Mari Menilik Ulang Eksistensi Desa Adat!
Pasca Aparat Tangkap Bendesa Adat Berawa
Kasus ini menandakan telah terjadi degradasi kehormatan dari desa adat atau desa pakraman yang selama ini sangat kita banggakan dan ternyata sudah mulai terkontaminasi sedemikian rupa oleh materi.
DENPASAR, NusaBali - Penangkapan oknum Bendesa Desa Adat Berawa, Kecamatan Kuta Utara, Badung, oleh aparat dalam kasus dugaan pemerasan terhadap calon investor menuai banyak keprihatinan banyak kalangan. Desa adat dengan kearifan lokalnya merupakan pondasi kebertahanan budaya Bali dari gempuran globalisasi.
Kasus tersebut menjadi momentum melihat ulang posisi desa adat sebagai salah satu bagian dari eksistensi masyarakat Bali. Anggota DPD RI dari Provinsi Bali Made Mangku Pastika mengaku sedih dan prihatin mendengar kasus yang menimpa Bendesa Adat Berawa. Menurutnya, hal itu menjadi bukti bahwa materialisme telah merusak karakter ngayah yang semestinya dijunjung tinggi masyarakat Bali apalagi oleh prajuru desa adat.
“Kasus ini menandakan telah terjadi degradasi kehormatan dari desa adat atau desa pakraman yang selama ini sangat kita banggakan dan ternyata sudah mulai terkontaminasi sedemikian rupa oleh materi sehingga semangat ngayah, semangat mengabdi dengan penuh kehormatan menjadi hilang,” ujar Mangku Pastika di sela menghadiri seminar di Undiknas University, Denpasar, Jumat (3/5).
Gubernur Bali periode 2008-2013 dan 2013-2018 ini berharap hal itu menjadi perhatian serius dan bahan pelajaran agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Mantan perwira kepolisian yang sempat menjabat Kepala Polda Bali ini bahkan mendorong kajian serius terkait apakah hal serupa juga telah menjangkiti para prajuru desa adat lainnya di Bali.
“Terus terang saya sedih sekali mendengar ada peristiwa itu. Mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Ini pelajaran berharga bagi kita semua. Mari kita kaji kembali apakah sudah seperti itu merosotnya kualitas moral kita,” kata Mangku Pastika.
Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Kuta Utara, dalam keterangan resminya usai melakukan rapat koordinasi yang melibatkan Prajuru Desa Adat Berawa, menyatakan apa yang dilakukan oleh Ketut R selaku Bendesa Desa Adat Berawa dalam kasus dugaan pemerasan investor adalah atas nama pribadi bukan atas nama Desa Adat Berawa.
Prajuru Desa Adat Berawa juga tidak pernah memberikan mandat atau pun penunjukan kepada Ketut R selaku Bendesa Desa Adat Berawa untuk berkomunikasi dengan investor/pihak terkait dalam melakukan pemerasan atau meminta dana.
“Apabila ada sumbangan atau pun punia dari investor/pengusaha yang ada di wilayah Desa Adat Berawa Prajuru Desa Adat Berawa Bersama investor/pengusaha akan melakukan pertemuan di Sekretariat Desa Adat Berawa/Kantor LPD Desa Adat Berawa serta akan diberikan tanda terima untuk sumbangan atau punia berupa kwitansi,” bunyi pernyataan MDA Kuta Utara.
Menurut pernyataan tersebut, Prajuru Desa Adat Berawa juga tidak tahu terkait permasalahan yang menimpa bendesa adat mereka karena tidak pernah diberitahu baik di internal prajuru desa maupun melalui paruman desa adat (rapat desa adat).
Koordinator Pusat Kajian Desa Adat Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, I Made Endra Lesmana Putra,SE, MSi AkCA. - IST
Koordinator Pusat Kajian Desa Adat Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar I Made Endra Lesmana Putra SE MSi AkCA, juga sangat menyayangkan kejadian penangkapan terhadap Bendesa Desa Adat Berawa. Kejadian ini telah mencoreng kedudukan desa adat yang menjadi garda terdepan dalam pelestarian, pengembangan, dan kemajuan adat, tradisi, seni, dan budaya yang ada di masing-masing wewidangan desa adat di Bali.
Menurutnya, jika tidak ditanggapi serius, kejadian serupa berpotensi akan terjadi lagi. Untuk itu, jelas dia, diperlukan diskusi khusus antara Majelis Desa Adat (MDA) se-Bali, Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) se-Bali dan kelompok ahli bidang hukum untuk mengkaji kembali peran dan fungsi keberadaan dan eksistensi desa adat di masa mendatang. "Ini penting didiskusikan agar hal - hal seperti ini tidak merusak citra, nilai, dan esensi desa adat itu sendiri," kata Endra.
Endra mengatakan kewajiban menjaga alam, budaya, dan masyarakat tidak mudah bagi desa adat seiring derasnya pengaruh teknologi dan budaya luar. Karena itu Endra juga menegaskan bahwa pihak yang masuk ke Bali, seperti investor juga harus paham dengan hal ini. Jangan hanya ‘memanfaatkan saja’, harus ada peran nyata yang dilakukan dalam menjaga alam, budaya, dan adat istiadat Bali. Karena budaya dan adat istiadat yang menjadi daya tarik wisatawan datang ke Bali.
Dikatakan, desa adat memang memiliki kewenangan untuk melakukan pungutan kepada para pendatang termasuk investor di wilayahnya. Ini sesuai dengan ketentuan pararem yang dibuat oleh masing-masing desa adat yang secara rinci dalam turunannya sesuai pasal 37 Permendagri Nomor 44 Tahun 2016. Pungutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk menjaga keajegan desa adat sebagai pelaku budaya dan adat istiadat di Bali. Namun, pungutan yang dilakukan harus sesuai dengan teknis dan mekanisme yang berlaku agar tidak menimbulkan persepsi negatif, bahkan melanggar ketentuan aturan di atasnya.
Terkait itu, Ombudsman RI Perwakilan Bali sebelumnya juga sempat menyoroti soal pararem pungutan desa adat kepada warga di wilayah desa adat. Ombudsman meminta desa adat meresmikan pararem tersebut hingga ke tingkat Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali.
Menurut Ombudsman Bali pararem tersebut dibuat oleh banyak desa adat, namun dalam kajian Ombudsman Bali terhadap 21 desa adat, baru ada satu desa adat yang meresmikan pararem pungutan warga hingga ke MDA Bali dan Dinas PMA Bali.7a
1
Komentar