Digelar Tradisi Siat Yeh, Diawali Tari Rerejangan Sibuh Pepek
Tradisi Uni Saat Ngembak Gni Nyepi di Banjar Teba, Desa Adat Jimbaran, Kuta Selatan, Badung
Tari Rerejangan Sibuh Pepek jadi tambahan baru dalam tradisi ini, mencerminkan unsur sakral melalui penggunaan 'sibuh pepek', tempurung untuk menampung tirta
MANGUPURA, NusaBali
Krama Banjar Teba, Desa Adat Jimbaran, Kuta Selatan, Badung menghidupkan kembali tradisi unik yang telah menjadi bagian dari identitas budaya mereka. Sehari setelah Hari Raya Nyepi atau Ngembak Gni pada Anggara Pon Langkir, Selasa (12/3) digelar tradisi ‘Siat Yeh’ atau perang air, sebuah tradisi yang membawa pesan harmoni dan kesucian. Tahun ini, perayaan tersebut semakin istimewa dengan penambahan Tarian ‘Rerejangan Sibuh Pepek’, sebuah tarian yang dihelat sebelum perang air dimulai, menambah nuansa adat yang kental dalam perayaan tersebut.
Kelian Adat Banjar Teba, I Wayan Eka Santa Purwita menjelaskan Siat Yeh merupakan rekonstruksi dari kebiasaan masyarakat pesisir Jimbaran yang diapit oleh dua laut. Tradisi ini mencerminkan kehidupan masyarakat yang bermain di rawa di sisi timur dan di air pantai di sisi barat. Dilatarbelakangi oleh peristiwa Banyu Pinaruh dan Ngembak Gni yang bersamaan di tahun 2018, tradisi ini kini telah berevolusi menjadi pertunjukan yang meriah dengan dukungan penuh dari tokoh dan panglingsir adat setempat.
“Itulah yang menjadi cikal bakal, dari support panglingsir dan tokoh, jadinya kita sebagai pelaku seni di Banjar Teba menuangkan dengan bentuk garapan Siat Yeh dan menyanjikan dengan nyanyian dan tabuh atau gamelan,” paparnya saat ditemui di Banjar Teba, Selasa pagi kemarin. Eka Santa menyebutkan, sebelum tradisi dimulai, pihaknya telah melakukan persiapan sejak pukul 06.00 Wita dan acara berlangsung pada pukul 08.00 Wita. Tahun ini, Tarian Rerejangan Sibuh Pepek, menjadi tambahan baru dalam tradisi tersebut. Hal itu mencerminkan unsur sakral melalui penggunaan 'sibuh pepek', tempurung yang digunakan untuk menampung air suci.
Krama Banjar Teba, Desa Adat Jimbaran, Kuta Selatan, Badung menghidupkan kembali tradisi unik yang telah menjadi bagian dari identitas budaya mereka. Sehari setelah Hari Raya Nyepi atau Ngembak Gni pada Anggara Pon Langkir, Selasa (12/3) digelar tradisi ‘Siat Yeh’ atau perang air, sebuah tradisi yang membawa pesan harmoni dan kesucian. Tahun ini, perayaan tersebut semakin istimewa dengan penambahan Tarian ‘Rerejangan Sibuh Pepek’, sebuah tarian yang dihelat sebelum perang air dimulai, menambah nuansa adat yang kental dalam perayaan tersebut.
Kelian Adat Banjar Teba, I Wayan Eka Santa Purwita menjelaskan Siat Yeh merupakan rekonstruksi dari kebiasaan masyarakat pesisir Jimbaran yang diapit oleh dua laut. Tradisi ini mencerminkan kehidupan masyarakat yang bermain di rawa di sisi timur dan di air pantai di sisi barat. Dilatarbelakangi oleh peristiwa Banyu Pinaruh dan Ngembak Gni yang bersamaan di tahun 2018, tradisi ini kini telah berevolusi menjadi pertunjukan yang meriah dengan dukungan penuh dari tokoh dan panglingsir adat setempat.
“Itulah yang menjadi cikal bakal, dari support panglingsir dan tokoh, jadinya kita sebagai pelaku seni di Banjar Teba menuangkan dengan bentuk garapan Siat Yeh dan menyanjikan dengan nyanyian dan tabuh atau gamelan,” paparnya saat ditemui di Banjar Teba, Selasa pagi kemarin. Eka Santa menyebutkan, sebelum tradisi dimulai, pihaknya telah melakukan persiapan sejak pukul 06.00 Wita dan acara berlangsung pada pukul 08.00 Wita. Tahun ini, Tarian Rerejangan Sibuh Pepek, menjadi tambahan baru dalam tradisi tersebut. Hal itu mencerminkan unsur sakral melalui penggunaan 'sibuh pepek', tempurung yang digunakan untuk menampung air suci.
Foto: Tari Rerejangan Sibuh Pepek. -YUDA
Tarian ini merupakan bentuk penghormatan terhadap air sebagai sumber kehidupan dan kebersihan spiritual. Delapan penari muda perempuan, terbagi dalam dua kelompok menghadap timur dan barat, menampilkan tarian itu selama tujuh menit, melambangkan keseimbangan dan kesucian. Eka Santa juga mengatakan jika penggarap dari tarian itu adalah dari sang istri yang dibantu oleh para krama banjar. Sementara untuk tabuh dibuat langsung oleh putranya yang dibantu oleh para panglingsir seni di Banjar Teba.
