MUTIARA WEDA: Tindakan Aktif vs Pasif
sukhābhyudayikaṃ caiva naiḥśreyasikameva ca, pravṛttaṃ ca nivṛttaṃ ca dvividhaṃ karma vaidikam. (Manusmriti, 12.88)
‘Tindakan Weda’ ada dua jenis—(a) ‘aktif’, yang kondusif bagi kebahagiaan dan kemakmuran, dan (b) ‘pasif’, yang kondusif bagi kebaikan tertinggi.
TINDAKAN Weda ada 2, aktif (pravrtti) dan pasif (nivrtti). Tindakan aktif berhubungan dengan pengetahuan dan pemenuhan keinginan-keinginan duniawi untuk kebahagiaan dan kemakmuran. Tindakan pasif berhubungan dengan pengetahuan dan tindakan yang dilakukan tanpa keinginan. Hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan fisik itu tergolong aktif, sementara hal yang berhubungan dengan kebutuhan rohani itu pasif. Dengan kata lain, kewajiban-kewajiban duniawi yang memang alam hendaki disebut natural dharma, dan kewajiban yang berhubungan dengan upaya melampaui duniawi disebut transcendental dharma.
Dari kedua jenis tindakan Weda ini, mana yang lebih penting, pravrtti atau nivrtti? Menurut Weda, keduanya sama-sama penting karena saling melengkapi. Orang tidak bisa melakukan tindakan pravrtti saja atau nivrtti saja. Memang sebagian besar orang masih berada pada posisi pravrtti, upaya untuk mengejar kesejahteraan duniawi, tetapi dengan kecerdasannya, manusia merasa ada hal yang kurang, kesenangan yang diperoleh tidak mampu mencapai kebahagiaan ultimate. Kesenangan duniawi bersifat dualitas, suatu saat bisa berujung pada penderitaan. Sebesar apapun kebahagiaan yang dirasakan di dunia suatu saat memudar dan beralih menjadi ketidakbahagiaan.
Insting yang menarik manusia selalu terkungkung di jalur natural dharma (pravrtti), tetapi melalui kecerdasannya, ada kekuatan yang menarik untuk bertindak melampaui duniawi. Ada sebuah terminal akhir di mana tidak ada lagi dualitas, kebahagiaan yang tidak tergantikan oleh penderitaan, sebuah kehakikian. Biasanya orang-orang yang kesadarannya telah berkembang, yang telah melewati berbagai panas dan dinginnya kehidupan akan menemukan bahwa jalur pravrtti akan berputar-putar saja, bergerak tetapi tidak ke mana-mana. Mereka memiliki niat untuk mengakhiri tindakan yang berputar-putar itu dan masuk ke dalam keabadian.
Jika orang telah jenuh dengan jalan pravrtti, apakah bisa beralih ke nivrtti saja? Interpretasi awal memang begitu. Saat berada dalam perjalanan, orang dipaksa untuk mengambil jalan berkebalikan, meyakini dengan cara berkebalikan. Tetapi, lambat laun, ketika nihil menghampiri, dia kembali ke awal dengan cara pandang baru. Artinya, ketika kekayaan tidak memberi kebahagiaan, dia kemudian banting setir ke arah berlawanan, menolak kekayaan, hidup miskin. Saat miskin juga tidak memberinya apa-apa, eia mulai menemukan: ‘tidak perlu balik haluan’. Tetap saja seperti dulu, tetapi dengan pondasi kesadaran yang berbeda. Materi tidak dia tolak, sebab tidak mungkin. Dia pun menyadari bahwa materi hanya alat. Yang menyebabkan menderita bukan materinya, tetapi keterikatannya.
Dia pun kembali normal, menerima kekayaan apa adanya, tanpa keterikatan, dan hidup bahagia. Materi adalah alat bantu kehidupan. Bahkan, hanya materi yang bisa membantu untuk tetap bertahan hidup, untuk tetap melaksanakan kewajiban, agar bisa tetap belajar dan agar tetap bisa berkontemplasi mengasah kesadaran. Tapa tidak lagi diinterpretasi sebagai kemiskinan, tetapi hidup tanpa keterikatan. Miskin happy, kaya juga happy. Kaya atau miskin hanyalah permainan semata. Kemampuan memainkan peran itulah yang menyebabkan rasa bahagia. Bahagia dengan kemiskinannya dan bahagia dengan kekayaannya.
Tapi, apakah orang miskin bisa bahagia? Tentu ada, sehingga dia bisa memilih untuk tetap miskin. Kebahagiaannya tidak berkurang. Tetapi, jika kemiskinan adalah momok, maka pilihannya harus bekerja keras mengatasi kemiskinan itu dan menjadi kaya. Tapa diinterpretasi menjadi ‘usaha maksimal’. Dengan kekayaan berbagai fasilitas bisa dimanfaatkan. Selang beberapa lama, ketika rasa hampa mulai menerpa, saatnya dia kembali memilih, apakah hidup miskin kembali atau tetap kaya dengan intrepretasi baru. Itu pilihan, sebab kedua-duanya bermanfaat untuk perkembangan kesadaran. Miskin bisa dijadikan sebagai metode spiritual, kekayaan pun bisa. Akhirnya, jika pendulum telah lengkap bergerak ke kanan dan ke kiri, ia tidak lagi berada di kanan atau kiri. Atau sebutan ekstremnya bisa berada di kanan dan di kiri secara bersamaan, aktif dan pasif bersamaan. Itu mungkin disebut sebagai ‘jalan tengah’ oleh Buddha. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
Komentar