Nebuk Masih Dilestarikan Masyarakat Desa Sangketan
TABANAN, NusaBali - Nebuk (memisahkan bulir padi dari tangkainya) biasanya dijumpai ketika adanya festival ataupun upacara agama di Bali. Namun proses Nebuk masih tetap lestari di Banjar Anyar, Desa Sangketan, Kecamatan Penebel, Tabanan.
Bagi masyarakat Banjar Anyar, Nebuk tetap dipertahankan untuk mendapatkan sisa kulit ari beras yang masih banyak. Kulit ari ini bisa membuat cepat wareg (kenyang) atau wareg lebih lama. Meskipun dalam pelaksanaannya memakan waktu banyak dan lebih ribet dibandingkan harus memproses bulir padi menjadi beras menggunakam mesin modern (mesin selip).
Salah seorang warga Banjar Anyar, Desa Sangketan, I Made Danu Tirta mengatakan proses Nebuk masih dilakukan oleh orangtuanya. Apalagi sebagai masyarakat agraris sarana prasarana Nebuk masih diwariskan oleh leluhurnya.
"Kegiatan Nebuk telah menjadi rangkaian praktik konvensional untuk menghasilkan beras di Bali. Aktivitas itu sebelum masuknya mesin dores, selip, dan alat perontok buliran padi modern lain,” ujarnya, Senin (8/4).
Disebutkan alat Nebuk sebenarnya terdiri dari buntar dan lesung. Buntar tergolong sebagai alat pemotong buliran padi dari tangkai induknya. Buntar terbuat dari kayu atau bambu lurus, yang bagian bawahnya diisi dengan mata pisau melingkar.
Sementara itu, lesung umum diketahui sebagai alas atau wadah untuk menempatkan padi yang akan ditumbuk. “Kebetulan, lesung yang kami miliki sudah sangat lapuk termakan usia, sehingga media yang kami gunakan adalah kampil sebagai alas,” tegas Danu Tirta.
Danu Tirta mengungkapkan padi yang ditebuk umumnya padi Bali. Biasanya padi yang ditumbuk adalah padi yang dipanen dengan menyertakan sedikit tangkainya (katik).
Padi khas Bali memiliki ragam jenis atau nama, mulai dari padi gelutuk, padi gelutuk jaka, padi mangsur, padi tahun cicih, padi tahun gangsar, padi sangket, padi bengawan, dan padi gadis. "Semuanya adalah padi khas Bali yang secara fisik memiliki tinggi hampir se-dada orang dewasa," tutur Danu Tirta.
Dia menjelaskan proses Nebuk yang biasanya dilakukan oleh masyarakat cukup sederhana. Padi Bali yang masih terikat (masigihan), dilepaskan dahulu ikatannya. Padi yang telah terurai, kemudian dimasukkan dalam lesung, kemudian ditumbuk menggunakan buntar. Ketika buliran-buliran padi mulai terpisah sempurna dengan tangkainya, baru kemudian dipisahkan untuk masuk dalam proses ngalesungin.
"Zaman dahulu, proses ngalesungin bisa dilakukan secara langsung pasca Nebuk tanpa menjemur kembali, sebab pra Nebuk padi Bali telah diunun (dikeringkan menggunakan teknik pengasapan) di punapi (semacam alat menaruh barang di atas tungku api)," jelas Danu Tirta.
Dan biasanya dari hasil cerita para tetua, nasi yang berasal dari gabah hasil Nebuk, dominan memiliki rasa sepat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kulit ari yang masih terkandung di buliran beras. "Oleh sebab itu, orang yang memakan nasi dari gabah hasil Nebuk, akan cepat merasa wareg (kenyang)," tandas pemuda yang juga sebagai Penyuluh Agama Hindu di Tabanan ini. 7 des
Komentar