling tinggi (tarif) Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) 10 persen,” tambah Asyhadi.
Dia mengutip beberapa aturan yang menekankan bahwa spa memang berdiri sendiri, tidak seperti hiburan kelab malam antara lain UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Spa, serta Peraturan Menparekraf Nomor 4 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata.
ASPI mengaku dilibatkan dalam penyusunan aturan Kemenkes dan Kemenparekraf, tetapi tidak diajak saat pemerintah menyusun UU HKPD. Asyhadi juga menegaskan belum menemukan kajian akademik soal UU Nomor 1 Tahun 2022.
Dalam kasus ini, perbedaan UU HKPD dengan aturan sebelumnya hanya ada di batas bawah tarif pajak hiburan untuk kelompok diskotek hingga spa. Pada UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah hanya disebutkan batas atas pajak untuk kelompok tersebut sebesar 75 persen, tanpa batas bawah.
ASPI menekankan sejak 2009 sudah berjuang untuk mengeluarkan spa dari kelompok hiburan seperti diskotek. Namun, tak berbuah hasil dan tetap dikelompokkan sebagai hiburan sejenis kelab malam di UU HKPD oleh Kemenkeu. 7
Komentar