Menjadi Pamangku Mengubah Hidup I Made Pasek Suarmita
MANGUPURA, NusaBali - I Made Pasek Suarmita, 39, menjadi pamangku Pura Puseh Desa Adat Getasan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung di usia 34 tahun, saat di mana dia sedang merasa sangat jauh dari tuhannya.Kala itu, pada 6 Juni 2019, dilaksanakan upacara nyanjian yakni ritual pemilihan pamangku baru di Pura Puseh Desa Adat Getasan. Pasek yang lama tinggal di luar negeri sebagai hotelier, hadir hanya karena penasaran dengan jalannya ritual.
Tidak disangka, kehadirannya saat upacara nyanjian karena rasa penasaran itu sudah ditakdirkan Hyang Widhi. Sasuhunan di Pura Puseh Getasan memilihnya secara niskala melalui seorang Jero Dasaran dari Desa Kayubihi, Bangli yang diundang sebagai perantara kala itu.
Meski atman di dalam tubuhnya sudah bereaksi ketika nyanjian, pikiran Pasek kembali bergejolak setelahnya. Dia terus bertanya-tanya kepada dirinya, mengapa harus dia yang dipilih sedangkan perilaku dan pola hidupnya bertolak belakang 180 derajat. Sama sekali tidak mencerminkan sosok pemangku agama. Orang-orang pun tidak terkejut dengan hal ini.
Tapi, dia lantas menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Ternyata, jauh sebelum upacara nyanjian ini dilaksanakan, Pasek yang muda dan bebas itu sudah diberikan tanda-tanda niskala. Hanya saja, pola pikirnya yang terlalu logis sukar membuatnya percaya peristiwa niskala.
“Jujur, yang namanya soal agama itu dulu saya hanya mempercayai apa yang ada, daripada apa yang tidak saya lihat. Sembahyang pun saya jarang. Jauh panggang dari api,” ungkap Jero Mangku Pasek ketika ditemui di Pura Puseh Getasan, Sabtu (8/6/2024).
Sebelum maekajati (ritual menjadi pamangku), Mangku Pasek adalah seorang hotelier. Dia sempat bekerja di kapal pesiar selama lima tahun, kemudian bekerja di sebuah hotel di Singapura, lantas kembali ke Bali dan bekerja lagi sebagai hotelier sejak 2012.
Saat bekerja di kapal pesiar, dia sudah menerima pertanda namun masih samar ke arah kapamangkuan. Kata Mangku Pasek, dia pernah bermimpi digulung kain kasa ketika bekerja di kapal pesiar. Mimpi itu terjadi setelah dia kembali ke kabin usai minum-minum hingga dini hari dengan kru kapal.
Mangku Pasek lantas menelepon keluarganya apakah terjadi sesuatu di rumah, ternyata tidak. Karena merasa tidak tenang dalam bekerja, setelah mimpi itu, dia memutuskan pulang. Tidak lama setelah kembali ke Bali, dia mendapat kabar bahwa kapal pesiar di mana dia bekerja menabrak karang.
“Tahun 2016, saya pernah sakit psikosomatik karena rasa cemas berlebihan akibat beban dan tekanan kerja. Sampailah saya bertemu seorang dokter yang memahami teknik pengobatan prana. Ternyata, dikatakan ada energi negatif di dalam tubuh saya,” beber Mangku Pasek.
Mangku Pasek menjalani pengobatan prana itu beberapa tahap sampai di mana dia terpantik untuk menangis hebat dan pikiran yang menumpuk di alam bawah sadarnya keluar. Dokter itu bertanya kepada ‘sang diri sejati’ (atman) Mangku Pasek. Dia merasa terhipnotis lantaran jawaban yang keluar di luar kendalinya.
Terkuak bahwa di kehidupan sebelumnya, sang diri sejati Mangku Pasek adalah ‘seorang diri suci’ yakni seorang pamangku. Menariknya, dari proses pengobatan prana itu terungkap, di kehidupan sebelumnya, Mangku Pasek adalah juga seorang pamangku di Pura Puseh Desa Adat Getasan.
“Tetapi, saya waktu itu tidak terlalu percaya. Saya beranggapan bahwa kehidupan sekarang ya sekarang, dulu ya dulu. Dan, memang akhirnya saya sembuh dari sakit psikosomatik itu. Tetapi pada 2019, saya dipilih Ida, setelah jadi pamangku, pikiran saya bergejolak lagi,” tutur Mangku Pasek.
Beruntung, ketika dia mulai menerima takdirnya, hidupnya berangsur membaik. Pria yang sudah berkeluarga dan dikaruniai dua anak ini kini sudah lima tahun menjadi pelayan umat di Pura Puseh Getasan bersama sang istri.
Bisa sampai di posisi sekarang bukan sesuatu hal yang mudah. Sebab, dia hanya hafal Tri Sandhya ketika terpilih menjadi pamangku. Setelah menerima takdir yang digariskan Hyang Widhi, Mangku Pasek memantapkan diri menjadi pamangku yang berwawasan sehingga bisa menjawab pertanyaan umat berdasarkan sastra agama.
Kini, Mangku Pasek sedang berkuliah Teologi Hindu di UHN IGB Sugriwa Denpasar. Namun, praktik kapamangkuan diakui lebih banyak dipoles dari hasil berguru kepada Pandita Brahmana di Kesiman, Denpasar dan Pandita Mpu di Kerobokan, Kuta Utara, Badung. Dari dua guru ini, dia lebih menyelami nilai-nilai kapinanditaan.
“Selama lima tahun ini saya merasakan perubahan yang besar, terutama belajar menjaga perilaku, tutur kata, dan pikiran. Jujur saja, dulu saya ini orang yang campah (tidak menjaga tutur kata), sampai hal-hal yang tidak pantas dijadikan olok-olokan saya lakukan,” kata Mangku Pasek yang dulu senang nge-band.
Lima tahun berlalu, selain paras Mangku Pasek yang masih muda dan prima menuju kepala empat, dia sudah menjadi kebanyakan pamangku. Sibuk ketika pujawali di pura, musim piodalan krama, dan terus belajar melayani umat yang datang ke pura untuk malukat, matamba, dan sembahyang. 7 ol1
1
Komentar