Melihat 'Timbangan Sanganan' Warisan Purbakala Pura Puseh Beng Carangsari, Petang, Badung
Bisa Meramal Paceklik, Jika Batu Timbangan Lebih Berat
Alat timbangan purbakala ini tidak lepas dari tradisi Nyangkepin yang dilaksanakan di Bale Agung oleh para tetua sejak awal berdirinya pura hingga saat ini.
MANGUPURA, NusaBali - Pura Puseh Beng, Banjar Beng, Desa Adat Carangsari, Kecamatan Petang, Badung memiliki warisan purbakala berupa perunggu dan batu. Salah satunya adalah Timbangan Sanganan dengan anak timbangan berupa batu yang beratnya dipercaya dapat berubah sesuai kondisi zaman.
Timbangan Sanganan ini berupa neraca lengan gantung sederhana. Lengan neracanya terbuat dari kayu berbentuk huruf T terbalik. Di mana, salah satu ujungnya digantung anak timbangan berupa batu dan di ujung lainnya untuk menggantung materi yang akan ditimbang.
Jero Mangku Gede Pura Puseh Beng, Wayan Suwika,55, menuturkan timbangan alam ini disimpan di Bale Agung di madya mandala pura. Sebab, alat timbangan purbakala ini tidak lepas dari tradisi Nyangkepin yang dilaksanakan di Bale Agung oleh para tetua sejak awal berdirinya pura hingga saat ini.
"Ketika Saptawara Buda bertemu Pancawara Umanis setiap bulan, dilaksanakan Nyangkepin. Akan ada tiga krama pamaksan secara bergiliran setiap bulannya mempersembahkan sanganan (jajanan) yaitu ketan kukus," tutur Jero Mangku Suwika ketika ditemui di sela panyineban pujawali Pura Puseh Beng, Rabu (27/3) lalu.
Jajanan ketan kukus yang dipersembahkan krama pamaksan Pura Puseh Beng tidak sembarangan. Sebab, jajanan itu akan menjadi materi untuk ditimbang. Jajanan yang dipersembahkan harus dibuat dengan ketan seberat 6 kilogram (Kg) lalu dikukus. Selain itu, ketan juga dikenal sebagai 'beras kuning' yang sejalan dengan filosofi Buda Umanis. Dijelaskan Mangku Suwika, Saptawara Buda secara filosofis terletak di pascima (barat), sedangkan Pancawara Umanis berada di purwa (timur).
Hal ini juga menunjukkan pada saat tradisi Nyangkepin dilakukan, rezeki bergerak dari Buda ke Umanis atau dari barat ke timur. Barat merupakan area Dewa Mahadewa dengan warna filosofis kuning yang juga disebut dewa pemberi amerta (penghidupan). Jajanan yang dipersembahkan krama pamaksan lantas ditimbang menggunakan neraca purbakala.
Ketika neraca menunjukkan batu timbangan atau jajanan yang lebih berat, masing-masing mengandung makna tersendiri. "Kalau batu lebih berat daripada sanganan, tandanya pamertan (penghidupan) krama itu terganggu atau paceklik. Pertanian tidak baik, pekerjaan, banyak utang, dan lain-lain. Kalau sanganan yang lebih berat berarti pamertan krama sangat baik," jelas Mangku Suwika yang sudah ngayah selama satu dekade.
Pertimbangan untuk memutuskan akan paceklik atau tidaknya saat Nyangkepin tidak sembarangan. Oleh karena itu, ada krama berjumlah ganjil atau tiga orang yang menghaturkan jajanan. Proses tiga kali menimbang jajanan dari krama berbeda namun dibuat dari ketan yang beratnya sama ini lantas dapat dilihat kecenderungannya.
"Batu timbangannya ini beratnya bisa berubah-ubah tergantung kondisi zamannya, tidak bisa diprediksi. Kenyataannya, kadang-kadang lebih berat batunya, bisa sanganannya yang lebih berat," imbuh pamangku yang sempat berkecimpung sebagai pramuwisata ini.
Ungkap Mangku Suwika, anak timbangan pernah sangat kentara lebih berat dari pada jajanan yang dipersembahkan krama pamaksan. Hal ini dikatakan terjadi menjelang peristiwa Bom Bali I pada tahun 2002 silam. Ketika timbangan menunjukkan tanda paceklik, krama akan diajak menginterospeksi dan mengevaluasi diri, apa-apa saja dari proses yadnya dan yasakerti yang kurang optimal dilakukan. Sehingga, pada Buda Umanis selanjutnya, diharapkan jajanan yang dipersembahkan krama bisa lebih berat dari anak timbangan.
"Astungkara, akhir-akhir ini tidak terjadi batu lebih berat dari sanganan. Minimal, timbangan yang seimbang antara batu dan sanganan itu sudah cukup membuat saya tenang," beber Mangku Suwika. 7 ol1
1
Komentar