nusabali

Mayadnya Ikhlas Tidak Perlu Mahal

  • www.nusabali.com-mayadnya-ikhlas-tidak-perlu-mahal
  • www.nusabali.com-mayadnya-ikhlas-tidak-perlu-mahal

Upacara yadnya tanpa berdasarkan pada tattwa dan susila menjadikannya kering, seolah-olah hanya menjadi seremonial belaka.

DENPASAR, NusaBali - Keseharian masyarakat Hindu di Bali telah dikenal luas dengan kehidupan ritual yang kental. Wangi dupa dan bunga sebagai sarana persembahan kepada leluhur sangat mudah dirasakan di setiap jengkal tanah Pulau Dewata. 

Dalam setiap tahap kehidupan masyarakat Hindu di Bali memang tidak dapat dilepaskan dari yadnya atau ritual. Sejak dalam kandungan, remaja, hingga kematian, ada upacara khusus yang harus dilakukan. Tidak jarang, umat Hindu sendiri merasa kewalahan dengan biaya yang harus disisihkan untuk menggelar setiap upacara yadnya. 

Praktisi spiritual yang juga akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi), Dr Komang Indra Wirawan SSn MFil H mengingatkan bahwa ritual hanyalah satu dari tiga kerangka dasar agama Hindu yang terdiri dari Tattwa (filsafat), Etika (susila), dan Upacara (ritual). 

“Upacara yadnya tanpa berdasarkan pada tattwa dan susila menjadikannya kering, seolah-olah hanya menjadi seremonial belaka. Padahal tattwa, susila dan acara merupakan satu rangkaian sebagai aktivitas religius manusia dengan Tuhan, sehingga yadnya menjadi hal yang tampak jelas dapat dilihat sebagai wujud dari agama,” jelas pria akrab disapa Komang Gases kepada NusaBali, Sabtu (15/6). 

Lebih lanjut, Komang Gases mengatakan upacara yadnya memiliki tujuan yang pasti, yakni meraih kelepasan. Manawa Dharmasastra VI.35 menyebutkan bahwa pikiran (manah) baru dapat ditujukan kepada kelepasan setelah tiga utang terbayar. Tiga utang yang dalam bahasa Sansekerta disebut Tri Rnam terdiri dari utang kepada Tuhan yang disebut dengan Dewa Rnam, utang kepada leluhur disebut Pitra Rnam, dan utang kepada para Rsi disebut Rsi Rnam. 

Untuk membayar ketiga jenis utang tersebut, umat Hindu kemudian diarahkan untuk melaksanakan upacara Panca Yadnya. Dewa Rnam dibayar dengan mengadakan Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya, Pitra Rnam dibayar dengan mengadakan Pitra Yadnya dan Manusia Yadnya, sementara Rsi Rnam dibayar dengan Rsi Yadnya. 

Pitra Yadnya sendiri merupakan kewajiban yadnya yang dilaksanakan oleh para pratisentana (keturunan), yakni dengan persembahan suci kepada para Leluhur. Semasih orangtua hidup sebagai anak sepantasnya memberikan kasih sayang dan bakti. Sementara setelah orangtua meninggal dapat melaksanakan dharma kepatian (upacara pitra yadnya yang terdiri dari upacara pengabenan, upacara Atma Wedana/penyucian roh/atma, dan upacara ngelinggihang Dewa Pitara. 

Komang Gases melalui Yayasan Gases Bali menyelenggarakan rangkaian upacara Dewa Pitara Puja, prosesi upacara Pitra Yadnya sebagai bentuk bakti sentana (Bhaktining Suputra atau Anak yang Berbakti) dalam bentuk upacara Atma Wedana, Baligia lan Mapandes (potong gigi) Sinarengan pada 6-26 Juni 2024. Diikuti puluhan umat dari berbagai latar belakang, upacara ini bertujuan memupuk rasa kebersamaan tanpa memandang klan atau soroh. 

Hal ini diwujudkan dalam pembiayaan upacara dengan jalan punia, sehingga ada subsidi silang bagi yang kurang mampu. Dengan itu Komang Gases menyebut umat juga dapat merasakan indahnya berbagi dalam beryadnya. “Terobosan ini yang Gases lakukan, agar masyarakat tetap melakukan kewajiban tanpa mengurangi arti yadnya yang dipersembahkan,” ucapnya. 

Komang Gases menjelaskan, Atma Wedana memiliki sejumlah bentuk dan istilah yang tergantung tingkat upakara yang dilaksanakan seperti ngelanus, nandang mantri, tumandang mantri, ngerorasin, nyekah ngangseng, nyekah kurung, memukur, panileman, baligia, dan lain sebagainya. 

Baligia sendiri merupakan salah satu bentuk upacara Atma Wedana yang tergolong upacara memukur utama. Baligia berasal dari kata Bali atau Wali yang bermakna persembahan, banten, dan juga berarti bahasa penegas, sungguh, tentu, pasti. Baligia merupakan upacara pembersihan yang dilaksanakan dengan sarana upacara banten.

Menurut Komang Gases, meskipun literatur sastra agama menyampaikan hal yang jelas, namun tetap penerapannya belum tentu sama, karena tergantung dari desa kala patra di masing-masing tempat. 

“Upacara di Bali sering menjadi ajang kontestasi modal sehingga terasa sangat berat untuk beryadnya. Dengan Bhaktining Suputra 2024 ini berharap dapat sebagai proses pembelajaran bersama, sehingga nantinya dalam melakukan upacara kita tidak menjadi ‘takut’ untuk beryadnya, karena berdasarkan atas kemampuan yang kita miliki,” ujarnya. 7a

Komentar