Penguasa dan Pemimpin
MUNGKINKAH umat manusia hidup tanpa pemimpin? Tak perlu ada sosok yang bertugas dan merasa wajib memberi komando? Masing-masing melangkah sendiri-sendiri tanpa benturan dan pertikaian?
Jika merujuk pada peradaban sejak zaman sebelum masehi hingga kini, jawabannya tentu, ‘tidak mungkin’. Manusia, peradaban, selalu melahirkan pemimpin, juru komando, yang memberi aba-aba, pencetus gagasan, sehingga arah perjalanan jelas. Selalu hadir di setiap zaman sosok yang berbeda, punya visi, memberi wejangan dan pandangan, jangan melangkah ke sana harus ke sini. Jangan lakukan ini mesti melakukan itu.
Ada kelompok, bangsa, peradaban, yang melahirkan pemimpin, ketika jalan di depan gelap dan kebingungan seperti tanpa akhir. Ada pula zaman, bangsa, yang selalu merasa wajib untuk melahirkan pemimpin, karena kepemimpinan tak boleh terputus. Sekian orang pun bertarung untuk menjadi komandan. Masyarakat diminta memilih.
Banyak bangsa yang melahirkan pemimpin dengan sendirinya. Tak usah dipilih, dia akan lahir sendiri. Orang-orang percaya, alam selalu memberi manusia pemimpin. Cerita-cerita pewayangan, kisah-kisah Romawi Kuno, sudah menjelaskan, pemimpin itu diciptakan oleh alam. Kendati ada komandan-komandan yang turun temurun, pada satu zaman tertentu, lahir pemimpin dari alam.
Zaman dulu di Bali, ketika orang-orang merasa tenang dan tenteram cukup dengan bertani, mereka tidak memilih pemimpin, cuma tinggal memutuskan, siapa di antara mereka pantas diangkat sebagai pemimpin. Kelihan banjar, kelihan sekaa, tidak dipilih, tapi ditentukan berdasarkan kecakapan dan integritasnya, yang bisa diartikan sebagai ketakwaannya terhadap kelompok beserta aturan dan ajaran-ajarannya. Dalam komunitas kaum tani itu, yang juga membentuk sekaa gong, sekaa seni pertunjukan, menentukan pemimpin berdasarkan kecakapan anggota. Mereka paham siapa yang terbaik, paling rajin, paling bertanggung jawab, dialah ditunjuk jadi pemimpin.
Tidak pernah ada voting, semua lancar dan aman, sehingga kita kemudian mengenal memilih pemimpin secara mufakat dan musyawarah. Yang ditunjuk memimpin tak bisa mengelak, sehingga dia terus menerus menjadi kelihan sekaa bertahun-tahun, sampai tua renta. Kemudian akan muncul sosok baru yang rajin, bertanggung jawab, dan paling cakap di antara mereka untuk memimpin.
Dulu memimpin tak pernah jadi rebutan. Kendati ada beberapa orang yang cakap, selalu saja aklamasi tercapai, sehingga persaingan tak pernah menjadi selisih paham atau permusuhan. Mungkin karena yang dipimpin beberapa puluh orang dalam satu sekaa, atau banjar dan desa, mereka menganggap siapa pun pantas menjadi pemimpin sepanjang dia cakap untuk pekerjaan itu. Sang pemimpin yang terpilih itu pun orang terhormat, punya track record tak pernah menempatkan diri sebagai sosok mencari keuntungan buat diri sendiri. Dalam lingkup kecil, terbatas, jauh lebih mudah memilih dan menentukan pemimpin.
Kini memimpin itu menjadi target, cita-cita hidup, karena mengurus ribuan, jutaan orang, memberi banyak keuntungan. Orang mengidamkan diri jadi pemimpin karena merasa hebat dan leluasa kalau berkuasa. Cita-citanya memang berkuasa, bukan memimpin. Kekuasaan memberinya kelonggaran untuk mengambil, menentukan, mengubah aturan, dan memutuskan benar-salah, baik-buruk, sesuatu.
Cita-cita menjadi pemimpin kini sudah samar-samar, berubah menjadi hasrat kuat menjadi penguasa. Jauh lebih nikmat sebagai penguasa sembari memimpin, tinimbang memimpin namun tidak cukup berkuasa. Banyak aturan dibuat untuk menempatkan seseorang sebagai penguasa, tidak sebagai pemimpin.
Jika belakangan ini kita hiruk pikuk memilih calon kepala daerah, bisa jadi sesungguhnya tanpa kita sadari, kita heboh memilih penguasa, bukan pemimpin. Para calon kepala daerah itu sesungguhnya sibuk memasang strategi atau bersiasat merebut suara rakyat untuk menjadi penguasa, sementara kita merindukan mereka menyuguhkan visi sebagai pemimpin.
Mari selalu kita bulatkan hati untuk memilih pemimpin, bukan penguasa. 7
Komentar