SBY-Prabowo Rapatkan Barisan
Dua tokoh nasional di luar pendukung pemerintah, Susilo Bambhang Yudhoyono alias SBY (Ketua Umum DPP Demokrat) dan Prabowo Subianto (Ketua Umum DPP Gerindra), menggelar pertemuan strategis jelang Pemilu 2019.
JAKARTA, NusaBali
Dalam pertemuan di kediaman SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7) malam, kedua tokoh sepakat bekerjasama tanpa koalisi.
Pertemuan SBY (yang notabene Presiden ke-6 RI) dan Prabowo Subianto (Calon Presiden di Pilpres 2014 lalu) tadi malam kental nuansa politik jelang Pilpres 2019. Dua Jenderal Purnawirawan TNI AD ini disebut-sebut menyatukan kekuatan untuk melawan kekuatan Megawati (Ketua Umum DPP PDIP yang Presiden ke-5 RI)-Joko Widodo alias Jokowi (Presiden ke-7 RI). Dari pertemuan semalam, SBY dan Prabowo membahas dan sepakati beberapa hal.
"Sejumlah hal kami bahas dan diskusikan dalam pertemuan malam ini (semalam) antara pemimpin Gerindra dan Demokrat. Kami sepakat untuk terus mengawal negara ini, mengawal perjalanan bangsa Indonesia dalam kapasitas kami dari posisi kami, agar perjalanan bangsa ini mengarah kepada arah yang benar,” ujar SBY dalam konferensi pers seusai pertemuan tadi malam.
SBY menegaskan, bila yang dilakukan negara sudah tepat sesuai kepentingan rakyat, maka akan didukung. Sebaliknya, jika pemerintah tidak tepat dan mencederai rakyat, pasti akan dikritisi, dikoreksi, dan ditolak. "Gamblang, tegas, terang bende-rang, itu sikap kami," tandas SBY yang juga Presiden ke-6 RI (2004-2014).
Dari pertemuan semalam, Gerindra dan Demokrat juga untuk untuk bekerja sama, meski tanpa ikatan koalisi. "Meski tidak dalam bentuk koalisi, karena kita kenal Koalisi Indonesia Hebat, Koalisi Merah Putih pun sudah mengalami pergeseran dan perubahan fundamental. Karena itu, kami memilih tidak perlu membentuk koalisi, yang penting kita meningkatkan komunikasi dan kerjasama," katanya.
SBY juga mengaku sudah 6 bulan tidak muncul di media. Meski demikian, SBY tetap memantau situasi politik nasional. SBY pun melontarkan pesan politiknya yang ditukukan kepada penguasa dan penyelenggara negara. "Power must not go uncheck. Artinya kami harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan tidak melampaui batas, sehingga tidak masuk apa yang disebut abuse of power. Banyak pelajaran di negara ini, manakala penggunaan kekuasaan melampaui batasnya masuk wilayah abuse of power, maka rakyat menggunakan koreksinya sebagai bentuk koreksi kepada negara," beber SBY.
Sementara, Prabowo Subianto bicara soal sikap 4 fraksi di DPR dalam paripurna RUU Pemilu sepekan lalu, yang menentang Presidential Threshold 20 persen, yakni Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS. Bagi Prabowo, Presidential Threshold 20 persen merupakan lelucon politik yang menipu rakyat.
"Jadi, terkait sikap Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS itu satu terkait UU Pemilu yang baru disahkan DPR," kata Prabowo. Menrutut Prabowo, keempat fraksi tidak ikut bertanggung jawab dalam pengesahan RUU Pemilu itu. Prabowo tidak mau ditertawakan oleh sejarah. Gerindra juga tidak mau ikut sesuatu yang melawan akal sehat dan logika. "Presidential Threshold 20 persen, lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia, saya tak mau terlibat," tegas Prabowo.
Menurut Prabowo, pihaknya khawatir demokrasi Indonesia ke depan akan dirusak. Karenanya, kondisi ini wajib dikawal. "Mengingatkan rekan-rekan di kekuasaan bahwa demokrasi membutuhkan semangat patuh kepada rules of the game dan ha-rus adil, serta tidak memaksakan kehendak dengan segala cara," lanjut mantan Calon Presiden (Capres) dalam Pilpres 2014 ini.