“Sibuh pepek saya gambarkan Dewa Dewi yang membawa air suci untuk membersihkan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dari sarana sibuh pepek yang kita pakai. Karena sibuh pepek ini bahannya dari tempurung yang atasnya dipotong, tangkainya adalah carang dadap atau pohon suci dan diisi sasat beserta daun dadap agar terlihat sakralnya,” jelasnya. Setelah tarian, tradisi Siat Yeh dilanjutkan dengan nyanyian dan pembagian air suci yang telah dicampur dari dua sumber air di pantai timur dan barat. Nyanyian yang mengiringi tradisi ini sarat akan pesan tentang kesederhanaan dan penerimaan diri, mengajarkan masyarakat untuk hidup dalam kesederhanaan dan menerima keberadaan noda sebagai bagian dari kehidupan. Nyanyian itu bernada ‘Idupe metanah pasih, idupe metanah suwung, pade alih padesikian, menadi tunggal apang nawang kangin kauh’. “Artinya kita hidup harus biasa-biasa saja tidak perlu berlebihan atau sifatnya bersyukur. Kita hidup di dunia ini tidak akan terlepas oleh noda, seberapa pun bersih atau suci kita pasti ada bekas noda atau akan bernoda. Kita mencari agar bisa menjadikan satu. Ketika orang Bali sudah tahu kanginkauh artinya sudah waras,” tutur pria dua anak itu.
Perayaan ini tidak hanya melibatkan anak-anak dan pemuda, namun juga seluruh anggota masyarakat, dengan pembagian peran yang simbolis mengikuti arah mata angin dan dewa pelindung. Eka Santa mengungkapkan jika tradisi tersebut termasuk sebagai panglukatan Agung diawali dengan mendak atau mengambil tirta (air suci, Red) di dua sumber mata air yang berbeda. Krama yang menuju arah barat, yakni ke Tuntunan Ratu di Pantai Segara kompak mengenakan pakaian adat serba berwarna kuning dengan membawa kendi berjumlah tujuh. Sedangkan krama yang menuju arah timur yakni ke Pantai Suwung mengenakan pakaian adat berwarna serba putih dengan membawa kendi berjumlah lima. Selanjutnya air pantai yang mereka dapat dari hasil pengambilan di kedua sumber mata air tersebut dituangkan ke dalam kendi, yang mana pada saat membawa air ke Banjar akan diiringi dengan gamelan Baleganjur.
Foto: Prosesi mendak atau mengambil air suci di dua mata air di kawasan pesisir Jimbaran sebelum pelaksanaan Siat Yeh atau Perang Air di Banjar Teba, Desa Adat Jimbaran, Badung. -YUDA
“Siat Yeh ini pesertanya kami utamakan dari anak-anak, pemuda dan didampingi oleh orang tuanya. Kami bagi personelnya dari per natah bagian timur dan barat. Dari busana pun menyimbolkan dari pada letak Catur Dewata, dimana timur adalah Dewa Iswara dengan warna putih dan uripnya berjumlah lima. Kalau di barat dengan warna kuning yakni Dewa Maha Dewa dengan uripnya 7, sehingga kendi dan caratnya berjumlah 7,” paparnya.
Sesampainya di Banjar, para krama dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan sisi timur dan barat, sesuai dengan warna yang telah ditentukan. Dengan menggunakan cetok atau batok kelapa terbelah dua sebagai wadah, mereka saling melemparkan air sambil bernyanyi, menambah euforia di antara peserta. “Tradisi ini mengadopsi konsep Tri Murti, dengan tiga ronde yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan, simbol dari siklus kehidupan itu sendiri,” tambahnya sembari mengatakan jika setiap ronde diikuti dengan nyanyian yang diulang tiga kali, menambah semangat dan kekompakan di antara para peserta.
Setelah berlangsungnya tradisi Siat Yeh, dilakukan ritual pemurnian dengan tirta khusus, air suci yang dimohonkan dari Pura Ulun Siwi, diikuti oleh sebuah sesi pembersihan, menandakan berakhirnya acara tersebut. Keseruan dan partisipasi dari hampir 200 krama menunjukkan dukungan yang kuat dari masyarakat Banjar Teba.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi sarana pelestarian budaya tetapi juga menumbuhkan rasa kebersamaan dan kekompakan di antara warga. Ke depannya, Santa berharap pihaknya bisa mengundang krama dari banjar lain di Desa Jimbaran untuk ikut serta, dengan harapan besar bahwa tradisi Siat Yeh ini dapat berkembang menjadi sebuah festival tahunan yang dinamakan Jimbaran Festival. “Saya berterima kasih kepada masyarakat Banjar Teba dengan semangat dan antusias dari pada krama,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Badung, Wayan Adi Arnawa menyoroti pentingnya kegiatan tradisi Siat Yeh. Dia menilai, tradisi yang diadakan setiap memasuki tahun baru Saka ini sarat akan filosofi mendalam bagi Masyarakat Jimbaran. Apalagi, tradisi ini telah mendapat penghargaan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2020 silam. "Kami dari pemerintah mendorong kegiatan seperti ini yang mengandung filosofi dengan harapan bahwa setiap kegiatan tradisi budaya nantinya dapat dibantu oleh pemerintah,” ucapnya. 7 ol3
1
Komentar