Baliho Buat Si Mati
ACAPKALI kematian jauh lebih penting tinimbang kehidupan. Seseorang ketika lahir tak begitu banyak yang hirau karena dari keluarga miskin.
Aryantha Soethama
Pengarang
Tapi seseorang ini gigih, menjadi kaya, dermawan, ringan membantu orang kesusahan, sehingga ia dicintai banyak orang. Ia menjadi tokoh pujaan. Terjun ke politik ia punya banyak pengikut, sosok yang ditunggu, dielu-elukan. Ketika ia mati banyak yang meratapi. Banyak karangan bunga dikirim untuk menyatakan duka cita atas kematiannya.
Suatu saat seorang tokoh spiritual wafat. Tokoh kita ini lahir di tengah keluarga sederhana, bapaknya guru sekolah dasar, ibunya pedagang sayur. Tokoh ini menjadi pengikut dan penggerak perubahan tanpa kekerasan. Ia disegani karena, entah mengapa, setiap orang yang berada dekat dengannya mengaku, “Saya merasa teduh dekat beliau, nyaman, tenang.”
Ia pun selalu didatangi oleh mereka yang gundah, agar mereka tenang dan terhindar dari gelisah. Jika terjadi kerusuhan, masyarakat bergejolak, tokoh kita ini hadir untuk menenangkan. Orang yang bertikai menjadi tenang, yang sangar menjadi tertunduk seperti kehilangan tenaga. Suaranya pelan, tapi jelas. Tokoh kita ini bicara satu-satu, khusuk, membuat tenang.
Ketika meninggal tokoh kita ini mendapat perhatian luas, tak putus-putus orang datang ke rumahnya untuk berdoa dekat jasad. Orang-orang yang berkunjung berujar, “Inilah kematian yang bahagia.” Karangan bunga dikirim bertumpul-tumpuk, begitu riuh, memadati seluruh halaman tumpah ruah sampai ke luar pekarangan, berderet-deret memanjang mengikuti trotoar. Tatkala jenazahnya diusung ke kuburan, berpuluh orang membawa karangan bunga itu, seperti pawai karya aneka desain.
Seorang dokter bedah jantung meninggal karena serangan jantung. Ia telah menyelamatkan ratusan jiwa, memperpanjang hidup sekian ayah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ribuan orang berutang budi pada si dokter. Ketika ia meninggal karangan bunga duka memenuhi rumahnya yang luas. Ribuan orang mencakupkan tangan, berdoa, ketika jasadnya diaben. Karangan bunga yang ratusan itu juga dibakar. Banyak karangan bunga yang besar-besar, indah, dibuat dengan telaten, tapi banyak juga yang ala kadarnya.
Orang Bali sesungguhnya tidak mengenal pemberian karangan bunga untuk si mati. Sebelum tahun 1970-an karangan bunga hampir belum hadir di Bali. Sama juga orang Bali tak mengenal memberi kado amplop berisi uang bagi pasangan menikah ketika resepsi berlangsung. Orang Bali juga tidak mengenal among ring acintya dilontarkan sebagai ungkapan belasungkawa jika ada yang meninggal. Ungkapan-ungkapan tadi dikenal sesuai dengan peradaban yang dilakoni kini oleh orang Bali modern, sebagai empati.
Dasar Bali manusia seni, desain pernyataan empati ini pun belakangan mulai berkembang. Semula karangan bunga itu tidak beda jauh desainnya dengan yang bisa ditemui di daerah-daerah lain, sesuai kultur manusia modern. Sebagian besar bahan dasarnya dari gabus atau styrofoam yang mudah dibentuk menjadi huruf-huruf indah. Di sudut-sudut bingkai segi empat, di bagian tengah, bawah, dan atas dihiasi dengan kembang-kembang segar, banyak juga bunga imitasi.
