Bukan Hiburan, Berkaitan Erat dengan Purana Desa
Tradisi Unik Mbed-mbedan di Desa Adat Semate
Filosofi yang mendasari tradisi ini berkaitan erat dengan cikal bakal pemberian nama Semate pada desa adat yang kini berkembang memiliki krama 80 KK.
MANGUPURA, NusaBali
Beberapa wilayah di Kabupaten Badung memiliki tradisi unik saat Ngembak Geni atau sehari setelah Hari Raya Nyepi. Salah satunya di Desa Adat Semate, Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi yang menggelar tradisi Mbed-mbedan di jaba Pura Desa lan Puseh Desa Adat pada Anggara Pon Langkir, Selasa (12/3). Tradisi tersebut konon berkaitan dengan peringatan sejarah tentang alotnya diskusi dalam pemberian nama Desa Adat Semate.
Tradisi Mbed-mbedan secara sekilas mirip dengan kegiatan tarik tambang. Namun, ternyata ini bukan untuk hiburan. Ada filosofi yang mendasari dan itu berkaitan erat dengan cikal bakal pemberian nama Semate pada desa adat yang kini berkembang memiliki krama 80 KK tersebut.
Bendesa Adat Semate Gede Suryadi mengungkapkan, tradisi Mbed-mbedan merupakan tradisi yang termuat dalam Raja Purana Desa Adat Semate. Konon, ini adalah bhisama dari seorang Mpu, bahwa tradisi ini wajib digelar sebagai peringatan pernah terjadinya tarik ulur dalam pengambilan keputusan terkait pemberian nama Putih Semate.
“Tradisi ini tertuang dalam Raja Purana Desa Adat Semate, bahwa tradisi ini wajib kami jalankan karena berkaitan erat dengan sejarah terbentuknya nama desa adat kami. Jadi ini ada filosofi yang mendasari, bukan hiburan,” ujar Suryadi, di sela pelaksanaan tradisi Mbed-mbedan.
Diungkapkan, makna tradisi Mbed-mbedan ini adalah sebagai ungkapan memohon keselamatan dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, karena setelah setelah terjadi tarik ulur dalam pengambilan keputusan terkait pemberian nama Putih Semate, masyarakat pada zaman itu sudah berketetapan hati. Kata Semate berarti berketetapan hati untuk tinggal di di tempat tersebut. Dalam terjemahan bebas, Semate diartikan sehidup semati di tempat itu.
Suryadi menjelaskan, rangkaian Mbed-mbedan diawali dengan mohon anugerah pada yang bersthana pertama di Semate yakni di Pura Kahyangan Putih Semate. Kemudian dilanjutkan dengan persembahyangan di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Semate, dosertai dengan persembahan tipat dan bantal sebagai simbol purusa-pradana. Setelah persembahyangan, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan Mbed-mbedan di jaba pura.
Tradisi Mbed-mbedan ini menggunakan sarana tali tambang. Namun dahulunya menggunakan tanaman yang tumbuh menjalar di setra Desa Semate yang mana lebih dikenal dengan bun kalot. Akan tetapi, saat ini tanaman bun kalot masih tetap digunakan, namun ukurannya kecil dan sebagai simbolis saja, lantaran tanaman tersebut kini langka.
“Yang digunakan saat Mbed-mbedan sebenarnya dari awal para tetua kami menggunakan bun kalot, tanaman merambat yang tumbuh di Setra Desa Adat Semate. Memang bentuknya seperti tali, panjang, merambat, dan tidak kaku. Bun kalot ini masih kami lestarikan, hanya saja saat ini kami mohonkan sebagai simbolis saja,” jelasnya.
Tradisi Mbed-mbedan diikuti oleh dua kelompok layaknya dua regu yang saling tarik dan ulur. Kesempatan pertama dibuka oleh pemangku lanang istri, kemudian diikuti krama lanang istri sebagai lambang purusa pradana yang saling tarik ulur, lalu diikuti yowana, dan terakhir gabungan. Tarik ulur Mbed-mbedan pun berlangsung seru ditambah iringan baleganjur yang menambah semangat. Usai melaksanakan tradisi Mbed-mbedan, seluruh krama kembali masuk ke pura untuk makan bersama dan bermaaf-maafan usai Hari Raya Nyepi.
Suryadi menambahkan, tradisi Mbed-mbedan ini sempat tidak bisa dijelaskan secara filosofi oleh para tetua zaman dahulu. Karenanya, sempat terjadi kekeliruan pemahaman mengenai tradisi ini yang dianggap hanya hiburan, padahal berkaitan erat dengan purana desa. Hingga kemudian pada tahun 2002, warga Desa Adat Semate yang kebetulan bertemu dengan seorang pengajar bernama Ketut Sudarsana (kini Bendesa Adat Kapal) pernah menemukan kata Semate dalam lontar Bhuwana Tattwa dan ketemulah isi purana yang menjelaskan tentang sejarah Desa Semate.
