Dipercaya Bisa Tangkal Gerubug, Dipentaskan 3 Tahun Sekali
Versi Kelian Desa Pakraman Sidatapa, Putu Kasma, tarian sakral Sanghyang dan Gandrung sudah ada sejak tahun 1200-an, sebagai unen-unen prataksu dari Gunung Raung
Tarian Sakral Sanghyang dan Gandrung di Desa Pakraman Sidatapa, Kecamatan Banjar, Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Tari Sanghyang dan Tari Gandrung mungkin dapat ditemui di sejumlah kawasan di Bali. Namun, Tari Sanghyang dan Tari Gandrung yang ada di Desa Pakraman Sidatapa, Kecamatan Banjar, Buleleng beda dari yang lain. Keduanya merupakan kategori tarian sakral yang hanya dipentaskan 3 tahun sekali di jaba Pura Bale Agung Desa Pakraman Sidatapa. Dan, pementasan tarian sakral ini dipercaya bisa sebagai penangkal gerubug (wabah penyakit mematikan) dan keributan.
Pentas terakhir Tari Sanghyang dan Tari Gandrung digelar Desa Pakraman Sidatapa di jaba Pura Bale Agung pada Anggara Umanis Wayang, Selasa (25/7) malam. Pantauan NusaBali malam itu, ribuan krama desa berdesakan untuk menyaksikan pentas tarian sakral warisan nenek moyang mereka.
Di tengah kalangan (arena pentas), tampak dua penari Gandrung yang dibawakan remaja lanang (laki-laki) mengawali pertunjukan kesenian sakral. Mengenakan pakaian yang sangat sederhana tanpa kilatan prada, dua penari Gandrung menari dengan gerakan yang sangat sederhana pula, sambil memegang kipas.
Busana mereka juga hanya berupa kaos lengan pendek warna putih dan kain batik, serta selendang warna kuning dan oranye. Hanya ada beberapa tambahan hiasan di bagian pinggang dan kepala penari, yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk tombol yang disertai dengan rambut panjang terangkai dari tali rapia.
Dalam pertunjukan traian sakral yang berlangsung selama 30 menit tersebut, sejumlah krama Desa Pakraman Sidatapa terlihat ikut menari di tengah kalangan. Beberapa dari mereka datang dengan gerakan seakan sedang kerauhan (kesurupan), sambil memejamkan mata.
Setelah tarian Gandrung berakhir, dilanjutkan dengan atraksi Tari Sanghyang yang dibawakan oleh dua gadis belia. Dengan dandanan yang sedikit lebih kekinian dari penari Gandrung, dua penari Sanghyang sudah menggunakan kain Songket, sabuk prada, dan juga hiasan bunga emas di kepala. Namun, tarian sakral yang disuguhkan selama 30 menit tersebut juga nampak sederhana. Diawali dengan pengantar kekidungan pedudusan Sanghyang, yang dilantunkan oleh Kelian Desa Pakraman, Perbekel, dan Prajuru Desa.
Menurut Kelian Desa Pakraman Sidatapa, Putu Kasma, tarian sakral Sanghyang dan Gandrung sudah ada sejak masa lampau dan diwarisi secara turun temurun. Bahkan, kedua tarian sakral ini diperkirakan sudah ada di Desa Pakraman Sidatapa sekitar tahun 1200-an.
Dua tarian sakral yang selalu ditampilkan berpaket ini, kata Putu Kasma, disebut sebagai unen-unen prataksu dari Gunung Raung, Jawa Timur. Konon, Ida Panembahan Saking Gunung Raung disungsung melalui salah satu palinggih yang ada di Nista Mandala Pura Bale Agung Desa Pakraman Sidatapa.
“Sesungguhnya, sungsungan inilah yang disebut sebagai cikal bakal tarian sakral Sanghyang dan Gandrung di Desa Sidetapa,” ungkap Putu Karma kepada NusaBali di sela pementasan tarian sakral Sanghyang dan Gandrung di di jaba Pura Bale Agung Desa Pakraman Sidatapa, Selasa malam.
Putu Kasma mengisahkan, keberadaan tarian sakral Sanghyang dan Gandrung ini berawal saat warga Desa Sidatapa mengalami gerubug hingga banyak yang meninggal dunia sekitar tahun 1200-an. Sampai akhirnya salah satu panglingsir desa saat itu mendapatkan pawisik (petunjuk gaib) untuk mengadakan unen-unen Gandung, upacara pecaruan 42 hari, dan tabuh rah (adu ayam tanpa taruhan) selama 9 hari berturut-turut. “Sejak saat itulah, tradisi ini dilaksanakan krama Desa Pakraman Sidatapa hingga saat ini,” papar Putu Kasma.
Menurut Putu kasma, sesuai dengan awig-awig, seluruh rangkaian unen-unen Gandrung harus dilaksanakan di jaba Pura Bale Agung. Sebelum pementasan dua tarian sakral tersebut, diawali dengan ritual pecaruan dan tabuh rah.
“Pecaruannya selama 42 hari yang diikuti juga dengan pementasan tarian Gandrung setiap malam. Kalau tabuh rahnya dilakukan selama 9 hari berturut-turut, sama dengan jumlah pementasan tarian Sanghyang, kecuali Pasah tidak dipentaskan,” ujar Putu Kasma. Setelah 42 hari berakhir, kata Putu Kasma, akan ditutup dengan upacara ngelebar yang diikuti ritual ngeluarang tegen-tegenan yang harus dilaksanakaan oleh seluruh krama Desa Pakraman Sidatapa.
Karena merupakan tarian sakral, saat pementasan tari Sanghyang dan Gandrung, selalu diikuti dengan aksi kerauhan di mana raga krama yang kerauhan dirasuki roh Ida Sesuhunan saking Gunung Raung. Biasanya, mereka yang kerasukan langsung masuk ke tengah kalangan seraya ikut menari Sanghyang dan Gandrung di awal pementasan.
Putu Kasma menyebutkan, tarian sakral Sanghyang dan Gandrung digelar 3 tahun sekali di awal sasih Karo (bulan pertama sitem penanggalan Bali) di jaba Pura Bale Agung. Maknanya, sebagai awal pembersihan desa secara niskala. Setelah pementasan selama 42 hari, akan dilanjutkan dengan upacara melasti ke segara (laut) dan piodalan pura-pura yang ada di Desa Pakraman Sidetapa.
Selain itu, kata Putu Kasma, tarian sakral ni juga bisa dipentaskan krama desa hanya untuk mengiringi upacara ngerasakin di kebun-kebun, dengan sejumlah sesaji sebelum pementasan. Unen-unen Gandrung dilaksnaakan krama setempat untuk menciptakan situasi tetap kondusif, tanpa diwarnai keributan.
Sementara itu, penari Sanghyang berjumlah 2 orang dan penari Gandrung berjumlah 2 orang, selalu ditunjuk langsung oleh prajuru desa. Kriterianya, mereke berumur maksimal 15 tahun. “Tidak ada penunjukan secara niskala. Hanya saja, mereka yang ditunjuk langsung oleh desa pakraman akan disucikan melalui panglukatan setiap kali akan menarikan tarian sakral ini,” kata Putu Kasma. *k23
Komentar