Akrabkan Drama Bali Modern di Hati Remaja
Serangkaian Bulan Bahasa Bali (BBB) VI 2024
Peserta yang hadir sangat kritis. Hal itu bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada narasumber. Ada yang menanyakan tokoh Rahwana yang digambarkan dalam bentuk buldoser. Itu yang diadaptasi dari tradisi ke seni modern.
DENPASAR, NusaBali
Penggiat teater di Bali, khususnya anak-anak muda (remaja) tampak antusias mengikuti Workshop Drama Bali Modern, serangkaian Bulan Bahasa Bali (BBB) VI 2024 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (3/2). Para peserta terdiri dari siswa SMA/SMK, penyuluh bahasa Bali, dan masyarakat umum.
Mereka tak hanya mendengarkan secara serius, tetapi juga aktif bertanya, sehingga suasana workshop menjadi lebih hidup. Apalagi, dilanjutkan dengan kegiatan praktik sehingga sebagian peserta dapat menyaksikan serta merasakan secara langsung.
Kurator BBB VI Drs I Gede Nala Antara MHum mengatakan, Workshop Drama Bali Modern serangkaian Bulan Bahasa Bali ini penting diberikan kepada remaja Bali, khususnya penggiat seni drama dan teater. Dengan begitu, mereka bisa membedakan yang mana drama tradisi dan drama modern. Dia pun mengakui, drama Bali modern belum banyak dipentaskan, kecuali dalam event-event tertentu.
Penggiat teater di Bali, khususnya anak-anak muda (remaja) tampak antusias mengikuti Workshop Drama Bali Modern, serangkaian Bulan Bahasa Bali (BBB) VI 2024 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (3/2). Para peserta terdiri dari siswa SMA/SMK, penyuluh bahasa Bali, dan masyarakat umum.
Mereka tak hanya mendengarkan secara serius, tetapi juga aktif bertanya, sehingga suasana workshop menjadi lebih hidup. Apalagi, dilanjutkan dengan kegiatan praktik sehingga sebagian peserta dapat menyaksikan serta merasakan secara langsung.
Kurator BBB VI Drs I Gede Nala Antara MHum mengatakan, Workshop Drama Bali Modern serangkaian Bulan Bahasa Bali ini penting diberikan kepada remaja Bali, khususnya penggiat seni drama dan teater. Dengan begitu, mereka bisa membedakan yang mana drama tradisi dan drama modern. Dia pun mengakui, drama Bali modern belum banyak dipentaskan, kecuali dalam event-event tertentu.
Menurutnya, drama Bali modern itu isinya terutama bahasa Bali. Namun, ketika menyajikan cerita yang menampilkan tokoh menggambarkan seorang dari Jawa tentu berbeda bahasanya. “Maka itu bahasanya bisa dicampur,” ucapnya.
Demikian pula, kalau tokoh itu orang Bali maka tidak mesti menggunakan bahasa Bali yang standar. Sebab, kalau tokoh itu dari Buleleng maka bisa saja menggunakan bahasa Bali dengan dialek Buleleng, demikian kalau tokohnya orang asing, maka mereka menggunakan bahasa Inggris. Kalau pun nantinya orang asing itu belajar bahasa Bali, tentu kemampuan sutradara yang akan mengelola dialog itu. “Itulah warna dalam drama Bali modern. Nah, tergantung dari alur cerita dan tokoh-tokohnya termasuk pula settingnya,” ucap dosen Bahasa Bali di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar, ini.
Lalu, mungkinkah drama Bali modern itu mengambil cerita dari teks tradisi yang diadaptasi menjadi modern. Menurut Nala Antara, drama Bali modern bisa mengangkat cerita modern dan bisa pula cerita tradisi yang diadaptasi kekinian. Itulah menurut Nala Antara yang mesti dipahami para peserta workshop.
