‘Marerebu’ Menjelang Galungan
SEBELUM wabah Covid-19 melanda, Nyoman Manu dengan seorang istri dan tiga anak, hidup berkecukupan. Ia punya bengkel motor dengan lima montir.
Tapi, ketika virus Covid meruyak, bengkelnya langsung kolaps. Satu per satu montir-montirnya pulang kampung ke Buleleng, ada yang ke Karangasem dan Negara, jadi petani, karena tak ada pasuh. Istri Manu mencoba menjual tipat plecing, sepi.
Lazimnya, saban merayakan Hari Sugihan, enam hari menjelang Galungan, keluarga Manu melaksanakan upacara marerebu dengan babi guling. Manu tak pernah peduli jika orang-orang berdebat tentang Sugihan Jawa dan Sugihan Bali saat marerebu. Bagi Manu, yang penting Sugihan Jawa ketika Wraspati Sungsang mesti disertai babi guling. Dan babi guling usai dipersembahkan di merajan, dinikmati bos bersama montir-montir itu. Ini seperti babak pendahuluan sebelum menikmati lawar Penampahan lima hari lagi. Pesta menyambut Galungan sudah dimulai, disertai bir dingin dan kulit babi guling. Kriukkk… kriukkk… huah ahhh…
Tapi, wabah Covid membuat semua jungkir balik. Tak ada cukup uang untuk marerebu dengan babi guling. Manu bahkan berniat tidak usah marerebu. Atau Sugihan dilakukan sederhana, tanpa babi guling, cukup ayam panggang. Kepada teman dekatnya dosen Institut Hindu Dharma (IHD), ia minta pendapat.
“Ya bisa saja, tidak apa-apa,” ujar si teman. “Berupacara harus dilaksanakan sesuai kemampuan.”
“Tapi, ini tradisi. Tidak marerebu dengan babi guling, aku melanggar tradisi. Aku takut dikutuk.”
Si teman tetap bersikukuh tidak apa-apa tanpa babi guling. “Atau begini saja, ganti babi guling itu dengan bebek guling. Bukankah bebek itu unggas suci? Harganya jauh lebih murah dibanding babi guling yang berjuta-juta seekor.”
Dahi Manu berkerut, menimbang-nimbang pendapat temannya. “Tak berani aku memutuskan, aku harus ke griya, bertanya pada sulinggih, orang suci, minta izin apakah diperkenankan mengganti babi guling dengan bebek guling. Kalau saja kamu orang suci, kuikuti langsung saranmu. Tapi, kamu kan dosen, bukan orang suci.”
Keberuntungan berpihak pada Nyoman Manu. Pendeta di Sanur yang ia mohon nasihatnya mengizinkan babi diganti bebek.
“Menghaturkan persembahan, harus semampu kita, dengan tulus, agar yang kita persembahkan sampai,” begitu alasan pendeta, sesungguhnya tak beda dengan pendapat dosen IHD itu.
“Tapi hamba khawatir, leluhur mengutuk hamba karena mengganti babi dengan bebek.”
Sulinggih itu terkekeh. “Tak ada leluhur yang mengutuk keturunannya. Tugas kawitan adalah melindungi, melimpahkan rezeki, bukan mendendam. Kalau sampai ada nenek moyang mengutuk keturunannya, itu kawitan pandir.”
“Banyak keluarga dan teman hamba sangat takut kalau sampai dikutuk leluhur.”
“Ah, itu cuma dongeng, hiasan hidup.”
Nyoman Manu akhirnya memutuskan mengganti babi guling dengan bebek guling di hari marerebu. Malam-malam sebelum upacara dilangsungkan, ia gelisah selalu, tak nyenyak tidur, sering bengong, seakan sangat bersalah. Ia khawatir stres, depresi, dan amit-amit jangan sampai stroke. Kalau sampai ia sakit, berat dan repot sekali keluarganya.
Ia mengajak istrinya bersemadi, berdoa khusuk di merajan sehari sebelum marerebu. Ia berdoa agar tidak disalahkan Hyang Widhi, dan leluhur bersedia memaklumi keadaan ini, semata disebabkan ekonomi keluarga terpuruk.
“Saya harus mohon apa dalam doa, Bli?” tanya istrinya lugu.
“Berdoalah agar permohonan yang Bli sampaikan dalam doa terkabul. Ini namanya doa dalam doa, biasanya ampuh. Di hari Galungan seperti ini kita harus gotong royong dalam berdoa. Doa yang disampaikan berlapis-lapis, ramai-ramai, biasanya lebih manjur,” sahut Manu, pelan.
“Bolehkah saya berdoa dan berharap, kalau ekonomi keluarga kita membaik, kita marerebu babi guling lagi?”