Sementara itu, pertemuan SBY dan Prabowo tadi malam dianggap sebagai fenomena yang menarik jelang Pilpres 2019. Koalisi SBY-Prabowo menuju Pilpres 2019 disebut-sebut akan melahirkan kekuatan besar untuk melawan kekuatan Megawati-Jokowi.
"Saya melihat pertemuan SBY dan Prabowo ini satu pembukaan yang akan memunculkan perkubuan politik yang hanya bisa diimbangi kombinasi Megawati dan Jokowi, puncaknya adalah 2019. Jika Jokowi terpilih kembali, tentu pemerintahan akan diteruskan. Jika Prabowo bisa mengalahkannya, tentu yang di luar pemerintahan saat ini yang akan meneruskan," ujar founder Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, dilansir detikcom di Jakarta, Kamis kemarin.
Denny menyebut ada empat pusaran kekuatan politik yang kuat dan punya pengaruh besar saat ini. "Pertama, Jokowi karena dia adalah Presiden. Jadi, semua gerak-gerak dia itu kuat. Kedua, Megawati selaku pemimpin partai terbesar saat ini (PDIP). Ketiga, SBY selaku mantan Presiden 10 tahun dengan jaringannya masih kuat dan dia juga ketua umum partai. Keempat, Prabowo yang dari segi elektabilitas partainya (Gerindra) kedua terbesar. Dia juga Calon Presiden terkuat kedua setelah Jokowi," papar Denny.
Nah, jika keempat kekuatan besar ini bergerak dan bermanuver, kata dia, akan besar efeknya dalam Pemilu 2019. "Nampak sekarang dua-dua, Mega-Jokowi satu kubu dan Prabowo-SBY di kubu lainnya. Jika ini terjadi, maka Indonesia akan kembali terpolarisasi menjadi dua kubu. Pertama, kubu Mega-Jokowi yang akan mencapreskan Jokowi. Kedua, Prabowo juga mungkin akan muncul kembali," imbuhnya. *
Dalam pertemuan di kediaman SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7) malam, kedua tokoh sepakat bekerjasama tanpa koalisi.
Pertemuan SBY (yang notabene Presiden ke-6 RI) dan Prabowo Subianto (Calon Presiden di Pilpres 2014 lalu) tadi malam kental nuansa politik jelang Pilpres 2019. Dua Jenderal Purnawirawan TNI AD ini disebut-sebut menyatukan kekuatan untuk melawan kekuatan Megawati (Ketua Umum DPP PDIP yang Presiden ke-5 RI)-Joko Widodo alias Jokowi (Presiden ke-7 RI). Dari pertemuan semalam, SBY dan Prabowo membahas dan sepakati beberapa hal.
"Sejumlah hal kami bahas dan diskusikan dalam pertemuan malam ini (semalam) antara pemimpin Gerindra dan Demokrat. Kami sepakat untuk terus mengawal negara ini, mengawal perjalanan bangsa Indonesia dalam kapasitas kami dari posisi kami, agar perjalanan bangsa ini mengarah kepada arah yang benar,” ujar SBY dalam konferensi pers seusai pertemuan tadi malam.
SBY menegaskan, bila yang dilakukan negara sudah tepat sesuai kepentingan rakyat, maka akan didukung. Sebaliknya, jika pemerintah tidak tepat dan mencederai rakyat, pasti akan dikritisi, dikoreksi, dan ditolak. "Gamblang, tegas, terang bende-rang, itu sikap kami," tandas SBY yang juga Presiden ke-6 RI (2004-2014).
Dari pertemuan semalam, Gerindra dan Demokrat juga untuk untuk bekerja sama, meski tanpa ikatan koalisi. "Meski tidak dalam bentuk koalisi, karena kita kenal Koalisi Indonesia Hebat, Koalisi Merah Putih pun sudah mengalami pergeseran dan perubahan fundamental. Karena itu, kami memilih tidak perlu membentuk koalisi, yang penting kita meningkatkan komunikasi dan kerjasama," katanya.
