nusabali

Duta Badung Tampilkan ‘Cihnaning Wetu’ dalam Utsawa Drama Gong Tradisi

  • www.nusabali.com-duta-badung-tampilkan-cihnaning-wetu-dalam-utsawa-drama-gong-tradisi
  • www.nusabali.com-duta-badung-tampilkan-cihnaning-wetu-dalam-utsawa-drama-gong-tradisi
  • www.nusabali.com-duta-badung-tampilkan-cihnaning-wetu-dalam-utsawa-drama-gong-tradisi
  • www.nusabali.com-duta-badung-tampilkan-cihnaning-wetu-dalam-utsawa-drama-gong-tradisi

DENPASAR, NusaBali.com - Sanggar Seni Arsa Wijaya, Banjar Anyar Kaja, Kelurahan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara mewakili Kabupaten Badung dalam Utsawa (Parade) Drama Gong Tradisi PKB XLVI tahun 2024 di Kalangan Ayodya Taman Budaya Bali (Art Center).

Membawakan cerita ‘Cihnaning Wetu’, drama gong perwakilan dari Gumi Keris ini tidak saja menghibur namun juga menyampaikan banyak pesan moral dalam penampilannya pada Kamis (20/6) malam. 

Koordinator Sanggar, I Wayan Ardana SSn mengatakan, persiapan untuk pementasan menemui banyak kendala karena kesibukan masing-masing pemain drama. "Masing-masing punya kegiatan maka kita sulit menyatukan pemain dan ini pertama kalinya Kuta Utara mewakili drama gong dalam pentas di PKB mewakili kabupaten Badung. Jadi kami harap bisa maksimal," ungkapnya. 

Hal senada disampaikan Pembina Sanggar, Drs I Gusti Lanang Subamia MMPd. "Kami merasa bangga bisa tampil meski dengan latihan yang tidak begitu dapat efektif. Terus terang saja karena yang kami pakai memang punya penampilan-penampilan tapi bukan di drama gong, sehingga kami hanya memberikan rambu-rambu. Jadi begini penampilan kami karena jam terbangnya belum begitu banyak di drama gong," ucapnya sembari berharap drama gong tetap eksis, karena pementasan drama gong sedikit dan agak jarang kecuali saat PKB. 

Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, Drs I Gde Eka Sudarwitha SSos MSi mengatakan, duta Kabupaten Badung dalam pagelaran drama gong mengangkat kisah atau menggali potensi-potensi seni tradisi dikolaborasikan dengan aspek-aspek yang menyampaikan pesan-pesan moral kepada masyarakat.

"Dengan cara atau kemasan yang menghibur, hal ini tidak terlepas dari peran para pembina dan Listibia terutama Listibia Kecamatan Kuta Utara sehingga karya ini dapat diwujudkan dan dapat menghibur kita semua semoga dapat terus berkarya untuk menggali seni potensi dan tetap menghibur melalui akar budaya kita," sebutnya.

Penampilan dari Badung mendapatkan sambutan hangat para pecinta seni. Garapan yang diangkat yakni ‘Cihnaning Wetu’ yang menceritakan di hutan Madui tumbuh besar perjaka tampan bernama I Gusti Ngurah Kawya. Dia hidup bersama ayah dan kedua abdinya yang saban hari kegiatannya berburu dan memancing. 

Pada suatu hari sudah dilarang oleh ayahnya untuk pergi berburu karena hari tidak baik, namun diam-diam dia pergi juga berburu. Setibanya di tengah hutan, ada angin topan datang dan melemparkan mereka bertiga sangat jauh terdampar dan kemudian mereka sampai di suatu taman yang indah milik Raja Daha Pura. 

Di kerajaan Daha Pura memiliki dua orang putri yang sulung dari alm istri pertama raja bernamla Dyah Dibyasari (Putri), dan yang kedua Putri Prami sekarang bernama Dyah Ragasmari (Liku). Kedua putrinya ini menurut Raja dan Prami sudah layak dijodohkan. 

Prami pun diam-diam sudah mengirim utusan ke kerajaan Mataum supaya Raja Putra Mataum segera meminang anaknya (liku), begitu juga Raja Mataum sudah sepakat. Raja Mataum pun sudah siap untuk berangkat ke Daha Pura akan menikah. Setelah sampai di Daha Pura, dinikahkanlah dengan Liku. 

Putri (Dyah Dibyasari) seperti biasa ke taman bersama dayang-dayangnya membawa sesajen, setelah menghaturkan sesajen bertemu dengan I Gusti Ngurah Kawya. Setelah perkenalan Dyah Dibyasari minta kepada I Gusti Ngurah Kawya supaya mau menjadi abdi di Puri Daha Pura, dan disanggupi. 

I Gusti Ngurah Kawya ditugaskan merawat tetamanan, dan lama-kelamaan Dyah Dibyasari menaruh hati pada I Gusti Ngurah Kawya.

Pada suatu hari di Taman, Dyah Dibyasari minta dicarikan kembang dan lanjut untuk memasang di kepalanya, ketika itu datang permasuari dan Patih Agung melihatnya sehingga sangat marah. Dyah Dibyasari diseret oleh Prami, Patih Agung disuruh membunuh I Gusti Ngurah Kawya oleh permaisuari. Begitu hendak dibunuh, datang Patih Anom menghalangi. 

Perdebatan pun terjadi, Patih Agung kalah silat lidah, langsung memanggil Raja. Raja pun marah, dibalikkan tugasnya Patih Anom yang diperintah raja untuk membunuh Ngurah Kawya.

Patih Anom pun tidak bisa mengelak perintah Raja. Ketika ditikam oleh Patih Anom tidak terluka, lalu Ngurah Kawya menyerahkan keris kecil untuk membunuh dirinya ternyata keris itu diketahui oleh Patih Anom bahwa itu Pusaka Koripan, curiga Patih Anom setelah Ngurah Kawya menyatakan keris itu orang tuanya yang memberi, dilihatlah tangannya Ngurah Kawya ada tanda cakra. Maka dapat dipastikan Ngurah Kawya adalah Putra Raja Koripan. 

Ketika itu datang Patih Werda yang telah lama mencari Ngurah Kawya, setelah memberi penjelasan, sepakat akan menghadap Raja. Pramesuari menyeret Putri dengan segala makian, datang Patih Agung lalu disuruh membunuh Putri karena dianggap mencemarkan nama baik Puri Daha Pura. Putri disiksa oleh Patih Agung, ketika hendak dibunuh datanglah Raja, Patih Anom, Raja Muda. Putri selamat dan Patih Agung diusir. @ind

Komentar