Petani Bali Belum Sejahtera
World Water Forum (WWF) ke-10
Petani Bali Belum Sejahtera
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Bali Prof Dr Ir I Gede Sedana MSc MMA
Sangat ironis di tengah gemerlap pariwisata, para petani di Bali masih jauh dari kehidupan yang sejahtera
DENPASAR, NusaBali - Pada gelaran World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali, 18-25 Mei 2024, para delegasi negara peserta sempat mengunjungi Warisan Budaya Dunia UNESCO Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan. Para delegasi kagum dengan keindahan sawah terasering yang menghampar hijau. Apalagi setelah dijelaskan adanya organisasi tradisional subak yang masih digunakan petani Bali dalam pengelolaan sumber daya pengairan sawah.
Delegasi WWF saat mengunjungi Subak Jatiluwih, Tabanan.-IST
Namun demikian, di balik keindahan persawahan dan kearifan lokal subak, masih menyisakan persoalan terkait para petani yang memroduksi bulir-bulir padi yang tumbuh. Sebagai pahlawan pangan, kesejahteraan petani di Bali ternyata masih cukup memprihatinkan.
Hal itu tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) di Bali yang masih belum beranjak tinggi. Setelah sempat terpuruk dalam beberapa tahun terakhir, NTP Bali pada tahun 2023 akhirnya merangkak menjadi 102,91. Namun, NTP Bali ini masih jauh tertinggal dari NTP nasional sebesar 114,14.
“Bali yang kita kenal dengan pertanian sistem subak namun bisa dikatakan belum sejahtera, belum bisa menyimpan duit yang cukup,” ujar Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya belum lama ini.
Dia menjelaskan dengan meraih NTP 100, para petani baru bisa balik modal alias biaya produksi sebanding dengan penjualan yang diraih. Sehingga dengan NTP sedikit di atas 100, pendapatan petani Bali belum memuaskan. Apalagi ketika NTP petani Bali berada di bawah 100, maka itu berarti petani Bali masih merugi sehingga kesejahteraan semakin jauh dari genggaman.
Pj Gubernur mengaku pemerintah daerah akan terus berupaya meningkatkan kesejahteraan petani melalui berbagai upaya. Menurutnya sangat ironis di tengah gemerlap pariwisata, para petani di Bali masih jauh dari kehidupan yang sejahtera.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Bali Prof Dr Ir I Gede Sedana MSc MMA menyampaikan, NTP di Bali saat ini memberikan indikasi bahwa kesejahteraan petani belum optimal. Hal itu terutama dialami oleh para petani gurem atau golongan petani yang lahannya sempit.
“Bahkan pada petani gurem atau golongan petani yang lahannya sempit dan buruh tani, serta penyakap kondisinya belum sejahtera seperti harapan kita,” ungkapnya.
Menurut Prof Sedana masalah dan tantangan yang dihadapi oleh para petani berkaitan dengan proses produksi, sumber daya manusia, lahan atau tanah, dan orientasi bisnis.
Masalah dan tantangan tentang proses produksi terkait dengan masih terbatasnya aplikasi teknologi budidaya pertanian termasuk penggunaan benih atau bibit unggul serta praktik budidaya yang baik dan benar.
“Hal ini berdampak pada produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkannya,” ucapnya.
Hal ini bertambah ketika harga pupuk mengalami peningkatan seperti saat ini. Sebagian petani justru memilih tidak menggarap lahannya karena percuma biaya produksi tinggi tidak akan sebanding dengan hasil penjualan yang rendah.
Lebih lanjut, masalah sumber daya manusia terlihat dari karakteristik para petani yang umurnya relatif tua, pendidikan formal dan informal yang terbatas, dan statusnya sebagai penyakap atau buruh tani, sehingga adopsi inovasi pertanian masih rendah. Ditambah lagi dengan keterbatasan penguasaan lahan yang mengakibatkan produktivitas dan pendapatannya yang rendah.
Di sisi lain, orientasi bisnis para petani juga belum menunjukkan adanya penerapan usaha tani komersial yang menguntungkan secara ekonomis karena mereka memiliki keterbatasan, seperti bargaining power yang rendah dalam pascapanen (pengolahan dan pemasaran), akses Informasi pasar, kredit usah atani dan lain sebagainya.
Prof Sedana mengatakan, para petani harus terus didorong oleh pemerintah dan stakeholder lainnya melalui program-program yang langsung menyentuh dirinya terhadap kegiatan usaha taninya.
“Sifat program tersebut adalah ‘yadnya’, di mana kita secara bersama-sama perlu berkorban kepada para petani karena mereka adalah para pejuang pangan bagi masyarakat secara keseluruhan,” ucap Rektor Universitas Dwijendra Denpasar ini.
Dia menegaskan sangat ironis jika kondisi petani masih belum sejahtera. Terlebih lagi, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang semestinya dapat menjadi referensi utama untuk menjamin kesejahteraan para petani.
“Sebagai Ketua DPD HKTI Bali, saya berharap adanya sinergitas program aksi dan implementasi dalam membangun pertanian untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani selain menjaga kelestarian sumber daya alam,” tandasnya.7a
Komentar