GUPBI Bali Minta Peternak Mitigasi ASF
DENPASAR, NusaBali - Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali meminta para peternak babi di Pulau Dewata untuk memitigasi penyebaran penyakit African Swine Fever (ASF) saat peralihan musim, sebagai tindak lanjut dari imbauan Pemkab Badung agar mewaspadai virus tersebut.
“Untuk peternak jangan panik, karena situasi ini pasti akan kita hadapi tiap tahun. Saat peralihan musim pasti terjadi, cuma peternak jangan pernah abai karena melawan ASF hanya satu, tidak ada toleransi harus memperlakukan pengetatan,” kata Ketua GUPBI Bali I Ketut Hari Suyasa di Denpasar, Senin (5/2/2024).
Dia menjelaskan, adapun mitigasi yang dapat dilakukan seperti menjalankan bio security, dengan memperhatikan tiga hal yaitu orang, barang, dan hewan. Dengan komitmen itu maka semestinya penyakit ini tidak akan menyebar.
“ASF itu seperti Covid-19, kalau sudah ada di satu wilayah sangat sulit kita mengatakan tidak akan terjadi dampak lagi, karena tidak ada obatnya apalagi mortalitas dan mobilitasnya 100 persen, kecepatan serang dan daya bunuhnya 100 persen,” kata Hari.
Karena itu GUPBI Bali mengimbau peternak selalu mengantisipasi dengan perlakuan yang tepat, bahkan tidak hanya saat peralihan musim.
Hari menjelaskan, peralihan musim yang dimaksud adalah kemarau memasuki musim hujan atau sebaliknya, karena momentum tersebut umumnya kesempatan terbesar nyamuk dan lalat pembawa virus bertumbuh.
Dengan melakukan serangkaian upaya pengetatan terhadap hewan ternak masing-masing, menurutnya tidak perlu ada kekhawatiran, seperti dulu ketika virus ini masuk Bali akhirnya kepanikan di tingkat peternak yang mengakibatkan harga jual jatuh ditambah ketakutan masyarakat dalam mengonsumsi daging babi.
Maka dari itu GUPBI Bali mengapresiasi langkah antisipasi dari Pemkab Badung yang telah mengeluarkan arahan pengetatan kembali setelah melakukan uji terhadap salah satu ternak babi.
“Kalau sudah ditemukan dan keluar imbauan itu bagus, kabupaten lain harus melakukan hal sama, tapi lebih efektif edukasi bukan publikasi sehingga tidak akan ada salah tafsir apalagi harga babi baru tiga minggu berhasil naik setelah delapan bulan merugi,” kata Hari.
Sebelumnya harga daging babi berkisar pada Rp 33.000 – Rp 35.000 per kilogram, namun dalam tiga minggu terakhir sudah mencapai Rp 38.000 – Rp 42.000 per kilogram. 7 ant
Dia menjelaskan, adapun mitigasi yang dapat dilakukan seperti menjalankan bio security, dengan memperhatikan tiga hal yaitu orang, barang, dan hewan. Dengan komitmen itu maka semestinya penyakit ini tidak akan menyebar.
“ASF itu seperti Covid-19, kalau sudah ada di satu wilayah sangat sulit kita mengatakan tidak akan terjadi dampak lagi, karena tidak ada obatnya apalagi mortalitas dan mobilitasnya 100 persen, kecepatan serang dan daya bunuhnya 100 persen,” kata Hari.
Karena itu GUPBI Bali mengimbau peternak selalu mengantisipasi dengan perlakuan yang tepat, bahkan tidak hanya saat peralihan musim.
Hari menjelaskan, peralihan musim yang dimaksud adalah kemarau memasuki musim hujan atau sebaliknya, karena momentum tersebut umumnya kesempatan terbesar nyamuk dan lalat pembawa virus bertumbuh.
Dengan melakukan serangkaian upaya pengetatan terhadap hewan ternak masing-masing, menurutnya tidak perlu ada kekhawatiran, seperti dulu ketika virus ini masuk Bali akhirnya kepanikan di tingkat peternak yang mengakibatkan harga jual jatuh ditambah ketakutan masyarakat dalam mengonsumsi daging babi.
Maka dari itu GUPBI Bali mengapresiasi langkah antisipasi dari Pemkab Badung yang telah mengeluarkan arahan pengetatan kembali setelah melakukan uji terhadap salah satu ternak babi.
“Kalau sudah ditemukan dan keluar imbauan itu bagus, kabupaten lain harus melakukan hal sama, tapi lebih efektif edukasi bukan publikasi sehingga tidak akan ada salah tafsir apalagi harga babi baru tiga minggu berhasil naik setelah delapan bulan merugi,” kata Hari.
Sebelumnya harga daging babi berkisar pada Rp 33.000 – Rp 35.000 per kilogram, namun dalam tiga minggu terakhir sudah mencapai Rp 38.000 – Rp 42.000 per kilogram. 7 ant
Komentar