Awalnya Memberontak, Mantap Ngayah Setelah Alami Kecelakaan
Kisah I Made Ranten, Jero Mangku di Pura Dalem Pengembak Sanur
Pamedek yang datang di Pura Dalem Pengembak Sanur ada yang sekadar matirtayatra, matamba, masesangi, dan motivasi lainnya termasuk mohon didoakan agar lulus ujian.
DENPASAR, NusaBali
Pura Dalem Pengembak di areal Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Banjar Tunjung, Desa Sanur Kauh, Desa Pakraman Intaran, Denpasar Selatan, kini dikelola oleh pamangku generasi ketiga, Jero Mangku I Made Ranten. Dia melewati ‘jalan terjal’ sampai akhirnya mantap ngayah untuk leluhur dan dewata.
Jero Mangku Ranten, 60, adalah anak kedua dari pamangku sebelumnya yakni Jero Mangku I Ketut Japa. Mangku Japa adalah putra dari pendiri Pura Dalem Pengembak, I Wayan Netep.
Pamangku asal Banjar Penopengan, Desa Sanur Kauh ini aktif melayani pamedek/umat untuk matamba (berobat) medis dan non medis di Pura Dalem Pengembak. Juga melayani pamedek yang datang sembahyang dan masesangi (bernazar).
Sebelum mantap ngayah dan melayani pamedek seperti sekarang ini, Mangku Ranten mengaku sempat memberontak ketika tahu dirinya bakal menjadi penerus sang ayah. Fase ini berjalan selama enam tahun, bahkan setelah maekajati pada 1992 pasca sang ayah wafat.
“Saya sempat bertolak belakang. Tidak tahu apa-apa, tiba-tiba ‘ditangkap’ di Mertasari. Saya saat itu tidak mau menjadi pamangku, sampai enam tahun saya menghindar,” ujar Mangku Ranten, Sabtu (23/3/2024).
Kata Mangku Ranten, awal-awal maekajati, dia baru belajar berjapa mantra dan tata kapamangkuan. Namun, karena batinnya memberontak lantaran malu dan gengsi menjadi pamangku, proses belajar itu tidak berjalan dengan baik.
Sampai akhirnya Mangku Ranten mengalami kecelakaan. Luka akibat kecelakaan di tubuhnya lama tidak sembuh-sembuh dan terus berair.
Foto: Jero Mangku I Made Ranten di Pura Dalem Pengembak, Banjar Tunjung, Desa Sanur Kauh, Desa Pakraman Intaran, Denpasar Selatan. -WINDU SWASTIKA
“Akhirnya mapaluasin (dikonsultasikan secara niskala), katanya itu sebagai akibat sering menghindari pamadek yang datang. Setelah dimohonkan tamba, dipercikkan tirta ternyata bisa kering lukanya,” ungkap Mangku Ranten.
Sejak peristiwa itu, Mangku Ranten bersungguh-sungguh memantapkan diri untuk ngayah dan memohon agar turut dikuatkan oleh Ida Bhatari yang berstana di Pura Dalem Pengembak, Ratu Ayu Mas Manik Maketel.
Sekitar tahun 1999, Mangku Ranten sudah cukup mapan secara tata kapamangkuan dan mulai tuntas menjalankan patambaan. Hingga saat ini, katanya, jumlah ‘pasien’ yang dibantu tidak terhitung dan mungkin sudah mencapai ribuan.
“Sudah banyak pamedek yang datang untuk matamba medis dan non medis. Ada juga yang memohon agar bisa lulus ujian kepolisian. Tedung dan wastra ini semua pemberian pamedek yang kata mereka —saya sendiri juga tidak ingat— permohonannya dikabulkan,” ucap Mangku Ranten.
Sampai sekarang ini, ada saja pamedek yang datang untuk sekadar matirtayatra, matamba, masesangi, dan motivasi lainnya yang dilayani Mangku Ranten. Pamedek ini datang dari seluruh Bali dan tanah air, ada juga yang non Hindu, dan wisatawan mancanegara dari Jepang dan Eropa.
Sementara itu, pada Redita Pon Medangsia, Minggu (17/3/2024), monumen tonggak sejarah Pura Dalem Pengembak yang diberi nama Kanaka Anom Gopala diresmikan secara sekala dan niskala setelah mendapat pawisik dari sang kakek.
Pamelaspasan Patung Tonggak Sejarah Pura Dalem Pengembak, Sanur, Denpasar Selatan yang digelar pada Redita Pon Medangsia, dihadiri Walikota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara. Upacara tersebut dilaksanakan setelah rampungnya pembangunan patung yang memakan waktu sekitar tiga bulan.
Foto: Utama Mandala Pura Dalem Pengembak.-WINDU SWASTIKA
Jro Mangku Pura Dalem Pengembak I Made Ranten menceritakan sejarah Pura Dalem Pengembak. Menurut dia, Pura Dalem Pengembak Sanur yang terletak di wilayah Banjar Tanjung, Desa Sanur Kauh ini didirikan pada 1820. Awal mula berdirinya pura ini erat kaitannya dengan sang kakek yang bernama I Wayan Netep yang dikenal sebagai penggembala sapi (rare angon) dan nelayan.
Pada saat Netep menggembalakan sapinya, dia selalu melepaskan sapinya di tengah hutan (lokasi pura tersebut) untuk mencari rumput. Sembari menunggu sapinya mencari rumput, Netep menjaring ikan ke tengah laut. Setelah air laut surut, Netep kembali ke tempat sapinya.
Setelah tiba di tempat sapinya, Netep kembali bergegas untuk mencari kepiting bakau di seputaran hutan mangrove untuk santapan keluarganya. Hal ini lantaran waktu masih senggang untuk kembali pulang. Setelah mendapatkan beberapa kepiting, dia kembali ke tempat sapinya dilepas untuk beristirahat sejenak.
“Nah, di sela-sela waktu istirahatnya inilah I Wayan Netep menemukan sebuah batang pohon kelapa (tunggak nyuh), yang kemudian dia pahat dengan sebilah golok/belakas, dan tanpa disadari batang pohon kelapa itu menjadi patung menyerupai perempuan cantik,” ujar Mangku Ranten.
Namun tiba-tiba patung hasil pahatan sederhana itu tersenyum. Netep pun kaget dan akhirnya jatuh pingsan. Setelah pingsan, dia mendapat pawisik yang kini diimplemntasikan dalam bentuk patung monumen sejarah Pura Dalem Pengembak.
“Atas asung kertha wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Patung Monumen Sejarah Pura Dalem Pengembak, akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Monumen ini menjelaskan sejarah Pura Dalem Pengembak, perkembangan pura dan pengayah di pura ini tentu sangat penting,” kata Mangku Ranten.
“Dengan adanya monumen ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang keberadaan pura ini, fungsi, dan aktivitas kesehariannya dalam melayani umat yang tangkil,” imbuh Ranten, pamucuk Pura Dalem Pengembak yang merupakan generasi ketiga pengardi pura.
Ketua Pelaksana Pembuatan Patung Kadek Dharma Apriana mengatakan konsep patung ini merupakan bentuk visual dari cerita sejarah awal mula Pura Dalem Pengembak. Adapun pelaksanaan pembangunan patung selama 3 bulan terhitung sejak Januari 2024. 7 ol1
Komentar