SBY juga mengaku sudah 6 bulan tidak muncul di media. Meski demikian, SBY tetap memantau situasi politik nasional. SBY pun melontarkan pesan politiknya yang ditukukan kepada penguasa dan penyelenggara negara. "Power must not go uncheck. Artinya kami harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan tidak melampaui batas, sehingga tidak masuk apa yang disebut abuse of power. Banyak pelajaran di negara ini, manakala penggunaan kekuasaan melampaui batasnya masuk wilayah abuse of power, maka rakyat menggunakan koreksinya sebagai bentuk koreksi kepada negara," beber SBY.
Sementara, Prabowo Subianto bicara soal sikap 4 fraksi di DPR dalam paripurna RUU Pemilu sepekan lalu, yang menentang Presidential Threshold 20 persen, yakni Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS. Bagi Prabowo, Presidential Threshold 20 persen merupakan lelucon politik yang menipu rakyat.
"Jadi, terkait sikap Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS itu satu terkait UU Pemilu yang baru disahkan DPR," kata Prabowo. Menrutut Prabowo, keempat fraksi tidak ikut bertanggung jawab dalam pengesahan RUU Pemilu itu. Prabowo tidak mau ditertawakan oleh sejarah. Gerindra juga tidak mau ikut sesuatu yang melawan akal sehat dan logika. "Presidential Threshold 20 persen, lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia, saya tak mau terlibat," tegas Prabowo.
Menurut Prabowo, pihaknya khawatir demokrasi Indonesia ke depan akan dirusak. Karenanya, kondisi ini wajib dikawal. "Mengingatkan rekan-rekan di kekuasaan bahwa demokrasi membutuhkan semangat patuh kepada rules of the game dan ha-rus adil, serta tidak memaksakan kehendak dengan segala cara," lanjut mantan Calon Presiden (Capres) dalam Pilpres 2014 ini.
Sementara itu, pertemuan SBY dan Prabowo tadi malam dianggap sebagai fenomena yang menarik jelang Pilpres 2019. Koalisi SBY-Prabowo menuju Pilpres 2019 disebut-sebut akan melahirkan kekuatan besar untuk melawan kekuatan Megawati-Jokowi.
"Saya melihat pertemuan SBY dan Prabowo ini satu pembukaan yang akan memunculkan perkubuan politik yang hanya bisa diimbangi kombinasi Megawati dan Jokowi, puncaknya adalah 2019. Jika Jokowi terpilih kembali, tentu pemerintahan akan diteruskan. Jika Prabowo bisa mengalahkannya, tentu yang di luar pemerintahan saat ini yang akan meneruskan," ujar founder Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, dilansir detikcom di Jakarta, Kamis kemarin.
Denny menyebut ada empat pusaran kekuatan politik yang kuat dan punya pengaruh besar saat ini. "Pertama, Jokowi karena dia adalah Presiden. Jadi, semua gerak-gerak dia itu kuat. Kedua, Megawati selaku pemimpin partai terbesar saat ini (PDIP). Ketiga, SBY selaku mantan Presiden 10 tahun dengan jaringannya masih kuat dan dia juga ketua umum partai. Keempat, Prabowo yang dari segi elektabilitas partainya (Gerindra) kedua terbesar. Dia juga Calon Presiden terkuat kedua setelah Jokowi," papar Denny.
Nah, jika keempat kekuatan besar ini bergerak dan bermanuver, kata dia, akan besar efeknya dalam Pemilu 2019. "Nampak sekarang dua-dua, Mega-Jokowi satu kubu dan Prabowo-SBY di kubu lainnya. Jika ini terjadi, maka Indonesia akan kembali terpolarisasi menjadi dua kubu. Pertama, kubu Mega-Jokowi yang akan mencapreskan Jokowi. Kedua, Prabowo juga mungkin akan muncul kembali," imbuhnya. *
1
Komentar