nusabali

Watak Orang Bali dalam PKB

  • www.nusabali.com-watak-orang-bali-dalam-pkb

SETELAH sepuluh kali Pesta Kesenian Bali (PKB) digelar, sudah mulai muncul sejumlah kritik. Misalnya, perhelatan seni tahunan ini dinilai cenderung monoton, tak menampakkan hasil-hasil baru.

Padahal ia digadang-gadang sebagai wahana kreativitas. Karena cuma mengulang-ulang, banyak yang menganjurkan sebaiknya digelar dua tahun sekali saja, agar tidak macet atau jalan di tempat. Untuk memberi kesempatan longgar bagi para seniman menggali hal-hal baru. 

Ida Bagus Mantra (1928-1995) pencetus gagasan PKB, Gubernur Bali 1978-1988, menanggapi kritik itu dengan enteng. “Permasalahannya kita hadapi setiap tahun,” jelasnya. Dia menilai generasi muda Bali patut diberi asupan tentang kebudayaan warisan leluhur. “Karena itu pesta seni ini kita selenggarakan berbarengan libur sekolah, agar anak-anak punya waktu cukup datang ke PKB.”

Bagi yang menyaksikan PKB sejak masa-masa awal digelar hingga kini, pasti bisa menemukan pengulangan-pengulangan itu, tapi juga perubahan banyak perubahan. Jika ada etnik yang tak pernah bosan menggarap seni pertunjukan, itulah dia orang Bali. Mereka selalu mencoba meng-update seni pentas, kalau bisa sesering update status di Facebook atau Instagram, kendati yang dipertontonkan itu ke itu saja, selalu ada yang baru dan segar disodorkan. 

Orang Bali senang sekali tampil. Itu mungkin penyebab seni pertunjukan mereka sangat dinamik. Ketika menari, berpentas, mereka bisa bersolek, sehingga pakaian tari, kostum, berkembang mengikuti zaman. Tak hanya wajah dipoles, juga pakaian dibuat beraneka ragam dan gaya. Pakaian wijil dalam arja klasik misalnya, dulu, mengenakan kaos oblong, kini para punakawan dalam prembon yang suka mengocok perut penonton dibuat beda, lebih kenes dan sumringah. Kesan pamer pun muncul berpendar-pendar.

Orang Bali juga tak ingin sekadar tampil. Mereka bangga kalau tampil beda. Dan panggung menjadi pilihan jitu, sehingga PKB sesungguhnya adalah gerakan perubahan dan perkembangan seni pertunjukan. Di pentas itu orang Bali semakin kentara sebagai orang-orang pesolek. Pasti ada yang tidak setuju, lalu berkomentar, “Menari ya harus berhias, mesti bersolek.” Tapi orang-orang juga tahu, dulu, para pregina itu tampil tidak terlalu menampakkan kesan bersolek. Mungkin karena waktu itu bedak mahal, dan lipstick sulit didapat.

Namun, tetap saja kesan orang Bali berusaha menampilkan apa yang mereka banggakan ke panggung tak bisa hilang. PKB pun kemudian menjadi primadona seni pertunjukan. Pameran seni kriya terabaikan, sarasehan apa lagi. PKB kemudian menjadi ajang unjuk penampilan ragawi, bukan arena untuk bertukar pikiran, adu pendapat, atau unjuk gagasan. Seni pertunjukan yang digelar saban hari itu pun lepas dari kritik. Dia cuma menjadi ajang hiburan. 

Seorang antropolog dari Jawa Barat yang rajin mengamati PKB punya pendapat, ada dua peristiwa penting untuk mencermati watak manusia Bali. Dia menyebut, kegiatan orang Bali melakukan upacara adat dan keagamaan bisa menjadi pijakan untuk mencermati watak orang Bali. Dalam ritus itu mereka muncul sebagai etnik yang selalu siap menghabiskan uang demi upacara. 

Upacara-upacara itu disertai kegiatan berkesenian, dan PKB menjadi barometer untuk mengamati watak manusia Bali dalam berkesenian. Para seniman sangat bersiap untuk tampil, dan menjadikan PKB sebagai gengsi. Bagi orang Bali, PKB menjadi tontonan yang sangat hidup untuk menyaksikan seni pertunjukan. Bagi para pemerhati, PKB bisa menjadi kegiatan untuk mengetahui bagaimana orang Bali mempertontonkan karakter mereka dalam melakoni dan menggeluti seni.

Dari penelusurannya, antropolog itu kemudian bertanya-tanya, mengapa orang Bali tak pernah bosan dengan kesenian mereka yang berulang-ulang itu? Dia menjawabnya sendiri, karena mereka selalu saja mengisinya dengan yang baru tanpa harus meninggalkan yang lama. Pertunjukan arja atau prembon misalnya, selalu menyodorkan yang baru, dengan menampilkan properti yang mereka miliki, sementara arja klasik tetap diberi ruang gerak leluasa. 

Antropolog itu kemudian bercerita kepada rekan-rekannya, orang Bali adalah etnik yang tak pernah bosan. Kendati mereka punya beban menjaga tradisi, mereka bahagia justru karena bebas berubah. Tradisi tidak dianggap kungkungan, justru mata air untuk melakukan perubahan. Mereka dengan mudah mengubah apa yang mereka miliki agar tidak cepat jenuh. Tontonan seni pertunjukan yang disuguhkan sepanjang PKB menunjukkan hal itu. 

“Kalau saja orang Bali juga tidak bosan mengkaji teks lewat sarasehan, wah, mereka akan menjadi orang-orang super-hebat,” ujar antropolog itu. 

Sayang, adu pemikiran dilumat adu goyang di pentas. 7

Komentar