Boleh jadi orang Bali mulai bosan dengan desain-desain styrofoam itu, maka muncullah desain yang mengandalkan bahan baku plastik yang dicetak digital. Desain dibuat dengan aplikasi desktop publishing oleh si pemesan, lalu dicetak dengan printer digital yang biasa mengerjakan baliho atau print canvas buat neon box, atau spanduk dan back drop. Desain yang dicetak di mesin digital ini dipegang dengan bingkai kayu sederhana, sama seperti karangan bunga dari styrofoam. Bunga-bunga segar atau bunga plastik menghiasi karangan bunga ungkapan duka yang dicetak digital ini.
Karangan bunga cetak digital ini punya kelebihan, karena bisa dihiasi dengan foto si mati. Foto itu bisa dibuat besar, sehingga jelas, dan orang-orang tahu siapa yang mati. Kalau cetak digital menggunakan resolusi tinggi, foto si mati menjadi halus dan berkualitas, apalagi kalau dicetak di canvas buat cetak foto, menjadi karya seni dengan teknologi tinggi.
Karangan bunga dari styrofoam pun kini punya saingan baru: karangan bunga cetak digital, yang sekarang menjadi tren. Dalam sebuah acara ngaben seseorang, ada lima karangan bunga, cuma tiga dari styrofoam, selebihnya cetak digital. Foto yang diaben tampil dalam aneka pose, sehingga membangkitkan emosi yang memandangnya, menjadi terkenang-kenang.
Ah, orang Bali sungguh kreatif, orang mati pun menjadi sasaran bisnis, menjadi celah bersaing dalam dagang. Bukan mustahil kelak bakalan ada baliho besar di perempatan jalan bergambar sosok yang diaben. Ketika bade yang mengusung jenazah berputar-putar di perempatan, orang-orang segera tahu, foto yang di baliho itulah sosok yang terbaring di bade. Tidak hanya calon gubernur atau calon bupati dalam pilkada kini memajang baliho besar, juga mereka yang mati, disertai tulisan, “Selamat Jalan Pak, Semoga Amor Ring Acintya”. Di sudut kiri atas ada logo perusahaan yang menyumbang baliho itu. Sungguh kreatif dan promotif, bebas pajak. *
Tapi seseorang ini gigih, menjadi kaya, dermawan, ringan membantu orang kesusahan, sehingga ia dicintai banyak orang. Ia menjadi tokoh pujaan. Terjun ke politik ia punya banyak pengikut, sosok yang ditunggu, dielu-elukan. Ketika ia mati banyak yang meratapi. Banyak karangan bunga dikirim untuk menyatakan duka cita atas kematiannya.
Suatu saat seorang tokoh spiritual wafat. Tokoh kita ini lahir di tengah keluarga sederhana, bapaknya guru sekolah dasar, ibunya pedagang sayur. Tokoh ini menjadi pengikut dan penggerak perubahan tanpa kekerasan. Ia disegani karena, entah mengapa, setiap orang yang berada dekat dengannya mengaku, “Saya merasa teduh dekat beliau, nyaman, tenang.”
Ia pun selalu didatangi oleh mereka yang gundah, agar mereka tenang dan terhindar dari gelisah. Jika terjadi kerusuhan, masyarakat bergejolak, tokoh kita ini hadir untuk menenangkan. Orang yang bertikai menjadi tenang, yang sangar menjadi tertunduk seperti kehilangan tenaga. Suaranya pelan, tapi jelas. Tokoh kita ini bicara satu-satu, khusuk, membuat tenang.
Ketika meninggal tokoh kita ini mendapat perhatian luas, tak putus-putus orang datang ke rumahnya untuk berdoa dekat jasad. Orang-orang yang berkunjung berujar, “Inilah kematian yang bahagia.” Karangan bunga dikirim bertumpul-tumpuk, begitu riuh, memadati seluruh halaman tumpah ruah sampai ke luar pekarangan, berderet-deret memanjang mengikuti trotoar. Tatkala jenazahnya diusung ke kuburan, berpuluh orang membawa karangan bunga itu, seperti pawai karya aneka desain.