Nyoman Manu mengangguk-angguk pelan. Si istri manggut-manggut, pelan-pelan juga. Perempuan ini merasa, tumben suaminya jadi religius begini, gara-gara mengganti babi guling dengan bebek guling. 7
Lazimnya, saban merayakan Hari Sugihan, enam hari menjelang Galungan, keluarga Manu melaksanakan upacara marerebu dengan babi guling. Manu tak pernah peduli jika orang-orang berdebat tentang Sugihan Jawa dan Sugihan Bali saat marerebu. Bagi Manu, yang penting Sugihan Jawa ketika Wraspati Sungsang mesti disertai babi guling. Dan babi guling usai dipersembahkan di merajan, dinikmati bos bersama montir-montir itu. Ini seperti babak pendahuluan sebelum menikmati lawar Penampahan lima hari lagi. Pesta menyambut Galungan sudah dimulai, disertai bir dingin dan kulit babi guling. Kriukkk… kriukkk… huah ahhh…
Tapi, wabah Covid membuat semua jungkir balik. Tak ada cukup uang untuk marerebu dengan babi guling. Manu bahkan berniat tidak usah marerebu. Atau Sugihan dilakukan sederhana, tanpa babi guling, cukup ayam panggang. Kepada teman dekatnya dosen Institut Hindu Dharma (IHD), ia minta pendapat.
“Ya bisa saja, tidak apa-apa,” ujar si teman. “Berupacara harus dilaksanakan sesuai kemampuan.”
“Tapi, ini tradisi. Tidak marerebu dengan babi guling, aku melanggar tradisi. Aku takut dikutuk.”
Si teman tetap bersikukuh tidak apa-apa tanpa babi guling. “Atau begini saja, ganti babi guling itu dengan bebek guling. Bukankah bebek itu unggas suci? Harganya jauh lebih murah dibanding babi guling yang berjuta-juta seekor.”
Dahi Manu berkerut, menimbang-nimbang pendapat temannya. “Tak berani aku memutuskan, aku harus ke griya, bertanya pada sulinggih, orang suci, minta izin apakah diperkenankan mengganti babi guling dengan bebek guling. Kalau saja kamu orang suci, kuikuti langsung saranmu. Tapi, kamu kan dosen, bukan orang suci.”
Keberuntungan berpihak pada Nyoman Manu. Pendeta di Sanur yang ia mohon nasihatnya mengizinkan babi diganti bebek.
“Menghaturkan persembahan, harus semampu kita, dengan tulus, agar yang kita persembahkan sampai,” begitu alasan pendeta, sesungguhnya tak beda dengan pendapat dosen IHD itu.
“Tapi hamba khawatir, leluhur mengutuk hamba karena mengganti babi dengan bebek.”
Sulinggih itu terkekeh. “Tak ada leluhur yang mengutuk keturunannya. Tugas kawitan adalah melindungi, melimpahkan rezeki, bukan mendendam. Kalau sampai ada nenek moyang mengutuk keturunannya, itu kawitan pandir.”
“Banyak keluarga dan teman hamba sangat takut kalau sampai dikutuk leluhur.”
“Ah, itu cuma dongeng, hiasan hidup.”
Nyoman Manu akhirnya memutuskan mengganti babi guling dengan bebek guling di hari marerebu. Malam-malam sebelum upacara dilangsungkan, ia gelisah selalu, tak nyenyak tidur, sering bengong, seakan sangat bersalah. Ia khawatir stres, depresi, dan amit-amit jangan sampai stroke. Kalau sampai ia sakit, berat dan repot sekali keluarganya.
Ia mengajak istrinya bersemadi, berdoa khusuk di merajan sehari sebelum marerebu. Ia berdoa agar tidak disalahkan Hyang Widhi, dan leluhur bersedia memaklumi keadaan ini, semata disebabkan ekonomi keluarga terpuruk.
“Saya harus mohon apa dalam doa, Bli?” tanya istrinya lugu.
“Berdoalah agar permohonan yang Bli sampaikan dalam doa terkabul. Ini namanya doa dalam doa, biasanya ampuh. Di hari Galungan seperti ini kita harus gotong royong dalam berdoa. Doa yang disampaikan berlapis-lapis, ramai-ramai, biasanya lebih manjur,” sahut Manu, pelan.
“Bolehkah saya berdoa dan berharap, kalau ekonomi keluarga kita membaik, kita marerebu babi guling lagi?”
Nyoman Manu mengangguk-angguk pelan. Si istri manggut-manggut, pelan-pelan juga. Perempuan ini merasa, tumben suaminya jadi religius begini, gara-gara mengganti babi guling dengan bebek guling. 7
Aryantha Soethama
Pengarang
Pengarang
1
Komentar