Akademisi Soroti Sengketa Pj Gubernur vs Kanwil BPN
DENPASAR, NusaBali - Kisruh gugatan Pj Gubernur Bali yang menggugat Kakanwil BPN Bali ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Denpasar mendapat tanggapan sejumlah akademisi. Hal itu ditegaskan dua akademisi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gede Suwardhana, SH, MH, dan Dr I Ketut Westra, SH, MH, Kamis (22/2).
Selain terang benderang Pj Gubernur melanggar pasal 53 ayat 1 UU PTUN, karena Pemprov Bali bukanlah badan hukum perdata yang berhak menggugat Keputusan Tata Usaha Negara yakni SK Pembatalan SHP No. 121 dan No. 126, Kuasa Hukum yang membela Pj Gubernur tersebut, diduga menggunakan bukti-bukti surat palsu yang bisa dilaporkan ke kepolisian.
Juga terindikasi melawan Instruksi Mendagri yang diucapkan saat pelantikan Sang Made Mahendra Jaya sebagai Pj Gubernur, serta secara terang-terangan melawan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara sebelumnya. Dalam putusan memenangkan I Made Sirta dkk, sekarang I Nyoman Mandra dan Ketut Nulung dkk dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.DPS.
Dua akademisi tersebut juga menyoroti peran pihak kuasa hukum, yang tidak memberikan advis yang patut kepada Pj Gubernur Bali. Sebab, bilamana pengacara Gubernur itu teliti, tentu gugatan sejenis tidak sampai diajukan karena bertentangan dengan UU PTUN. Kalau pengacaranya teliti, tentu tidak akan sampai menggunakan surat palsu, seperti diungkap oleh Wayan Sudirta. Yakni, bukti surat berkode P-27.
Bukti P-27 tersebut itu merupakan Surat Pernyataan Drs. I Ketut Adiarsa, M.H, Kepala Biro Asset Setda Provinsi Bali, tertanggal 18 Juni 2014. Dimana dalam pernyataan itu, Adiarsa yang berstatus PNS itu menyatakan, bahwa dia menggarap tanah DN 11 milik Pemprov Bali di Banjar Bakungsari Desa Unggasan, luasnya kurang lebih 143.000 m2. Namun, ada informasi, saat Adiarsa memberi keterangan di kepolisian atas adanya laporan dugaan penggunaan surat palsu dalam terbitnya SHP (sertifikat hak pakai) No. 121 dan No. 126/Pemprov Bali, ia mengaku tidak tahu siapa yang memasukkan keterangan atas nama dirinya dalam Surat Kantah Kabupaten Badung, dimana pernyataan menggarap itu menjadi salah satu dasar terbitnya dua SHP tersebut.
‘’Pandangan kami secara akademis, kerja-kerja profesi termasuk pengacara, memang mesti professional. Walaupun membela kepentingan klien, tidak boleh pembelaan dilakukan dengan melanggar hukum, termasuk penggunaan surat palsu. Guna membuat terang suatu perkara, serta membela kepentingan pihak yang benar-benar berhak, dugaan kepalsuan bukti surat itu mesti diusut sampai tuntas. Bisa dilaporkan ke polisi, siapa yang membuat surat palsu itu, siapa yang menggunakannya, untuk apa digunakan, kapan digunakan, siapa yang dirugikan,’’ kata Prof. Suardhana dan Dr Westra. 7 rez
Komentar