Tari Sang Hyang Dedari: Ritual Sakral Penolak Bala di Desa Griana Kauh
AMLAPURA, NusaBali.com - Dengan iringan kidung sakral tanpa gamelan, lima anak perempuan menari dengan gerakan lemah gemulai. Mereka adalah penari Sang Hyang Dedari, sebuah ritual sakral dari Desa Adat Griana Kauh, Karangasem, Bali, yang digelar pada Senin (8/4/2024) malam.
Tari Sanghyang Dedari dipercaya sebagai penolak bala, khususnya bagi petani agar padi yang ditanam tidak terserang hama. Ritual ini juga merupakan wujud syukur atas hasil panen yang melimpah.
"Tarian ini sudah ada sejak zaman dahulu dan diwariskan turun-temurun," ungkap Ketut Widana, 50, Ketua Museum Sang Hyang Dedari.
Tari Sanghyang Dedari dipentaskan di dua tempat, yaitu Catus Pata dan Pura Pajenengan. Durasi pementasannya sekitar dua jam, dan para penarinya menari dalam kondisi kerauhan (tidak sadar).
"Penarinya dipilih dua minggu sebelum pementasan, dan harus anak-anak perempuan yang belum menstruasi karena dianggap masih suci," jelas Widana.
"Jumlah penarinya harus ganjil, minimal lima orang. Kalau satu itu simbol Tuhan Yang Maha Esa, tiga merupakan simbol brahma, setelah itu lima dan tujuh, merupakan simbol bidadari," imbuhnya.
Salah seorang penari Sang Hyang Dedari memanjat galah yang telah disucikan dalam pementasan di Desa Adat Griana Kauh.-WINDU SWASTIKA
Salah satu keunikan Tari Sang Hyang Dedari adalah gelungan yang dikenakan para penarinya. Gelungan ini terbuat dari batok buah jerungga (jeruk bali) yang dihiasi oleh bunga jepun, bunga gemitir, bunga jempiring, dan bunga telang.
"Bunga telang memiliki arti neleng atau melihat," kata Widana. "Leluhur terdahulu mengaitkan dengan sang hyang dedari turun ingin melihat di desa apakah pelaksanaan upacara sudah sesuai."
Dalam satu ritual, Tari Sanghyang Dedari dipentaskan sebanyak 3 hingga 5 kali dalam kurun waktu 15 hari, yang jatuh di sasih kadasa dalam kalender Bali. Kadas sendiri memiliki arti bersih dan suci.
"Ritual ini merupakan penghormatan kepada Sang Hyang Surya Amerta atau manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam sifat menghidupkan yang bersemayam di kahyangan sakti," ujar Widana.
Setelah pementasan selesai, gelungan Sang Hyang Dedari dibawa ke kuburan khusus yang berbeda dengan kuburan umum. Keesokan harinya, gelungan tersebut raib, dan hanya tersisa bambu yang digunakan untuk mengaitkan bunga ke jeruk jerungga.
Ritual Tari Sang Hyang Dedari merupakan tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Griana Kauh. Ritual ini menjadi simbol penghormatan kepada leluhur, doa untuk keselamatan dan kesejahteraan, serta ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. *win
1
Komentar