PHRI Minta Wisatawan Diatur, Bukan Dilarang
Wacana Perda Larangan Turis Masuk Pura
DENPASAR,NusaBali
Wacana pembuatan Ranperda Larangan Turis Masuk Pura oleh DPRD Bali, mendapatkan tanggapan beragam dari komponen masyarakat. Kalangan pariwisata tidak sependapat turis dilarang masuk pura, namun perlu diatur ketika mereka mengunjungi pura.
Ketua BPD PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace mengata-kan, Perda Larangan Turis Masuk Pura boleh-boleh saja. Namun, jangan sampai motivasinya karena satu-dua pura yang pengelolaannya kurang baik, langsung direspons dengan membuat Perda. “Mari duduk bersama, bicarakan. Saya buat aturan setuju saja. Tapi, jangan kesannya disamakan kasusnya. Kita juga jangan dikesankan menjual pura. Lebih baik wisatawan diatur saja kalau mau melihat pura,” tegas tokoh Puri Agung Ubud ini kepada NusaBali, Jumat (28/7).
Tjok Ace menyatakan, bagi kalangan pariwisata, lebih tepat jika turis yang kunjungi pura diatur saja, sebatas mana mereka boleh. “Pura di Bali semua suci. Kita juga selama ini sudah membuat dan antisipasi bahwa areal pura tidak semuanya bisa dimasuki turis. Bahkan kami juga sedang buat tata tertib turis masuk ke pura. Marilah duduk bersama, PHDI, DPRD Bali, dan komponen pariwisata,” beber tokoh pariwisata yang mantan Bupati Gianyar 2008-2013 ini.
“Kasus turis duduk di palinggih di pura kawasan Nusa Lembongan (Kecamatan Nusa Penida, Klungkung) harus dilihat kasusnya secara jernih. Tergantung pengelolaan. Di Pura Taman Ayun, Mengwi saya lihat bagus itu pengaturannya. Di Pura Uluwatu juga bagus. Memang selama ini sudah ada pengaturan-pengaturan, tapi kalau mau diperdalam dengan Perda, ayo duduk bersama.”
Sementara, Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Jro Gede I Wayan Suwena Putus Upadesa, mengatakan pura punya otonom. Pura adalah bagian bidang PHDI dan desa pakraman. “Ya, harus diskusikan. Turis itu dalam arti apa, apakah sekadar melihat? Perlu kajian holistik. Mana ranah adat, mana ranah PHDI. Jangan dikit-dikit buat Perda,” kritik Jro Suwena secara terpisah, Jumat kemarin.
Menurut Jro Suwena, kasus turis duduk di palinggih di pura kawasan Lembongan yang viral di media sosial, pastilah ada pemicunya. “Masalah ini pasti ada penyebabnya, inilah yang perlu dikaji. Apakah krama sendiri tidak yatna (waspada) atau memang masyarakat pariwisata tidak mau tahu dan mengerti fungsi pura? Bagi kami, lebih baik duduk bersama dengan stakeholder yang punya kewenangan,” katanya.
Jro Suwena mengingatkan, kalau turis dilarang masuk pura, siapa yang akan tanggung jawab menjaga dan melaksanakan pengawasan? Pura memiliki banyak bagian, ada Utama Mandal; Madya Mandala, dan Nista Mandala. Guide yang mengantar turis ke pura juga harus diatur, demikian pula transportasinya. “Bus ukuran gede-gede masuk ke jalan menuju pura hingga sering ganggu krama yang mau sembahyang, juga harus kita tata. Sangat krusial masalah yang kita hadapi terkait keberadaan pura yang dikunjungi wisatawan,” tegas tokoh adat asal Desa Muncan, Kecamatan Selat, Karangasem ini.
Sementara itu, Ketua Yayasan Yasa Putra Sedana Provinsi Bali, Dewa Ngakan Rai Budiasa, mengatakan usulan agar turis diatur jika masuk pura, sudah muncul sejak 1990-an. “Tapi, di Bali itu kramanya hidup dari pariwisata, kita juga tidak bisa dengan membabi buta melakukan larangan. Kita dulu usulkan turis itu masuk dengan rambu-rambu, supaya tidak muncul kasus seperti di Nusa Lembongan. Ini memang dilematis buat kita,” ujar Rai Budiasa.
