Yang Paling Disuka
MENJELANG pensiun Made Suardana sudah memantapkan niat menjadi pemangku. Saudara dan kerabatnya satu dadia penuh suka cita menyambut hasrat itu. “Alasan kami, De, karena kamu guru agama Hindu, cocoklah kalau kamu setelah pensiun jadi pemangku, memimpin saudara-saudara kita dalam hal ketakwaan pada Hyang Widhi.”
Saran-saran keluarga itulah yang semakin membulatkan tekad Made jadi pemangku. Apalagi karibnya, Nyoman Matra mendukung penuh niat itu. “Wah, cocok itu, De. Tepat. Pilihanmu itu ibarat kunci ketemu lubangnya,” ujar Nyoman, yang setamat SMA tidak melanjutkan kuliah, tapi menjadi tukang bangunan dan bertani. “Kamu menemukan kerja dan kesibukan yang paling kamu suka De.”
Made dan Nyoman bersahabat sejak SD. Tamat SMA Made mengajak Nyoman untuk kuliah di universitas keguruan. Tapi, Nyoman menolak. “Aku tak ada bakat jadi guru. Berdiri di depan banyak orang aku selalu gugup. Bisa-bisa aku dibully murid-murid,” begitu alasan Nyoman. Ia pun memilih mengurus tanah warisan dan perabotan pertukangan ayah dan kakeknya, untuk menjadi petani dan tukang bangunan. “Biar ada yang meneruskan riwayat kakekku sebagai undagi, De.”
Made menilai, Nyoman juga mengerjakan yang dia suka. “Kamu sangat menikmati bercocok tanam dan membangun rumah dan tempat suci. Kamu, Man, selalu mengerjakan yang kamu suka,” komentar Made. “Jadi, kita sebenarnya sama saja, merasa senang dan tenteram mengerjakan yang paling kita suka.”
Banyak orang yang bahagia kalau sudah memancing ke sungai yang airnya jernih, sejuk dirimbuni pohon-pohon besar. Kadang dia mancing ke laut, menyewa perahu, urunan dengan rekan. Dia mengaku memancing kegiatan yang paling dia suka. “Kalau istri melarang saya mancing, saya langsung sewot, demam dan lesu” ujarnya.
Tidak sedikit orang yang bahagia berjam-jam main catur, menatap bidak-bidak digerakkan oleh taktik dan strategi permainan. “Repotnya kalau tidak ada lawan. Main catur kan tidak mungkin sendiri, kecuali menganalisa permainan pecatur-pecatur kondang,” komentar para pesuka papan dan bidak catur itu.
Senang ada lawan, menjadi kegiatan orang-orang yang berjudi, seperti maceki atau main domino. Mereka bahkan punya komunitas, sekaa ceki. Mereka bermain sangat suntuk, bisa lebih 24 jam non-stop. Ini aktivitas yang paling disuka oleh orang-orang di kampung dan di kota, yang sering ngalengenin, bisa sampai lupa rumah dan anak bini.
Mereka yang sangat gemar matajen sabung ayam juga begitu: bahagia karena melakoni yang paling disuka. Mereka tahu duit akhirnya akan habis, kalah, walau awalnya menang. Para bebotoh ini sering dikeluhkan oleh ibu-ibu, karena lelaki-lelaki penyabung ayam lupa rumah tangga, tak hirau tanggung jawab, cuek sama ekonomi keluarga morat-marit. Semata karena mengikuti kegiatan yang paling disuka.
Duit terkuras gara-gara melakoni yang paling disuka juga dialami oleh orang baik-baik. Pensiunan guru dari Gianyar, Nyoman Manda, sering mengaku uangnya banyak ke luar untuk kegiatan yang ia suka: menerbitkan majalah dan buku sastra secara indie pakai duit pribadi. “Saya sering mengibaratkan dengan metajen. Dibanding duit habis buat menyabung ayam, mending buat kegiatan penerbitan sastra,” ujarnya berulang-ulang ke banyak rekan.
Rekan seangkatan Manda, Made Taro, juga begitu. Sampai kini di usia 85 tahun, dia terus menerbitkan buku-buku dongeng dengan biaya sendiri. Istrinya sempat mengeluh, dan menyarankan agar Taro berhenti menerbitkan buku, uang bisa dipakai untuk hal lain yang lebih penting. Tentu Taro menolak sengit, “Kalau melarang saya menerbitkan buku sendiri, sama artinya dengan mendoakan tidak bahagia, dan cepat mati,” ujarnya.
Tahun 70-80an di Jalan Melati, Denpasar, pernah praktik seorang dokter spesialis penyakit dalam bernama Moerdowo. Dia dikenal juga sebagai pelukis dan budayawan yang banyak tahu dengan rinci hal-ihwal kebudayaan Bali. Konon, kalau lagi mood melukis, sore hari, ia akan membiarkan pasien-pasiennya menunggu lama sebelum ia siap buka praktik. Muncul dugaan, Moerdowo menikmati kebahagiaan dari kegiatan yang paling ia suka, sampai tidak begitu peduli akan profesi yang memberinya banyak uang.
“Maka wajar jika teman kita penyair seperti Wayan Jengki tetap suntuk, asyik menulis puisi walau tak cukup mendatangkan duit buat hidup dari karya-karyanya” ujar Nyoman Matra. “Pasti bagi Wayan berpuisi kegiatan yang paling ia suka.”
Menurut Made Suardana, yang tidak sabar untuk mengikuti upacara ekajati agar dia sah jadi pemangku, kebahagiaan itu bisa dicapai dengan sederhana: lakonilah kegiatan-kegiatan yang kita suka. Pekerjaan yang kita suka pasti dilakukan dengan riang gembira, tanpa terpaksa. “Itu yang membuat kita panjang umur,” katanya. “Buktinya, Pak Taro hingga kini tetap segar bugar.” 7
1
Komentar