Diyakini Jadi Tempat Nunas Tamba hingga Keturunan
Mengenal Lebih Dekat Pura Luhur Kubontingguh di Desa Adat Kukuh, Penebel, Tabanan
Awalnya areal pura ini adalah hutan belantara di wilayah pedukuhan yang dipimpin Ida Dukuh Sakti hingga sampai sekarang dibuatkan Palinggih Siwa Budha
TABANAN, NusaBali
Selain sebagai tempat sembahyang, Pura Dang Kahyangan Luhur Kubontingguh di Desa Adat Kukuh, Desa/Kecamatan Penebel, Tabanan juga diyakini sebagai tempat nunas tetambaan (kesembuhan). Tak sulit mencari lokasi Pura Luhur Kubontingguh. Dari kota Tabanan berjarak sekitar 15 kilometer itupun kondisi jalan telah mulus. Pura Luhur Kubontingguh berada 500 meter masuk dari jalan utama.
Pamangku Pura Dang Kahyangan Luhur Kubontingguh, Jro Mangku I Made Candra mengatakan sejarah dari Pura Luhur Kubontingguh menurut cerita berasal dari sebuah pedukuhan. Awalnya di areal pura ini adalah hutan belantara atau areal hutan Batukaru. Di pedukuhan ini dipimpin oleh Ida Dukuh Sakti hingga sampai sekarang dibuatkan Palinggih bernama Palinggih Siwa Budha. Nah, suatu hari ada salah satu keturunan dari Kerajaan Majapahit ingin mencari ketenangan untuk bersemedi. "Pada saat itulah bertemu dengan Ida Dukuh Sakti," beber Jro mangku Candra, Kamis (1/2).
Selain sebagai tempat sembahyang, Pura Dang Kahyangan Luhur Kubontingguh di Desa Adat Kukuh, Desa/Kecamatan Penebel, Tabanan juga diyakini sebagai tempat nunas tetambaan (kesembuhan). Tak sulit mencari lokasi Pura Luhur Kubontingguh. Dari kota Tabanan berjarak sekitar 15 kilometer itupun kondisi jalan telah mulus. Pura Luhur Kubontingguh berada 500 meter masuk dari jalan utama.
Pamangku Pura Dang Kahyangan Luhur Kubontingguh, Jro Mangku I Made Candra mengatakan sejarah dari Pura Luhur Kubontingguh menurut cerita berasal dari sebuah pedukuhan. Awalnya di areal pura ini adalah hutan belantara atau areal hutan Batukaru. Di pedukuhan ini dipimpin oleh Ida Dukuh Sakti hingga sampai sekarang dibuatkan Palinggih bernama Palinggih Siwa Budha. Nah, suatu hari ada salah satu keturunan dari Kerajaan Majapahit ingin mencari ketenangan untuk bersemedi. "Pada saat itulah bertemu dengan Ida Dukuh Sakti," beber Jro mangku Candra, Kamis (1/2).
Hingga suatu hari kemudian di lokasi pura sekarang dibangunlah pasraman terlebih dahulu, bersama warga pasek, hingga golongan lainnya. “Selanjutnya sekarang diakui Ida Pemecutan, seorang arya keturunan Majapahit yang disebut dengan Arya Yasan,” tegasnya. Pada saat itu lanjut Jero Mangku Candra, Ida Pemecutan ingin tempat tersebut khususnya dibangun pura kemudian terbentuklah palinggih seperti sekarang ini.
Asal-usul nama pura tersebut, kata Jro Mangku Candra awalnya berasal dari Banjar Bun, Desa Penebel. “Di sini namanya Banjar Bun, Penebel, belum ada Banjar Dukuh, Banjar Karadan. Tetapi hanya terdapat Banjar Bun, Penebel. Sedangkan Tingguh berasal dari tingguh, suasana hati seseorang yang inguh (bimbang, red) mencari ketenangan setelah terjadinya perang. Maka sampai saat ini disebut Kubontingguh,” ujarnya.
Foto: Pemangku Pura Dang Kahyangan Luhur Kebontingguh, Jero Mangku I Made Candra. -IST
Sehingga sampai sekarang penyungsung tidak berkenan lagi ada Banjar Bun karena terdahulu terjadinya sesuatu hal. Maka warga Banjar Bun dulu ada pindah ke utara lokasi tersebut yang sekarang disebut dengan Desa Adat Dukuh, dan ada juga yang pindah ke selatan disebut dengan Desa Adat Karadan. “Disebut Dukuh karena ada sarana Dukuh Sakti di sana, sedangkan ke selatan disebut dengan Karadan karena ngarad-ngaradan. Hal ini merupakan cerita turun temurun dari panglingsir kami yang ada di sini dan sampai saat ini yang ngempon pura dari dua desa adat (Dukuh dan Penebel) terdiri dari 150 kepala keluarga,” terang Jero Mangku Candra.
Sampai saat ini, Dang Kahyangan Pura Luhur Kubontingguh yang berlokasi di Desa Adat Dukuh, Desa Penebel ini pun diyakini sebagai tempat nunas tetambaan (pengobatan non medis). “Yang sering saya buktikan, ada yang sakit setelah nunas tamba di sini langsung sembuh. Bukan karena saya, tetapi beliau (Sesuhunan, red) yang tahu nambanin,” tegasnya. Termasuk mereka yang belum memiliki keturunan, kata Jero Mangku Candra ada yang nangkil (sembahyang) dengan menghaturkan pejati. Bahkan sekarang hingga menjelang pelaksanaan Pemilu tidak jarang ada Caleg yang nangkil ke pura tersebut.
“Biasanya saya hanya haturkan banten atau sarananya di ajeng (depan) Palinggih Siswa Buda. Sarana pejati sebagai pekeling, dan ada sarana daun pohon taru saja yang ada di utama mandala pura ini. Namun seluruhnya itu kembali lagi yang melaksanakan prosesi tersebut ke rasa atau keyakinan masing-masing," tandas Jero Mangku Candra. 7 des
1
Komentar