‘Grogi’ Diapit Polisi saat Rilis Kasus
‘Kartini’ Penerjemah Bahasa Isyarat Polda Bali
DENPASAR, NusaBali - Luh Made Suriwati SSi, MSi, MPd acapkali muncul saat Polda Bali, Polresta Denpasar, dan Polsek jajaran menggelar konferensi pers. Dialah yang bertugas menjadi penerjemah bahasa isyarat bagi komunitas bisu dan tuli.
Guru SLB Negeri 2 Denpasar ini menuturkan, menjadi penerjemah bahasa isyarat di kepolisian baginya tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah mempersiapkan mental untuk bisa berdiri diapit polisi.
“Saya pertama tampil jadi penerjemah disaksikan banyak orang saat debat Pilgub 2018. Dari sana saya diminta bantuan Polda Bali, Polresta Denpasar bersama jajaran Polsek untuk jadi penerjemah bahasa isyarat. Yang sulit adalah mental. Sebenarnya bahasa kriminal anak tunarungu banyak yang tidak tahu karena mereka tidak tahu istilah, tetapi itu bisa diatasi,” kata perempuan kelahiran Desa Jegu, Kecamatan Penebel, Tabanan, 19 Februari 1983.
Bahasa untuk anak tunarungu tidak harus detail. Terpenting adalah pesannya sampai. “Cukup pesan itu sampai ke mereka dan mereka mengerti. Misalnya ada kejadian pada malam hari dengan kondisi langit yang cerah. Intinya kan itu peristiwa malam hari. Tinggal dijelaskan hari, tanggal, dan jam berapa kejadiannya,” tuturnya kepada NusaBali, Sabtu (20/4).
Meski kini menjadi guru, namun latar belakang pendidikan ibu dua orang anak ini bukanlah pendidikan keguruan. Bahkan dia sebenarnya menghindar untuk menjadi guru. Demi menghindar jadi guru, pendidikan S1 dia mengambil jurusan MIPA. Terpaksa menjadi guru karena menganggur setelah lulus S1.
“Selesai kuliah S1 saya tidak bekerja. Saya merasa malu pada kakak dan adik-adik saya yang sudah bekerja, bahkan ada yang sudah PNS. Keluarga mendorong saya untuk ikut tes di Provinsi Bali untuk menjadi guru SLB. Tahun 2009 saya tes dan lulus, ditempatkan di SLB Negeri 2 Denpasar,” ungkap Suriwati.
Awal menjadi guru, Suriwati mengalami kesulitan terutama dalam berkomunikasi dengan siswa yang semuanya adalah tunarungu wicara. Parahnya lagi pada 2009 itu guru-guru senior di SLBN 2 Denpasar memasuki masa pensiun. Dia kemudian disekolahkan ke Bandung untuk belajar khusus menjadi guru anak-anak berkebutuhan khusus.
“Kesulitan yang paling utama adalah komunikasi dengan anak didik yang merupakan anak berkebutuhan khusus. Sambil jalan sambil belajar dengan para guru senior di sana hingga akhirnya bisa. Selain itu saya merasa sangat menyenangkan menjadi guru dari anak-anak yang mungkin bagi sebagai orang sudah tidak menganggap mereka berarti,” tutur Suriwati.
Sejumlah prestasi telah dia raih. Tahun 2019 dia terpilih sebagai guru berprestasi mewakili Bali ikut lomba tingkat nasional dan meraih juara 1. Tahun yang sama dia mengikuti lomba tingkat Asia Tenggara yaitu SEA Creative Camp for Special Education Teacher. Hasilnya dia meraih juara 1.
Dia mendalami bahasa isyarat yang digunakan dalam Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Kemendikbud. Dikatakannya bahasa isyarat tunarungu Indonesia dengan orang luar negeri hampir sama, karena kiblatnya adalah American Sign Language (ASL). Jadi tidak terlalu sulit untuk berkomunikasi dengan tunarungu warga negara asing.
“Pernah ada warga dari Jerman kunjungan ke sekolah kami. Awalnya kami semua bingung karena tidak bisa bahasa Jerman. Ternyata bulenya tuli dan bisu. Akhirnya pakailah bahasa isyarat dan nyambung,” kisahnya.
Intinya berbicara dengan orang tunarungu harus jelas. Wajah bertatapan serta gerak mulut dan tubuh lainnya juga tegas. Sebab bahasa tubuh juga sebagai pengantar pesan. Bahasa isyarat itu hanyalah kesepakatan. Hal yang paling penting adalah gestur saat bicara.
“Kalau kami guru untuk tunarungu menyebutnya komunikasi total. Artinya, apa saja yang bisa digunakan untuk menjelaskan sesuatu kita lakukan,” ujarnya.
Sehubungan dengan Hari Kartini, Suriwati berpesan, “Selamat Hari Kartini untuk seluruh Kartini Indonesia. Wanita bukanlah kodrat yang terkungkung dalam stigma, tetapi potensi yang sama sebagai manusia yang dapat bertumbuh sesuai kodratnya.” 7 pol
1
Komentar