“Kami menemukan lontar milik Pak Tut Sudarsana, di sana tersirat nama Desa Adat Semate. Akhirnya kami mohon untuk bisa diterjemahkan dan kami terus sosialisasikan kepada krama Desa Adat Semate. Dan ini kami jadikan sebagai pegangan dalam melaksanakan tradisi Mbed-mbedan ini dan menjadi paham apa yang menjadi tujuan dilaksanakan tradisi ini,” ujarnya. 7 ind
Beberapa wilayah di Kabupaten Badung memiliki tradisi unik saat Ngembak Geni atau sehari setelah Hari Raya Nyepi. Salah satunya di Desa Adat Semate, Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi yang menggelar tradisi Mbed-mbedan di jaba Pura Desa lan Puseh Desa Adat pada Anggara Pon Langkir, Selasa (12/3). Tradisi tersebut konon berkaitan dengan peringatan sejarah tentang alotnya diskusi dalam pemberian nama Desa Adat Semate.
Tradisi Mbed-mbedan secara sekilas mirip dengan kegiatan tarik tambang. Namun, ternyata ini bukan untuk hiburan. Ada filosofi yang mendasari dan itu berkaitan erat dengan cikal bakal pemberian nama Semate pada desa adat yang kini berkembang memiliki krama 80 KK tersebut.
Bendesa Adat Semate Gede Suryadi mengungkapkan, tradisi Mbed-mbedan merupakan tradisi yang termuat dalam Raja Purana Desa Adat Semate. Konon, ini adalah bhisama dari seorang Mpu, bahwa tradisi ini wajib digelar sebagai peringatan pernah terjadinya tarik ulur dalam pengambilan keputusan terkait pemberian nama Putih Semate.
“Tradisi ini tertuang dalam Raja Purana Desa Adat Semate, bahwa tradisi ini wajib kami jalankan karena berkaitan erat dengan sejarah terbentuknya nama desa adat kami. Jadi ini ada filosofi yang mendasari, bukan hiburan,” ujar Suryadi, di sela pelaksanaan tradisi Mbed-mbedan.
Diungkapkan, makna tradisi Mbed-mbedan ini adalah sebagai ungkapan memohon keselamatan dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, karena setelah setelah terjadi tarik ulur dalam pengambilan keputusan terkait pemberian nama Putih Semate, masyarakat pada zaman itu sudah berketetapan hati. Kata Semate berarti berketetapan hati untuk tinggal di di tempat tersebut. Dalam terjemahan bebas, Semate diartikan sehidup semati di tempat itu.
Suryadi menjelaskan, rangkaian Mbed-mbedan diawali dengan mohon anugerah pada yang bersthana pertama di Semate yakni di Pura Kahyangan Putih Semate. Kemudian dilanjutkan dengan persembahyangan di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Semate, dosertai dengan persembahan tipat dan bantal sebagai simbol purusa-pradana. Setelah persembahyangan, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan Mbed-mbedan di jaba pura.
Tradisi Mbed-mbedan ini menggunakan sarana tali tambang. Namun dahulunya menggunakan tanaman yang tumbuh menjalar di setra Desa Semate yang mana lebih dikenal dengan bun kalot. Akan tetapi, saat ini tanaman bun kalot masih tetap digunakan, namun ukurannya kecil dan sebagai simbolis saja, lantaran tanaman tersebut kini langka.
“Yang digunakan saat Mbed-mbedan sebenarnya dari awal para tetua kami menggunakan bun kalot, tanaman merambat yang tumbuh di Setra Desa Adat Semate. Memang bentuknya seperti tali, panjang, merambat, dan tidak kaku. Bun kalot ini masih kami lestarikan, hanya saja saat ini kami mohonkan sebagai simbolis saja,” jelasnya.
Tradisi Mbed-mbedan diikuti oleh dua kelompok layaknya dua regu yang saling tarik dan ulur. Kesempatan pertama dibuka oleh pemangku lanang istri, kemudian diikuti krama lanang istri sebagai lambang purusa pradana yang saling tarik ulur, lalu diikuti yowana, dan terakhir gabungan. Tarik ulur Mbed-mbedan pun berlangsung seru ditambah iringan baleganjur yang menambah semangat. Usai melaksanakan tradisi Mbed-mbedan, seluruh krama kembali masuk ke pura untuk makan bersama dan bermaaf-maafan usai Hari Raya Nyepi.
Suryadi menambahkan, tradisi Mbed-mbedan ini sempat tidak bisa dijelaskan secara filosofi oleh para tetua zaman dahulu. Karenanya, sempat terjadi kekeliruan pemahaman mengenai tradisi ini yang dianggap hanya hiburan, padahal berkaitan erat dengan purana desa. Hingga kemudian pada tahun 2002, warga Desa Adat Semate yang kebetulan bertemu dengan seorang pengajar bernama Ketut Sudarsana (kini Bendesa Adat Kapal) pernah menemukan kata Semate dalam lontar Bhuwana Tattwa dan ketemulah isi purana yang menjelaskan tentang sejarah Desa Semate.
“Kami menemukan lontar milik Pak Tut Sudarsana, di sana tersirat nama Desa Adat Semate. Akhirnya kami mohon untuk bisa diterjemahkan dan kami terus sosialisasikan kepada krama Desa Adat Semate. Dan ini kami jadikan sebagai pegangan dalam melaksanakan tradisi Mbed-mbedan ini dan menjadi paham apa yang menjadi tujuan dilaksanakan tradisi ini,” ujarnya. 7 ind
Komentar