Mantan Wakil Ketua ASITA DKI Jakarta ini menegaskan, kalau sekarang ada rencana membuat Perda, harus ditegaskan pengaturan turis masuk ke pura. “Pura itu kawasan suci. Ini bukan hanya masalah kawasan sakral, tapi masalah etika juga. Kita tidak boleh kesannya mengobral dan komersialkan kawasan suci,” jelas politisi Golkar ini. *nat
Ketua BPD PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace mengata-kan, Perda Larangan Turis Masuk Pura boleh-boleh saja. Namun, jangan sampai motivasinya karena satu-dua pura yang pengelolaannya kurang baik, langsung direspons dengan membuat Perda. “Mari duduk bersama, bicarakan. Saya buat aturan setuju saja. Tapi, jangan kesannya disamakan kasusnya. Kita juga jangan dikesankan menjual pura. Lebih baik wisatawan diatur saja kalau mau melihat pura,” tegas tokoh Puri Agung Ubud ini kepada NusaBali, Jumat (28/7).
Tjok Ace menyatakan, bagi kalangan pariwisata, lebih tepat jika turis yang kunjungi pura diatur saja, sebatas mana mereka boleh. “Pura di Bali semua suci. Kita juga selama ini sudah membuat dan antisipasi bahwa areal pura tidak semuanya bisa dimasuki turis. Bahkan kami juga sedang buat tata tertib turis masuk ke pura. Marilah duduk bersama, PHDI, DPRD Bali, dan komponen pariwisata,” beber tokoh pariwisata yang mantan Bupati Gianyar 2008-2013 ini.
“Kasus turis duduk di palinggih di pura kawasan Nusa Lembongan (Kecamatan Nusa Penida, Klungkung) harus dilihat kasusnya secara jernih. Tergantung pengelolaan. Di Pura Taman Ayun, Mengwi saya lihat bagus itu pengaturannya. Di Pura Uluwatu juga bagus. Memang selama ini sudah ada pengaturan-pengaturan, tapi kalau mau diperdalam dengan Perda, ayo duduk bersama.”
Sementara, Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Jro Gede I Wayan Suwena Putus Upadesa, mengatakan pura punya otonom. Pura adalah bagian bidang PHDI dan desa pakraman. “Ya, harus diskusikan. Turis itu dalam arti apa, apakah sekadar melihat? Perlu kajian holistik. Mana ranah adat, mana ranah PHDI. Jangan dikit-dikit buat Perda,” kritik Jro Suwena secara terpisah, Jumat kemarin.
Menurut Jro Suwena, kasus turis duduk di palinggih di pura kawasan Lembongan yang viral di media sosial, pastilah ada pemicunya. “Masalah ini pasti ada penyebabnya, inilah yang perlu dikaji. Apakah krama sendiri tidak yatna (waspada) atau memang masyarakat pariwisata tidak mau tahu dan mengerti fungsi pura? Bagi kami, lebih baik duduk bersama dengan stakeholder yang punya kewenangan,” katanya.
Jro Suwena mengingatkan, kalau turis dilarang masuk pura, siapa yang akan tanggung jawab menjaga dan melaksanakan pengawasan? Pura memiliki banyak bagian, ada Utama Mandal; Madya Mandala, dan Nista Mandala. Guide yang mengantar turis ke pura juga harus diatur, demikian pula transportasinya. “Bus ukuran gede-gede masuk ke jalan menuju pura hingga sering ganggu krama yang mau sembahyang, juga harus kita tata. Sangat krusial masalah yang kita hadapi terkait keberadaan pura yang dikunjungi wisatawan,” tegas tokoh adat asal Desa Muncan, Kecamatan Selat, Karangasem ini.
Sementara itu, Ketua Yayasan Yasa Putra Sedana Provinsi Bali, Dewa Ngakan Rai Budiasa, mengatakan usulan agar turis diatur jika masuk pura, sudah muncul sejak 1990-an. “Tapi, di Bali itu kramanya hidup dari pariwisata, kita juga tidak bisa dengan membabi buta melakukan larangan. Kita dulu usulkan turis itu masuk dengan rambu-rambu, supaya tidak muncul kasus seperti di Nusa Lembongan. Ini memang dilematis buat kita,” ujar Rai Budiasa.
Mantan Wakil Ketua ASITA DKI Jakarta ini menegaskan, kalau sekarang ada rencana membuat Perda, harus ditegaskan pengaturan turis masuk ke pura. “Pura itu kawasan suci. Ini bukan hanya masalah kawasan sakral, tapi masalah etika juga. Kita tidak boleh kesannya mengobral dan komersialkan kawasan suci,” jelas politisi Golkar ini. *nat
1
Komentar