PHRI Bali Ingin Spa Tak Masuk Kategori Hiburan
Meski Pajak 40 Persen Ditunda
MANGUPURA, NusaBali - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mengatakan tetap memperjuangkan agar status spa/mandi uap tidak masuk dalam kategori hiburan meskipun pada, Rabu (17/1) lalu Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan sudah menyampaikan agar dilakukan penundaan penerapan pajak 40-75 persen itu.
“Tetap diperjuangkan, itu kan penundaan untuk 40 persen, sementara dua hal yang substansial bagi kami adalah kedudukan spa yang disebut bagian hiburan dan kenaikan pajak hiburan itu sendiri, itu dua hal yang diperjuangkan,” kata Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Sabtu (20/1).
Cok Ace, sapaannya, mengaku senang ketika dukungan dari pemerintah pusat masuk, namun ia tak dapat membendung semangat pengusaha spa yang mengajukan judicial review terkait Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 itu ke Mahkamah Konstitusi.
PHRI Bali yang menjadi induk dari Bali Spa and Wellness Association (BSWA) merasa jika nantinya pajak 40 persen diberlakukan maka pengusaha spa tidak akan mendapat keuntungan. Dengan margin 25-35 persen saja menurutnya sudah paling tinggi, sementara jika dihadapkan dengan 40 persen maka tidak ada keuntungan yang bisa diperoleh pengusaha.
Maka dari itu, di samping dukungan Menkomarves Luhut Binsar terkait penundaan penerapan pajak, PHRI Bali tetap ingin MK meninjau undang-undang tersebut, termasuk demi pengusaha hiburan di luar spa yang baru bangkit. Selain itu, posisi spa/mandi uap dalam kategori hiburan perlu dipertanyakan, lantaran dalam peraturan yang diatur Kemenparekraf menyebutkan bahwa spa bukan kelompok hiburan dalam kepariwisataan.
Sejauh ini di Bali baru Kabupaten Badung yang berani mengambil tindakan dengan secara resmi menunda penerapan pajak spa 40 persen dengan menetapkan kembali di angka 15 persen. Ketua PHRI Bali yang merupakan Wakil Gubernur Bali 2018-2023 ini berharap kabupaten/kota lainnya segera menyusul, lantaran ada klausul bahwa kepala daerah memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan. Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan sepakat untuk menunda penerapan kenaikan pajak barang jasa tertentu (PBJT), agar tidak merugikan masyarakat dan pelaku usaha kecil.
"Jadi kita mau tunda saja dulu pelaksanaannya karena itu dari Komisi XI kan sebenarnya, bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu. Sehingga kemarin kita putuskan ditunda, kita evaluasi," kata dia. Sebelumnya pengusaha yang tergabung dalam Bali Spa and Wellness Association (BSWA) yang bernaung di bawah PHRI Bali menyampaikan keberatan atas pengenaan pajak hiburan 40-75 persen yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Keberatan itu disampaikan Ketua BPD PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) yang datang menemui Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya bersama jajaran pengurus BSWA Bali di Kantor Gubernur Bali, Niti Mandala, Denpasar, Senin (15/1). Cok Ace menggarisbawahi amanat Undang-undang (UU) yang memasukkan usaha mandi uap/spa sebagai hiburan. Sebab menurutnya, spa yang berkembang di Bali memiliki kekhasan dan telah diakui WTO (World Trade Organization) sebagai usaha di bidang kesehatan.
Pria yang telah menjabat sebagai Ketua PHRI Bali selama empat periode ini lantas membeberkan cikal bakal terbentuknya BSWA yang mewadahi pengusaha spa dan wellness di Pulau Dewata. Terbentuk pada tahun 2002, organisasi ini hadir untuk menepis stigma negatif panti pijat. Awal terbentuknya, BSWA Bali beranggotakan 13 pengusaha dan terus bertambah dan sekarang telah mencapai 185 anggota. “Sejalan dengan penambahan anggota, BSWA terus berupaya meningkatkan kualitas layanan melalui pelatihan SDM sehingga usaha spa di Bali banyak meraih penghargaan,” ucapnya.
Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 ini menambahkan, usaha spa yang berkembang di Pulau Dewata memiliki keunikan karena dalam pengembangannya juga membawa misi penggalian dan pengembangan potensi lokal ‘boreh Bali’. “Dengan memanfaatkan potensi dan kearifan lokal, spa kita sangat disukai oleh wisatawan,” imbuhnya.
Pada bagian lain, Panglingsir Puri Ubud ini juga merujuk definisi WTO yang menyebutkan bahwa spa yang berkembang di Bali linier dengan usaha kesehatan, bukan hiburan. “Karena spa di Bali memang berbeda dengan yang berkembang di luar,” kilahnya. Menurut Cok Ace, saat ini usaha spa mengaplikasikan produk kearifan lokal tersebut kepada wisatawan. Boreh rempah-rempah dan produk lokal lain di antaranya sabun dan pengharum ruangan diproduksi sepenuhnya oleh pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Boreh merupakan bagian budaya dan tradisi lokal Bali berupa lulur yang terbuat dari olahan rempah-rempah dan berguna sebagai pengobatan tradisional dengan sensasi hangat dan menenangkan tubuh. Keunikan tersebut, kata dia, menjadikan Bali sebagai salah satu referensi wisatawan yang menginginkan wisata spa.
