nusabali

MUTIARA WEDA: Pandangan Persahabatan

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-pandangan-persahabatan

Mitrasyaaham chakshusha sarvani bhutani samikshe Mitrasyaaham chakshusha sarvani bhutani samikshamahe Mitrasya chakshurasa samikshamahe. (Yajur Veda 36.18)

Dengan pandangan persahabatan, saya melihat semua makhluk; dengan pandangan persahabatan, semua makhluk melihat saya; dengan pandangan persahabatan, kita saling memandang.

IDEALNYA teks di atas tidak pernah terjadi dalam fakta. Yang terjadi sebaliknya, pandangan penuh permusuhan, iri hati, dengki, amarah, curiga, nyinyir, tidak suka, dan penuh dengan keinginan. Jika kita berteman, pandangan kita bukan persahabatan. Kita berteman oleh karena kita merasa diuntungkan, merasa cocok, merasa memperoleh manfaat. Seperti misalnya, kita disebut zoon politikon, makhluk sosial, bermasyarakat. Mengapa bermasyarakat? Karena kita tidak bisa kesepian? Untuk apa kita berada di tengah-tengah masyarakat, bersahabat dengan yang lain? Agar kita tidak kesepian. Kita penting bersosialisasi oleh karena kepentingan kita. Jadi, cara kita memandang orang lain bukan dengan mata persahabatan, melainkan kepentingan.

Apa salah seperti itu? Faktanya, teks di atas tidak bisa terlaksana secara apa adanya. Sehingga, tidak salah dengan cara pandang kita. Semua orang dibekali ahamkara (identitas), dibekali memori, imajinasi, rasa suka dan tidak suka. Dengan semua itu kita memandang. Kita berinteraksi kepada yang lain sesungguhnya semata-mata untuk kepentingan kita. Normalnya, tidak bisa lebih dari itu. Memikirkan ini dalam-dalam, kita baru paham kalau teks di atas tidak sederhana. Perintah itu tidak mudah dikerjakan, mustahil. Lalu bagaimana? Jika murni ‘pandangan persahabatan’, itu tidak mungkin. Jika ‘pandangan persahabatan’ plus kepentingan, baru memungkinkan. Persoalannya, apakah teks di atas sebenarnya ingin menyatakan ‘murni’ pandangan persahabatan atau pandangan persahabatan ‘dengan kepentingan’? 

Jika persoalannya, ‘murni’ pandangan persahabatan tidak memungkinkan, maka ‘dengan kepentingan’ mesti satu-satunya jalan untuk memahami teks di atas. Mang Shanti memandang Tut Kerti dengan penuh persahabatan oleh karena dirinya tidak kuasa sendirian. Demikian juga Tut Kerti memiliki pandangan persahatan kepada Mang Shanti oleh karena kepentingan dirinya. Oleh karena sama-sama penting, makanya mereka memiliki pandangan persahabatan. Ini adalah interpretasi pertama. Kepentingannya sama, yakni sama-sama makhluk zoon politikon, sama-sama tidak bisa sendiri, makhluk yang tidak bisa kesepian. Ini interpretasi pertama. 

Kedua, De Plodot tampak bersahabat dengan Putu Sengon oleh karena De Plodot ingin dibantu ketika perlu. Demikian juga sebaliknya Putu Sengon menunjukkan sikap persahabatan kepada De Plodot karena kepentingan yang sama. Jadi, mereka sama-sama menunjukkan sikap bersahabat oleh karena kepentingan untuk dibantu. Atau dengan kata lain, persahabatan ini oleh karena unsur politis, kepentingan lain yang membebani. Bukan hanya zoon politikon, melainkan hal politis lainnya. Kebanyakan dari kita berada pada posisi ini. Kita bisa berbuat baik kepada orang lain oleh karena kita menginginkan orang lain berbuat baik kepada kita. ‘Pandangan persahabatan’ menjadi politis. 

Ketiga, ada interpretasi yang mungkin nilainya paling mendekati teks di atas. Orang memiliki ‘pandangan persahabatan’ kepada orang lain oleh karena memang demikian. Satu-satunya kepentingan dari ‘pandangan persahabatan’ itu adalah untuk persahabatan itu sendiri. Mengapa ‘pandangan persahabatan itu penting’? Karena persahabatan itu sendiri, tidak ada yang lain. Orientasi ‘pandangan persahabatan’ adalah persahabatan itu sendiri. Terkait dengan teks di atas, apakah ini hanya dari sisi diri kita saja? Artinya, apakah sumber ‘pandangan persabahatan’ hanya dari diri kita kepada orang lain saja, atau orang lain juga secara otomatis memiliki ‘pandangan persahabatan’ kepada kita? 

Secara umum kita mengerti bahwa diri kita telah memiliki pandangan persahabatan kepada orang lain, sementara pada saat bersamaan kita juga tahu bahwa orang lain belum tentu memandang diri kita dengan cara yang sama. Pemahaman kita seperti itu. Lalu, apakah salah? Sebenarnya tidak salah, tetapi satu kebenaran pahit yang harus dimengerti. Apa itu? Sampai kita mengetahui bahwa orang lain belum tentu memiliki ‘pandangan persahabatan’ kepada kita, sementara kita sudah memiliki ‘pandangan persahabatan’ kepada orang lain, pemahaman itu fake, palsu. Pandangan ini masih bersifat politis. Jika kita memang benar-benar memiliki ‘pandangan persahabatan’ hanya semata-mata untuk persahabatan itu sendiri, maka secara otomatis dari perspektif kita, ‘orang lain juga memiliki pandangan persahabatan yang sama’. Tapi, bedakan dengan kecerobohan. 7

I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute

Komentar