nusabali

Mari Hidupkan Tradisi Bali Mendongeng!

  • www.nusabali.com-mari-hidupkan-tradisi-bali-mendongeng

Memberikan cerita sarat nilai sebelum tidur sangat efektif menanamkan pendidikan karakter kepada anak-anak. Dalam satu penelitian, dongeng yang diberikan kepada anak-anak sebelum tidur masih tetap membekas 25 tahun setelahnya.

DENPASAR, NusaBali - Mendongengi anak – anak sebelum tidur pernah menjadi tradisi yang sangat intens di Bali. Selain membantu agar anak mudah terlelap, nilai-nilai di dalam cerita yang secara rutin diberikan melalui dongeng itu akan tetap hidup di alam bawah sadar anak bahkan di sepanjang perjalanan hidupnya. 

Hal itu pula yang dirasakan maestro dongeng Bali Made Taro. Dia masih ingat betul ketika setiap malam menjelang tidur mendengar cerita-cerita yang dikisahkan orangtuanya. Pria sepuh 84 tahun asal Desa Sengkidu, Kecamatan Manggis, Karangasem, ini kemudian puluhan tahun berkecimpung menghidupkan tradisi mendongeng di tengah-tengah masyarakat Bali. 

“Dongeng itu kan sebetulnya persoalan hati. Mendongeng itu penuh dengan nilai-nilai karakter atau nilai-nilai pendidikan moral. Pendidikan itu harus ditanamkan sejak dini karena itu disebut cerita bekal tidur,” ujar Made Taro saat mengisi pelatihan mendongeng di Rumah Budaya Penggak Men Mersi, Denpasar, Selasa (4/6). 

Mantan guru Antropologi di SMA Negeri 2 Denpasar  ini menuturkan, memberikan cerita sarat nilai sebelum tidur sangat efektif menanamkan pendidikan karakter kepada anak-anak. Dalam satu penelitian, dongeng yang diberikan kepada anak-anak sebelum tidur masih tetap membekas 25 tahun setelahnya. 

Oleh karena itu dia mengajak para orangtua untuk menyempatkan menceritakan dongeng-dongeng kepada anak-anaknya sedini mungkin, sebagai bekalnya membangun masa depan. “Anak-anak sudah bisa diacak bercerita sejak usia 3 tahun,” jelas alumnus Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana ini. 

Dia menyarankan, dongeng yang diceritakan kepada anak-anak disesuaikan dengan lingkungan seusianya. Usia 3-5 tahun misalnya bisa menggunakan cerita Ekor Tikus Hilang, yang di dalamnya terdapat objek - objek yang telah dikenal anak seperti tikus, kucing, petani, dan lain sebagainya. Orangtua dapat menambah gambar atau gerak agar menarik perhatian anak-anak. 


Made Taro mengatakan tradisi mendongeng sempat disepelekan di Indonesia termasuk Bali karena dianggap tidak penting dan justru mengganggu proses belajar di sekolah. 

Hal berbeda dirasakannya di negara-negara maju yang dikunjunginya. Berkat kegigihannya mempopulerkan dongeng, Made Taro mendapat undangan dari banyak negara lain untuk bercerita. Made Taro mendapat undangan mendongeng di Singapura. Ia disambut dengan penonton yang penuh. Sementara di di Afrika Selatan, penonton yang mendengarkan, bukan anak-anak, melainkan para dosen, guru dan tokoh. Untuk pertama kalinya, Made Taro mendongeng di hadapan penonton yang membayar tiket. 

“Penghargaan terhadap dongeng di barat itu, juga berimbas pada diri saya yang terus mendapat undangan mendongeng,” ungkap pria tiga anak. 

Menurutnya, di negara-negara tersebut dongeng begitu diagungkan, bahkan sampai dibuatkan festival. Mereka sangat menghargai dongeng karena cerita itu sebagai bekal anak cucunya nanti. “Kalau anak ingin cerdas, maka berikanlah dongeng. Kalau anak ingin cerdas sekali, maka berikanlah banyak dongeng. Itu pengalaman dari luar negeri,” tutur Made Taro. 

Dia bersyukur kesadaran demikian belakangan juga mulai dirasakannya di Tanah Air. Mulai muncul kesadaran bahwa mendongeng ternyata sangat penting dalam membangun karakter generasi penerus. Banyak festival dongeng digelar dan dongeng menjadi kajian para akademisi maupun mahasiswa. 

“Seperti dongeng saya misalnya banyak diangkat mahasiswa ke dalam bentuk gambar, skripsi, bahkan untuk meraih gelar doktor,” ujar Made Taro yang telah menerbitkan 35 judul buku dongeng. 

Melalui Sanggar Kukuruyuk yang didirikannya pada 1973, Made Taro telah 50 tahun mengabdikan diri untuk mendongeng. Ribuan anak telah dididik menggunakan dongeng pada sanggar yang awalnya bernama Rumah Dongeng. Dia pun menaruh harap dongeng bisa masuk kurikulum di sekolah. Sebab, menurutnya kurikulum saat ini terlalu mengedepankan pendidikan rasional. Sementara pendidikan ‘hati’ seperti dianaktirikan. “Koruptor yang menjamur, anak membunuh orangtua dan orangtua membunuh anaknya, tawuran anak-anak sekolah, semua itu terjadi karena tidak memiliki hati,” kata Made Taro.7a

Komentar