“Peserta yang hadir sangat kritis. Hal itu bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada narasumber. Ada yang menanyakan tokoh Rahwana yang digambarkan dalam bentuk buldoser. Itu yang diadaptasi dari tradisi ke seni modern,” ucapnya.
Memang, peserta workshop yang hadir kali ini memang kritis dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Sebut saja Rio perwakilan dari penggiat teater SMA di Kota Denpasar menanyakan tentang batasan drama realis dan surealis. Widi perwakilan dari SMA di Gianyar menanyakan apakah dalam pertunjukan seni drama itu bisa memasukan unsur tari yang dominan, apakah nanti tidak seperti sendratari. Lalu Penyuluh Bahasa Bali dari Bangli, I Wayan Supardita menegaskan, apa sesungguhnya drama Bali modern itu.
Sastrawan Anak Agung Mas Ruscitadewi, yang tampil sebagai narasumber memaparkan, drama Bali modern merupakan salah satu seni pertunjukan di Bali. Drama itu menyajikan seni yang mengangkat cerita melalui jiwa dan raga seorang pemain drama.
Menurutnya, ada dua bidang seni yang terkait dengan pertunjukan drama, yakni sastra (cerita) ibaratnya sebagai ayah, dan seni pertunjukan sebagai ibu. Keduanya sangat berkaitan, seperti suami istri. “Drama itu tidak berada di depan atau belakang, tetapi ada di dalam jiwa dan raga pemain,” tegasnya.
Ia menambahkan, ada tiga hal yang penting dalam pertunjukan dalam drama Bali modern yaitu Wirasa atau rasa, Wiraga atau raga, dan Wirama atau tembang.
Ruscitadewi menuturkan, Wirasa itu tidak dapat dilihat, tetapi dirasakan. Sementara Wiraga adalah karya sastranya. Tak terkecuali apakah itu karya sastra berupa kekawin, geguritan, cerita, cerita panjang, puisi, drama dan lainnya. Karya sastra itu mempengaruhi drama secara keseluruhan.
Seni pertunjukan akan menjadi bagus, kalau ceritanya bagus. Karena drama tak bisa dipisahkan dengan cerita yang disajikan. Karena itu, wirasa drama, jiwanya ada pada karya sastra yang menjadi hal utama. “Bali memiliki banyak inspirasi dalam membuat drama, tetapi intinya adalah sering dan rajin membaca teks. Bukan hanya itu saja, tetapi juga membaca situasi dan kondisi. Karena seni itu intinya adalah kejujuran,” ungkapnya.
Sementara itu Wirama, jelas Ruscitadewi, sama dengan alur yang dipakai menggambarkan cerita. Ada yang memulai dengan cerita sedih, dilanjutkan dengan gembira, lalu bahagia atau lainnya.
Narasumber lainnya I Made Sidia memaparkan tentang Drama Wayang Modern Bali. Dosen pedalangan ISI Denpasar menyampaikan, drama wayang terdiri dari tradisi yang sesuai dengan pakem, drama wayang inovasi yang dibuat baru, serta drama wayang kontemporer yabg sesuai dengan perkembangan zaman (Bali jani). “Kalau membicarakan drama, wayang itu adalah drama. Ketika pertunjukan wayang tradisi ini dimulai dengan wirama, ada yang disajikan dengan menggelegar dan ada pula yang halus,” sebutnya.
Dijelaskan, pertunjukan drama tradisi pada umumnya tanpa naskah. Semua peran dan kisah itu dibagi di belakang panggung. Berbeda dengan drama modern yang memakai naskah. Sementara pada pementasan wayang umumnya memakai transkrip.
Ia menambahkan, perbedaan drama wayang tradisi dan modern juga dapat dilihat dari penggunaan layar. Wayang tradisi memakai kelir berukuran 3 atau 5 meter, sementara pada drama wayang modern menggunakan genre layar seperti film. Sidia mengatakan, drama wayang modern juga didukung dengan alat modern, seperti lampu sorot, proyektor yang kini disebut video mapping.7a
Komentar