MUTIARA WEDA: Strategi Menghancurkan Struktur
Bhīṣma-droṇa-mukhās tatra bhrātaraś ca viśāṃ pate, nābhyabhāṣanta kiñcit te dṛṣṭvā kṛṣṇāṃ su-duḥkhitām. (Sabha Parwa. 67. 38)
Bhishma, Drona, dan saudara-saudara lainnya di sana, wahai raja, tidak mengatakan apa-apa saat melihat Draupadi sangat menderita.
PADA saat Draupadi dihinakan di sidang besar, para petinggi tidak bisa ngomong apa. Bhisma, Drona, dan yang lainnya hanya diam. Apa yang terjadi sebenarnya? Dalam konteks politik, Bhisma, Drona, Kripa, dan yang lainnya telah bertindak benar. Mengapa? Karena mereka telah diikat oleh janjinya untuk selalu membela Kuru. Seperti orang yang telah bersumpah untuk setia pada satu partai. Apapun perilaku orang lain yang duduk dalam partai itu, mereka harus berada di dalamnya. Ketika mereka berbuat kesalahan atas nama partai, mereka harus tetap mendukung partai. Siapa pun yang ada di dalam partai itu harus tetap loyal. Itulah kebenarannya. Sehingga, Bhisma dan Drona yang sangat tangguh itu harus terdiam, sedikit saja bicara berarti membangkang dan tidak setia lagi.
Dari sini dapat kita lihat, jika ada orang yang sangat hebat kemudian berpegangan kuat pada sesuatu, apakah itu organisasi, partai, bahkan negara sekaligus, menyatakan sumpah belapati, maka orang-orang yang ada di dalamnya bisa bermain dan memanfaatkan mereka. Sakuni yang cerdik mampu memainkan strategi politik ini dengan menjadikan Bhisma dan Drona sebagai tawanan politik. Dukungannya yang keras kepada Astina bisa dijadikan peluang oleh Sakuni. Bagi Sakuni ini adalah kelemahan orang kuat yang bisa ditunggangi. Apalagi di zaman itu kebenaran dimaknai sebagai totalitas komitmen terhadap sesuatu. Sehingga, Bhisma dan Drona tidak ada celah untuk mendukung Pandawa by design. Dalam hal ini Bhisma dan Drona tetap benar. Tidak menafikan kewajibannya meskipun orang-orang sekitar telah memanfaatkan keadaan itu. Analoginya begini: ‘Jangan meludah di piring nasi di mana kita makan’. Ini yang dilakukan oleh Bhisma dan Drona.
Hanya masalahnya ada luka yang dibiarkan. Draupadi yang menderita menjadi tak tertahankan. Biasanya, orang yang sangat menderita dan terus-menerus disakiti bisa menjadi sumber bencana. Kekuatan kemarahan itu luar biasa dahsyat. Bharatayudha bisa jadi bentuk atau luaran dari kemarahan itu. Krishna, sang penentu, adalah satu-satunya yang datang dan mendukung Draupadi. Siapapun yang secara terstruktur berupaya menghancurkan orang lain, baik melalui penghinaan dan sejenisnya harus dibinasakan. Struktur ini tidak bisa dibenahi, sehingga satu-satunya solusi adalah perang, penghancuran total. Jadi, struktur yang dibangun oleh Sakuni yang cerdik itu harus dihancurkan.
Untuk bisa menghancurkan struktur, berbagai kekuatan diperlukan. Agar kekuatan itu bisa terkumpul, kemarahan Draupadi itu harus dipelihara sebagai peletup, boster untuk menggalang kekuatan. Penelanjangan dan penjambakan rambut Draupadi oleh Dussasana adalah momentum untuk membangun kekuatan itu. Rambut itu dibiarkan terurai sebelum dibasuh oleh darah orang yang menjambak. Kekuatan dendam ini harus terus dipelihara sebelum akhirnya meletus. Perang Bharatayuda pun hadir sebagai konklusi dari semua itu.
Dalam design perang, agar struktur kokoh yang dibangun Sakuni itu bisa diratakan tanah, maka semua komponen yang ada di dalamnya harus dimusnahkan. Siapapun yang ada di dalam struktur itu harus dihancurkan. Ini mirip dengan G 30 S PKI dulu. Karena dianggap berbahaya, maka siapapun yang berada di dalam lingkaran harus dihabisi. Bhisma, Drona, Karna, dan Duryodana adalah orang tangguh tak terkalahkan. Sepanjang ini ada, struktur tersebut akan tetap ada. Untuk memenangkan perang, strategi mengalahkan mereka harus dilakukan jauh-jauh sebelum perang. Berbagai jebakan pun harus dipasang. Sang Perancang Ulung, Krishna pun ikut andil dalam hal ini.
Arjuna secara fakta tidak mampu mengalahkan Bhisma, Drona, dan Karna. Oleh karena itu, kelemahan dari masing-masing ini harus ditemukan. Bhisma hanya bisa mati oleh wanita. Maka, Srikandi pe-nuda-nya. Karna harus dilepaskan baju sirah, anting-antingnya, dan bisa dibunuh ketika lupa mantra saat mengambil kekuatan senjatanya. Drona pun harus dibunuh oleh mereka yang bersumpah untuk membunuhnya. Sementara Duryodana harus menyisakan kelemahan tubuhnya di bagian pinggang agar bisa diremukkan oleh Bhima. Seperti itulah strateginya. Dan ini kemudian disebut perang dharma. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
Komentar