MUTIARA WEDA: Cara Tepat Merespons Perubahan
antaḥśritānantadūrantavāsanā, dhūlīviliptā paramātmavāsanā | prajñātisaṃgharṣaṇato viśuddhā, pratīyate candanagandhavatsphuṭam || (Vivekacudamani, 274).
Bagaikan harumnya cendana, harumnya Sang Diri, yang ditutupi oleh kerasnya debu vasanas dan kuatnya tertanam dalam pikiran, ketika dimurnikan dengan gesekan pengetahuan secara terus-menerus, harumnya dapat dirasakan lagi dengan baik.
APA pun kemajuan yang terwujud adalah baik untuk hidup kita. Seperti misalnya pembangunan infrastruktur di Besakih. Awalnya persoalan parkir selalu menjadi masalah, tetapi semenjak dibuatnya parkir bertingkat nan megah, persoalan itu diatasi. Berbagai fasilitas pendukung lain pun disediakan. Toilet layaknya di bandara, sistem paving sepanjang jalan menuju pura sangat baik dan nyaman, tempat peristirahatan dibuat megah dan nyaman, tong sampah juga tersedia, food court dibuat tertata dan bersih, taman dan lampu ditata apik, dan bahkan disediakan shuttle untuk pamedek yang senior. Intinya, seluruh pendukung demi kelancaran pamedek dibuat sangat sophisticated dengan desain milenial.
Inilah kemajuan dan sangat bagus. Namun sayang, di atas fasilitas yang megah dan mewah itu, masih banyak pamedek yang nature-nya tidak sejalan dengan fasilitas tersebut. Artinya, fasilitas barang (anggap) bintang lima harus diikuti oleh attitude bintang 5 pula. Apa itu? Sampah mestinya ada di tong bukan di sembarang tempat, toilet mestinya tidak bau pesing, dan attitude mestinya sangat menghormati kepentingan orang lain di tengah keramaian. Memang ketika odalan, sampah masih ditemukan di mana-mana, bekas sisa makanan juga membuat tidak nyaman duduk di lantai balai peristirahatan, toilet tampak kotor, dan kadang orang berdiri seenaknya menghalangi orang di belakangnya.
Persoalannya, mengapa kehadiran fasilitas bintang 5 tidak serta merta disambut dengan attitude bintang 5? Sebenarnya mereka senang dengan semua perubahan itu. Rasanya tidak ada orang menolak perubahan ke arah yang lebih baik. Hanya respons mereka yang belum siap. Seperti orang yang senang dapat uang banyak dari jualan tanah warisan, namun respons mereka tidak langsung membuat asetnya bertambah. Justru sebaliknya, tanah habis, uang pun habis. Di sini, pamedek yang belum mampu merespons perubahan tidak bisa disalahkan. Mengapa? Merujuk teks di atas memori-memori lama yang berupa kebiasaan-kebiasaan masih terbawa dan tertanam kuat di pikiran. Mereka menerima perubahan itu, tetapi respons-nya masih berdasarkan memori mereka.
Seperti misalnya, orang yang terbiasa hidupnya kotor akan terbawa ke mana pun tendensi itu. Orang ini akan terbelalak, dan ‘wahhh! luar biasa perubahannya, semuanya mewah dan kayak hotel bintang lima’, serunya. Namun, meskipun mereka bilang ‘wahhh’, tapi kebiasaan kotor itu akan tetap terbawa. Apapun barang yang dilewatinya akan dibuat kotor. Respons terhadap ‘wahhh’ itu adalah kotor, bukan bersih. Persoalannya, tendensi ini sangat kuat menancap dan sangat susah untuk diubah. Orang yang punya kesadaran untuk ini mungkin tampak sederhana, bahwa hidup bersih itu sederhana, tetapi orang yang terbiasa kotor, mereka tidak memiliki ide ini di pikirannya. Benda apapun yang bersih akan direspons dengan kekotoran.
Namun, teks di atas optimistis bahwa attitude seperti itu bisa dihilangkan. Bagaimana caranya? Mesti secara konsisten digesek dengan pengetahuan. Artinya, pemerintah dan semua unsur yang terkait, termasuk orang yang telah sadar untuk secara konsisten memberikan contoh dan peringatan. Adanya peringatan secara terus-menerus melalui pengeras suara untuk melakukan hal-hal yang diperlukan selama di areal pura sudah sangat bagus. Ini adalah sejenis pengetahuan yang secara konsisten membasuh kesadaran mereka.
Mereka pertama-tama dibuat hafal, kemudian secara perlahan mengalami internalisasi sehingga apa yang disampaikan hidup pada kesadaran masing-masing orang. Dan, agar informasi ‘hidup bersih’ itu menjadi perilaku alami, diperlukan waktu lama dan mungkin generasi. Sehingga, kalau saat ini masih saja ada orang yang membuang sampah sembarangan, tidak bertanggungjawab atas penggunaan fasilitas umum, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan mereka. Informasi dan kesadaran itu beda. Sepanjang kebersihan masih berupa informasi, mereka akan tetap kotor. Kesadaran lah yang membuatnya bersih. Mari kita terus berupaya untuk itu. Ketinggian peradaban memerlukan ketinggian buddhi. Mari terus asah kecerdasan kita agar semakin sensitif dalam merespons perubahan. Semakin banyak jumlah yang sadar, semakin tepat cara kita merespons perubahan. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
Komentar