nusabali

Membedah ‘Harkat Martabat Manusia Unggul’ dalam Widyatula (Sarasehan) Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI

‘Mayasa Lacur’, Jati Diri Manusia Bali dalam Sosok Ida Pedanda Made Sidemen

  • www.nusabali.com-membedah-harkat-martabat-manusia-unggul-dalam-widyatula-sarasehan-pesta-kesenian-bali-pkb-xlvi

Di balik segala kesederhanaannya, Ida Pedanda Made Sidemen sebaliknya justru bergelimang karya yang sebagian besar monumental dan tetap relevan hingga kini

DENPASAR, NusaBali 
Penulis Prancis Michel Picard dalam bukunya yang berjudul ‘Kebalian’ menyebut manusia Bali kini hidup dalam kebimbangan. Dihantam kolonialisme, memperjuangkan kemerdekaan dalam bingkai Indonesia, dan kini dihampiri pariwisata, telah membuat manusia Bali hidup penuh keraguan tanpa jati diri. 

Setidaknya itulah yang dilihat Picard seperti ditulisnya dalam buku yang diterbitkan National University of Singapore (NUS) setahun lalu. Benarkah apa yang menjadi pandangan intelektual Prancis itu? 

Widyatula (Sarasehan) serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI yang digelar di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, Senin (23/6), mencoba menjawab pertanyaan tersebut. 

Tiga narasumber masing-masing menggali tiga sosok inspiratif yang tumbuh dari rahim Pulau Dewata. Profesor Ida Bagus Putu Suamba mengangkat sosok Ida Pedanda Made Sidemen yang dikenal sebagai sosok manusia Bali yang multitalenta. Selain dikenal sebagai Kawi-Wiku (pendeta-sastrawan) sosok Ida Pedanda Made Sidemen yang lebar (wafat) pada usia 126 tahun juga dikenal sebagai undagi, sangging, dan juga seniman karawitan. 

Ida Pedanda Made Sidemen bersama I Tekek yang selalu setia menemani. -IST

“Banyak ada pedanda dari dulu sampai sekarang, tapi yang menyandang gelar Kawi-Wiku itu sangat jarang, apalagi sekarang dengan agama yang sangat ritualistik sehingga waktu untuk menghasilkan sastra sangat sulit sekali,” ujar akademisi Politeknik Negeri Bali ini. Selama enam tahun Prof Suamba meneliti sosok pemuka agama asal Griya Taman, Desa Adat Intaran, Sanur ini. Puluhan buku sudah diterbitkannya. Dari pertemuan yang intens tersebut, Prof Suamba melihat dari dekat sosok Ida Pedanda Made Sidemen yang menurutnya sangat sederhana, seperti ungkapan Ida Pedanda Made Sidemen sendiri yang terkenal ‘mayasa lacur’. 

Kesederhanaan Ida Pedanda Made Sidemen tercermin dari caranya berpakaian sehari-hari yang hanya mengandalkan sehelai kain. Puncaknya adalah ketika Ida Pedanda Made Sidemen meminta agar palebonnya dilakukan secara amat sangat sederhana. “Tidak ada yang melirik sekarang. Mitra yadnya, ngaben yang sangat-sangat kecil, tidak ada yang mempraktikkan kecuali sisya-sisyanya. Sekarang kebanyakan ‘meyasa sugih’,” sebut Prof Suamba. 

Di balik segala kesederhanaan itu, Ida Pedanda Made Sidemen sebaliknya justru bergelimang karya yang sebagian besar monumental dan tetap relevan hingga kini. Sebut saja lontar Siwagama (1938), geguritan Salampah Laku (1938), Kakawin Singhalanggyala (1943) dan karya sastra lainnya yang berisi etika atau tutur kehidupan. Tidak hanya dalam sastra, Ida Pedanda Made Sidemen juga telah mewariskan karya-karya seni berupa tapel, bangunan suci, bade, dan karya seni lainnya. 

Profesor Suamba mengatakan, selain kesederhanaan ada sejumlah karakter lain yang dimiliki Ida Pedanda Made Sidemen yang membuatnya layak disebut manusia Bali yang sejati. Sebagai seorang pemuka agama (sulinggih), bakti Ida Pedanda Made Sidemen tidak hanya ditunjukkannya kepada Sang Pencipta, Ista Dewata, dan leluhur. Sembah bakti juga ditunjukkannya kepada para nabe atau guru spiritualnya. 

Etos kerja Ida Pedanda Made Sidemen yang berorientasi kepada Ida Sang Kawi tersebut juga dijelaskannya melalui konsep ‘guna dusun’. Melalui konsep ini Ida Pedanda Made Sidemen mengajak masyarakat Bali hidup dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan agar berguna bagi masyarakat. “Itu pesannya, jangan sampai orang Bali malas, menunggu orang lain, menjadi beban masyarakat,” kata Prof Suamba. 

Ajaran-ajaran Ida Pedanda Made Sidemen tersebut juga menginspirasi para seniman di Bali. Mendiang maestro pedalangan asal Desa Sukawati, Gianyar, Ketut Madra, misalnya, menurut narasumber Dr Ketut Kodi turut menerjemahkan karya-karya Ida Pedanda Made Sidemen ke dalam pementasannya. Kodi menyebut Ketut Madra sebagai seniman dalang yang lengkap, mampu membawakan filosofi yang mendalam dengan cara yang sederhana dan menghibur. 

“Suara manis punya, leluconnya bagus, alurnya bagus, dan kritiknya bagus,” kata akademisi ISI Denpasar ini. Sementara itu kesederhanaan seperti yang ditunjukkan Ida Pedanda Made Sidemen juga melekat pada diri pelukis Bali asal Ubud Anak Agung Gde Sobrat. Meski demikian Sobrat merupakan salah satu perupa yang paling berpengaruh pada zamannya. Kolaborasinya dengan pelukis-pelukis Eropa seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet membentuk seni lukis Ubud saat ini. “Anak Agung Gde Sobrat dikenal sebagai pelopor yang berhasil menggabungkan 

teknik dan gaya barat dengan motif-motif tradisional Bali,” ujar akademisi ISI Denpasar Dr Anak Agung Gde Bagus Udayana selaku narasumber. 

Kurator PKB XLVI, Prof I Made Bandem mengatakan sarasehan kali ini sejalan dengan tema PKB tahun ini ‘Jana Kerthi Paramaguna Wikrama’ atau Harkat Martabat Manusia Unggul. Ketiga tokoh yang diangkat dalam sarasehan memiliki ciri-ciri manusia unggul. Prof Bandem menuturkan, karakter unggul tersebut dapat digunakan untuk menjawab pandangan Michel Picard mengenai jati diri orang Bali kekinian. 

“Pertama (orang Bali) harus memiliki personal mastery (keterampilan sesuai bakat masing-masing). Kedua orang Bali harus memiliki pengetahuan agama dan spiritual, dan yang ketiga memiliki prestasi, seperti masing-masing tokoh yang dibicarakan hari ini,” ujar maestro tari Bali ini. 7 a 

Komentar