Seorang dokter bedah jantung meninggal karena serangan jantung. Ia telah menyelamatkan ratusan jiwa, memperpanjang hidup sekian ayah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ribuan orang berutang budi pada si dokter. Ketika ia meninggal karangan bunga duka memenuhi rumahnya yang luas. Ribuan orang mencakupkan tangan, berdoa, ketika jasadnya diaben. Karangan bunga yang ratusan itu juga dibakar. Banyak karangan bunga yang besar-besar, indah, dibuat dengan telaten, tapi banyak juga yang ala kadarnya.
Orang Bali sesungguhnya tidak mengenal pemberian karangan bunga untuk si mati. Sebelum tahun 1970-an karangan bunga hampir belum hadir di Bali. Sama juga orang Bali tak mengenal memberi kado amplop berisi uang bagi pasangan menikah ketika resepsi berlangsung. Orang Bali juga tidak mengenal among ring acintya dilontarkan sebagai ungkapan belasungkawa jika ada yang meninggal. Ungkapan-ungkapan tadi dikenal sesuai dengan peradaban yang dilakoni kini oleh orang Bali modern, sebagai empati.
Dasar Bali manusia seni, desain pernyataan empati ini pun belakangan mulai berkembang. Semula karangan bunga itu tidak beda jauh desainnya dengan yang bisa ditemui di daerah-daerah lain, sesuai kultur manusia modern. Sebagian besar bahan dasarnya dari gabus atau styrofoam yang mudah dibentuk menjadi huruf-huruf indah. Di sudut-sudut bingkai segi empat, di bagian tengah, bawah, dan atas dihiasi dengan kembang-kembang segar, banyak juga bunga imitasi.
Boleh jadi orang Bali mulai bosan dengan desain-desain styrofoam itu, maka muncullah desain yang mengandalkan bahan baku plastik yang dicetak digital. Desain dibuat dengan aplikasi desktop publishing oleh si pemesan, lalu dicetak dengan printer digital yang biasa mengerjakan baliho atau print canvas buat neon box, atau spanduk dan back drop. Desain yang dicetak di mesin digital ini dipegang dengan bingkai kayu sederhana, sama seperti karangan bunga dari styrofoam. Bunga-bunga segar atau bunga plastik menghiasi karangan bunga ungkapan duka yang dicetak digital ini.
Karangan bunga cetak digital ini punya kelebihan, karena bisa dihiasi dengan foto si mati. Foto itu bisa dibuat besar, sehingga jelas, dan orang-orang tahu siapa yang mati. Kalau cetak digital menggunakan resolusi tinggi, foto si mati menjadi halus dan berkualitas, apalagi kalau dicetak di canvas buat cetak foto, menjadi karya seni dengan teknologi tinggi.
Karangan bunga dari styrofoam pun kini punya saingan baru: karangan bunga cetak digital, yang sekarang menjadi tren. Dalam sebuah acara ngaben seseorang, ada lima karangan bunga, cuma tiga dari styrofoam, selebihnya cetak digital. Foto yang diaben tampil dalam aneka pose, sehingga membangkitkan emosi yang memandangnya, menjadi terkenang-kenang.
Ah, orang Bali sungguh kreatif, orang mati pun menjadi sasaran bisnis, menjadi celah bersaing dalam dagang. Bukan mustahil kelak bakalan ada baliho besar di perempatan jalan bergambar sosok yang diaben. Ketika bade yang mengusung jenazah berputar-putar di perempatan, orang-orang segera tahu, foto yang di baliho itulah sosok yang terbaring di bade. Tidak hanya calon gubernur atau calon bupati dalam pilkada kini memajang baliho besar, juga mereka yang mati, disertai tulisan, “Selamat Jalan Pak, Semoga Amor Ring Acintya”. Di sudut kiri atas ada logo perusahaan yang menyumbang baliho itu. Sungguh kreatif dan promotif, bebas pajak. *
Komentar