Sekaa Legendaris Harus Dapat Perhatian Khusus
Insiden Gong Legendaris Batal Manggung
Prof I Wayan Dibia
Prof I Komang Sudirga
Sekaa Legendaris
Gong Legendaris
HUT Ke-420 Kota Singaraja
Seniman Senior
Kadisbud Bali
I Gede Arya Sugiartha
DENPASAR, NusaBali - Peristiwa batal manggungnya dua sekaa gong kebyar legendaris pada malam penutupan Semarak Buleleng Berbangga HUT ke-420 Kota Singaraja, Buleleng, Sabtu (30/3) malam lalu diharapkan tidak terjadi lagi. Sekaa legendaris yang sebagian beranggotakan seniman senior berusia lanjut itu sepantasnya menjadi salah satu perhatian pihak panitia atau penyelenggara acara.
Diketahui, Sekaa Gong Kebyar Legendaris Jagaraga dan Sekaa Gong Kebyar Legendaris Eka Wakya akhirnya memutuskan batal tampil karena jadwal yang berubah-ubah hingga harus tampil malam hari.
Seniman tari sekaligus akademisi seni, Prof Dr I Wayan Dibia SST MA menyampaikan apresiasi karena kesenian tradisional mendapat kesempatan tampil dalam acara besar seperti HUT Kota Singaraja bersama dengan kesenian-kesenian modern. Namun demikian, dia mengingatkan bahwa seniman berusia lanjut perlu mendapat perhatian khusus karena secara fisik para seniman senior tentu tidak sama kemampuannya dengan para seniman yang lebih muda.
“Mereka yang tua-tua dengan predikat legendaris itu memang perlu sedikit kehati-hatian memperlakukan mereka,” ujar Prof Dibia saat dihubungi NusaBali, Senin (1/4). Lebih jauh, Prof Dibia juga mengingatkan bahwa pergelaran seni tradisional dan modern tidaklah sama dalam teknis pertunjukan. Sehingga tidak jarang jika kedua kesenian tersebut ditampilkan dalam satu acara membutuhkan persiapan teknis yang lebih mapan.
“Memang perlu dibuatkan event khusus, apalagi bebarongan gong kebyar kan salah satu kebanggaan masyarakat Bali utara,” ujar seniman tari asal Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini. Prof Dibia mengungkapkan dua sekaa gong legendaris Buleleng ini rencananya akan tampil pada ajang tahunan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun ini. Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali pun rencananya turun langsung membina kedua sekaa gong kebyar itu,
meskipun selama ini pembinaan sekaa kesenian di Bali dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Diketahui Gong Kebyar Jagaraga di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng merupakan peninggalan maestro Gde Manik yang kemudian diteruskan oleh I Made dan Wayan Wandres (Pan Wandres). Sedangkan Gong Kebyar Eka Wakya yang bermarkas di Lingkungan Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Kecamatan/Kabupaten Buleleng juga melegenda karena diprediksi sudah ada sebelum tahun 1917.
Foto: Prof I Komang Sudirga. -IST
“Kita ingin mereka tampil memukau nanti di ajang PKB,” ucap Prof Dibia. Terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) Bali, I Gede Arya Sugiartha menyayangkan kejadian yang menimpa dua sekaa gong kebyar legendaris itu. Ia sependapat jika acara yang menampilkan kesenian tradisional dan kesenian modern membutuhkan persiapan yang ekstra. “Acara biar jelas kapan mereka tampil apalagi ini orang-orang tua yang waktunya juga terbatas,” ujar mantan Rektor ISI Denpasar ini.
Arya Sugiartha menegaskan Pemerintah Provinsi Bali berkomitmen melestarikan kesenian tradisional Bali. Selain melalui ajang PKB yang diselenggarakan sebulan penuh, dalam event-event internasional di Bali, kesenian tradisional Bali selalu mendapat kesempatan pertama untuk tampil.
Di sisi lain dia menegaskan Disbud Bali melalui PKB dan Festival Bali Jani memberikan ruang tersendiri bagi para seniman tradisional dan modern. Arya Sugiartha menuturkan kebutuhan seni tradisional dan modern memang berbeda sehingga sebaiknya dibuatkan event yang terpisah. “Bukan berarti tidak bisa bersama-sama, tapi memang kebutuhannya berbeda-beda,” kata birokrat yang juga seniman karawitan ini.
Terpisah Ketua Majelis Kebudayaan Bali, Prof Dr I Komang Sudirga SSn Mhum saat dihubungi via telepon, Senin kemarin mengatakan terlepas dari apa yang sudah terjadi karena miskomunikasi antara penyelenggara dengan seniman, namun Pemerintah sebagai penyelenggara pesta rakyat disebutnya bermaksud baik untuk memberikan hiburan dan tontonan kepada masyarakat. Termasuk memberikan porsi seni tradisional dan seni modern untuk tampil bersama.
Hanya saja dalam pengelolaan pementasan perlu dicermati kembali. Sebab menurutnya secara etik pertunjukan seni modern dan tradisional di tempat yang sama memberi kesan kurang elok. Panitia pun disarankan untuk mengintrospeksi diri terkait pemanggungan seni.
“Jangan ada seolah perlakuan yang kurang berkenan. Ya biar lebih memanusiakan seniman di atas panggung,” ucap Sudirga yang juga Warek ISI Denpasar ini.
Menurutnya, keputusan dua sekaa gong legendaris itu turun panggung dan membatalkan penampilan mereka, karena ada rasa ketersinggungan. Terlebih terjeda penampilan mereka dan diselipkan penampilan band dan fashion show. Hal ini membangun anggapan seniman kurang diapresiasi.
Kejadian yang terjadi di Gumi Panji Sakti ini diharapkannya dapat menjadi pelajaran seluruh pemerindah daerah dan juga pejabat di Bali. Sudirga juga menginginkan dua sekaa gong legendaris Buleleng yang memiliki sejarah panjang dapat menjadi panutan dan teladan pada generasi berikutnya. Sekaa gong legendaris Buleleng ini diminta untuk tetap menjaga semangat untuk dapat mensukseskan Pesta Kesenian Bali (PKB) Juli mendatang.
“Saya yakin itu emosional sesaat. Jangan menjadi konflik yang berkepanjangan,” kata dia. Sementara itu Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna pun mengharapkan hal yang sama. Menurutnya insiden batal tampilnya sekaa gong legendaris agar menjadi pembelajaran bersama, baik pemerintah dan juga panitia penyelenggara dan pengisi acara.
“Ke depannya kalau membuat kegiatan agar betul-betul direncanakan dan dikontrol dengan baik sehingga tidak lagi terulang hal semacam ini,” terang Supriatna. Sedangkan Ketua Komisi IV DPRD Buleleng, Ketut Ngurah Arya menginginkan pemerintah menyiapkan even-even dan ruang lebih banyak untuk kesenian tradisional tampil di hadapan masyarakat.
“Tidak cukup ada kata maaf saja, minimal kita tampilkan secara terbuka gong mebarung legendaris agar dapat menunjukkan kepada masyarakat komitmen pemerintah. Harus ada even karena Buleleng sudah hampir kehilangan Utsawa Dharma Gita dan kesenian tradisional lainnya,” pinta Ngurah Arya. 7 k23, a
Komentar