Atas dasar itu, pihaknya menyampaikan keberatan kalau usaha spa di Bali dikenakan pajak hiburan 40-75 persen. BSWA Bali juga telah menempuh upaya mengajukan judicial review atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022. “Judicial review telah kami ajukan 5 Januari dan tercatat telah terdaftar 22 pemohon, termasuk pengusaha dari luar Bali,” sebutnya. 7 ant
Cok Ace, sapaannya, mengaku senang ketika dukungan dari pemerintah pusat masuk, namun ia tak dapat membendung semangat pengusaha spa yang mengajukan judicial review terkait Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 itu ke Mahkamah Konstitusi.
PHRI Bali yang menjadi induk dari Bali Spa and Wellness Association (BSWA) merasa jika nantinya pajak 40 persen diberlakukan maka pengusaha spa tidak akan mendapat keuntungan. Dengan margin 25-35 persen saja menurutnya sudah paling tinggi, sementara jika dihadapkan dengan 40 persen maka tidak ada keuntungan yang bisa diperoleh pengusaha.
Maka dari itu, di samping dukungan Menkomarves Luhut Binsar terkait penundaan penerapan pajak, PHRI Bali tetap ingin MK meninjau undang-undang tersebut, termasuk demi pengusaha hiburan di luar spa yang baru bangkit. Selain itu, posisi spa/mandi uap dalam kategori hiburan perlu dipertanyakan, lantaran dalam peraturan yang diatur Kemenparekraf menyebutkan bahwa spa bukan kelompok hiburan dalam kepariwisataan.
Sejauh ini di Bali baru Kabupaten Badung yang berani mengambil tindakan dengan secara resmi menunda penerapan pajak spa 40 persen dengan menetapkan kembali di angka 15 persen. Ketua PHRI Bali yang merupakan Wakil Gubernur Bali 2018-2023 ini berharap kabupaten/kota lainnya segera menyusul, lantaran ada klausul bahwa kepala daerah memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan. Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan sepakat untuk menunda penerapan kenaikan pajak barang jasa tertentu (PBJT), agar tidak merugikan masyarakat dan pelaku usaha kecil.
"Jadi kita mau tunda saja dulu pelaksanaannya karena itu dari Komisi XI kan sebenarnya, bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu. Sehingga kemarin kita putuskan ditunda, kita evaluasi," kata dia. Sebelumnya pengusaha yang tergabung dalam Bali Spa and Wellness Association (BSWA) yang bernaung di bawah PHRI Bali menyampaikan keberatan atas pengenaan pajak hiburan 40-75 persen yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Keberatan itu disampaikan Ketua BPD PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) yang datang menemui Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya bersama jajaran pengurus BSWA Bali di Kantor Gubernur Bali, Niti Mandala, Denpasar, Senin (15/1). Cok Ace menggarisbawahi amanat Undang-undang (UU) yang memasukkan usaha mandi uap/spa sebagai hiburan. Sebab menurutnya, spa yang berkembang di Bali memiliki kekhasan dan telah diakui WTO (World Trade Organization) sebagai usaha di bidang kesehatan.
Pria yang telah menjabat sebagai Ketua PHRI Bali selama empat periode ini lantas membeberkan cikal bakal terbentuknya BSWA yang mewadahi pengusaha spa dan wellness di Pulau Dewata. Terbentuk pada tahun 2002, organisasi ini hadir untuk menepis stigma negatif panti pijat. Awal terbentuknya, BSWA Bali beranggotakan 13 pengusaha dan terus bertambah dan sekarang telah mencapai 185 anggota. “Sejalan dengan penambahan anggota, BSWA terus berupaya meningkatkan kualitas layanan melalui pelatihan SDM sehingga usaha spa di Bali banyak meraih penghargaan,” ucapnya.
Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 ini menambahkan, usaha spa yang berkembang di Pulau Dewata memiliki keunikan karena dalam pengembangannya juga membawa misi penggalian dan pengembangan potensi lokal ‘boreh Bali’. “Dengan memanfaatkan potensi dan kearifan lokal, spa kita sangat disukai oleh wisatawan,” imbuhnya.
Pada bagian lain, Panglingsir Puri Ubud ini juga merujuk definisi WTO yang menyebutkan bahwa spa yang berkembang di Bali linier dengan usaha kesehatan, bukan hiburan. “Karena spa di Bali memang berbeda dengan yang berkembang di luar,” kilahnya. Menurut Cok Ace, saat ini usaha spa mengaplikasikan produk kearifan lokal tersebut kepada wisatawan. Boreh rempah-rempah dan produk lokal lain di antaranya sabun dan pengharum ruangan diproduksi sepenuhnya oleh pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Boreh merupakan bagian budaya dan tradisi lokal Bali berupa lulur yang terbuat dari olahan rempah-rempah dan berguna sebagai pengobatan tradisional dengan sensasi hangat dan menenangkan tubuh. Keunikan tersebut, kata dia, menjadikan Bali sebagai salah satu referensi wisatawan yang menginginkan wisata spa.
Atas dasar itu, pihaknya menyampaikan keberatan kalau usaha spa di Bali dikenakan pajak hiburan 40-75 persen. BSWA Bali juga telah menempuh upaya mengajukan judicial review atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022. “Judicial review telah kami ajukan 5 Januari dan tercatat telah terdaftar 22 pemohon, termasuk pengusaha dari luar Bali,” sebutnya. 7 ant
Komentar