Ritual Teruna dan Teruni Saling Sindir Semalaman
Materi yang diangkat dalam berbalas pantun untuk saling sindir saat ritual Masindihan adalah hasil ‘rekaman’ selama setahun tentang tindakan kaum teruna dan teruni yang nyeleneh.
Tradisi Masindihan di Desa Pakraman Talepud, Kecamatan Tegallalang, Gianyar (1)
GIANYAR, NusaBali
Ada banyak tradisi unik di wilayah Kabupaten Gianyar. Salah satunya, tradisi ritual keagamaan Masindihan di Desa Pakraman Talepud, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang. Masindihan adalah ritual berupa saling sindir teruna-teruni selama semalaman, dengan disaksikan semua tokoh desa.
Ritual Masindihan ini dilaksanakan setahun sekali pada Sasih Kapitu (bulan ketujuh sistem penanggalan Bali) di Pura Puseh, Desa Pakraman Telepud, bertepatan dengan karya piodalan pura tersebut. Pesertanya Sekaa Teruna Teruni (STT)---muda-mudi---, dengan disaksikan seluruh pamangku dari Pura Kahyangan Tiga, prajuru adat, dan krama setempat.
Tradisi ritual Masindihan biasanya digelar malam hari mulai pukul 20.00 Wita hingga subuh pukul 05.00 Wita. Masindihan berbentuk pertemuan massal seluruh teruna dan teruni, yang dilangsungkan di jaba tengah Pura Puseh. Sebelum ritual Masindhan dimulai, para teruna-teruni bersama krama adat terlebih dulu melaksanakan persembahyangan di Pura Puseh.
Nah, seusai persembahyangan, para teruna-teruni dan krama adat bukannya langsung pulang. Mereka semua, termasuk pamangku pura dan prajuru, kemudian menyiapkan ritual Masindihan. Persiapan Masindihan dilakukan dengan menempatkan kelompok teruna-teruni duduk saling berhadap-hadapan. Mereka semua masih mengenakan busaan sembahyang, duduk rapi di natar (halaman) pura.
Antara kaum teruna (remaja laki-laki) dan teruni (remaja perempuan) dibatasi kalangan (sejenis panggung) seluas 1 are yang posisinya datar dengan tempat duduk mereka. Di belakang dan samping mereka terdapat ratusan krama adat, para pamangku, dan prajuru desa di bagian depan. Di sekitarnya juga ada sekaa gong yang mengikuti prosesi ini sejak sebelum persembahyangan. Sebelum ritual puncak Masindihan, sekaa gong menabuh gambelan dengan gending-gending khas.
Menurut Kelian Sekaa Teruna Ayah, I Wayan Sumantara, puncak tradisi ritual Masindihan ini terletak pada nyanyian berpantun antar kaum teruna ditujukan kepada kaum teruni, dan sebaliknya. Intinya, mereka saling berbalas pantun berupa sasindihan (sindiran, Red) bermaterikan kritik sosial yang sangat jamak, mulai dari soal pergaulan sehari-hari, pekerjaan, kebiasaan unik dan lucu, sekolah, hingga hal-hal lainnya.
“Materi pantun ini merupakan hasil ‘rekaman’ atau tangkapan selama setahun tentang tindakan kaum teruna atau teruni yang nyeleneh,’’ ujar Wayan Sumantara didampingi Kelian STT Desa Pakraman Talepud, I Gede Bawa Sujana, 26, beberapa waktu lalu.
Bawa Sujana menegaskan, bentuk dan arti pantun yang dijadikan bahan Masindihan pun agak solah-soleh (beraneka ragam). Salah satu pantu itu, ‘Meli tabya di peken kaja, meli tomat aji keteng. Ada daha di Tempek Kaja, konden tamat sube nganten’. Artinya, ada teruna atau teruni di Tempek Kaja, namun belum tamat sekolah sudah menikah.
“Setelah pantun itu disampaikan oleh salah seorang, baik kaum teruna maupun teruni, pastilah dilanjutkan dengan suryak (sorak sorai) dari kelompok pemantun,’’ jelas Sumantara. Suryak tersebut diikuti dengan suara gambelan gong hingga terkesan ramai dan bergemuruh, serta memancing tawa riang krama setempat.
Dalam ritual Masindihan yang digelar semalaman tersebut, pantun-pantun yang dilontarkan bisa mencapai 6 pantun untuk masing-masing kelompok teruna dan teruni atau 12 pantun untuk kedua kelompok. Sedangkan ritual Masindihan sendiri digelar selama 9 jam hingga subuh pukul 05.00 Wita. Ritual Masindihan diakhiri setelah prajuru desa telah menyatakan cukup. Selanjutnya, seluluh krama termasuk para pamangku dan sekaa teruna-teruni pulang ke rumah masing-masing. 7 lsa
1
Komentar