Usaha Kapal Fiber Dikeluhkan Warga
“Di pantai barat itu ada Pulau Penyu. Destinasi itu dikunjungi oleh 3.000 wisatawan per hari. Jangan sampai akibat perbuatan oknum pengusaha yang tak ramah lingkungan itu berdampak pada kunjungan wisatawan”
DLHK Masih Menyiapkan Strategi
MANGUPURA, NusaBali
Keberadaan dari belasan hotspot usaha kapal fiber di pantai barat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung dikeluhkan oleh masyarakat setempat. Pasalnya, usaha kapal itu disinyalir tak mengantongi izin dan tak ramah lingkungan.
"Masalah keberadaan dari tempat usaha kapal ini sebenarnya sudah kami laporkan kepada Camat Kuta Selatan hingga kepada DLHK (Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan) Kabupaten Badung. Laporan itu hingga kini belum ada langkah nyata yang dilakukan," kata Bendesa Adat Tanjung Benoa I Made Wijaya, Kamis (26/7).
Pria yang akrab disapa Yonda itu berharap kepada Pemerintah Kabupaten Badung dalam hal ini DLHK untuk segera mengatasinya. Menurutnya, keberadaan lingkungan yang kumuh itu sangat berpengaruh terhadap objek wisata di pantai barat wilayah itu. "Di pantai barat itu ada Pulau Penyu. Destinasi itu dikunjungi oleh 3.000 wisatawan per hari. Jangan sampai akibat perbuatan oknum pengusaha yang tak ramah lingkungan itu berdampak pada kunjungan wisatawan," ujarnya, mengingatkan.
Dikonfirmasih terpisah, Camat Kuta Selatan I Made Widiana mengatakan, pihaknya sudah turun untuk memantau kondisi riil di lapangan. Pria yang baru menjabat sebagai Camat Kutsel ini mengaku kondisi pantai di tempat usaha kapal itu memang memprihatikan. Pihaknya pun berjanji segera mengagendakan untuk mengambil langkah tegas. "Kami akan undang semua pihak, termasuk DLHK untuk duduk bersama. Saya sepakat untuk melakukan penertiban terhadap pengusaha yang ada. Ini salah satu agenda penting yang menjadi prioritas kami," tuturnya.
Sementara itu, Kepala DLHK Kabupaten Badung I Putu Eka Merthawan dikonfirmasi, Kamis (27/7) mengatakan, penanganan terhadap banyaknya usaha yang tak ramah lingkungan dan tak berizin merupakan langkah prioritas, terutama yang di pantai barat Tanjung Benoa sampai Jimbaran.
"Dalam menangani masalah ini, kami tak mau gegabah karena langkah penyelesaian tak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus terintegrasi. Mengapa harus terintegrasi? Untuk menghindari terjadinya gesekan sosial di sana. Oleh karenanya kami harus duduk bersama dengan komponen adat, kelurahan, camat, Satpol PP, dan komponen dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali," tutur Merthawan.
Untuk itu pihaknya merencanakan awal Agustus ini akan melakukan rapat koordinasi untuk membahasnya. Rapat bersama dilakukan karena dalam menangani masalah ini masing-masing instansi mempunyai tupoksi berbeda. "Ini merupakan langkah kehati-hatian DLHK agar tak terjadi konflik. Jangan sampai kalau dilakukan secara parsial, pengusaha di sana mengklaim bahwa tanah tempat usahanya itu adalah miliknya. Untuk menghindari itu kami harus menyiapkan data. Kami akan koordinasi dengan kehutanan Bali. Kalau data semua lengkap saya rasa kecil kemungkinan mereka mengklaim. Kalau langsung memvonis, hemat kami itu tak menyelesaikan masalah. Justru akan terjadi gesekan dan klaim mengklaim. Tak mungkin mereka mau disalahkan. Kami tak mau terpancing untuk melakukan hal yang tak terpola," tegasnya.
Eka Merthawan mengaku hingga kini belum mengetahui secara persis berapa jumlah pengusaha yang ada di sana. Namun kuat dugaan banyak yang mencaplok lahan kehutanan (mangrove). Karena ada dugaan pencaplokan lahan, pihaknya memilih untuk melakukan komunikasi lintas instansi. “Makanya untuk mengetahui mana tanah milik negara dan mana milik pribadi harus melibatkan kehutanan dan harus dibuktikan dengan sertifikat kepemilikan tanah. Data dasar inilah yang belum kami pegang makanya kami terlebih dahulu melakukan koordinasi antar pimpinan unit dan wilayah. Jangan sampai terjadi saling salah pengertian. Boleh saja kita tegas dari segi yuridis, mungkin saja ada kesepakatan yang lain. Dalam hal inilah DLHK tak mau gegabah," pungkasnya. *cr64
Komentar