Sidang OTT Bendesa Adat Berawa Dugaan Pemerasan Investor
Minta Rp 10M, Desa Adat Rp 4M, Sisanya Dibagi Dua
DENPASAR, NusaBali - Sidang perkara Operasi Tangkap Tangan (OTT) dugaan pemerasan dengan terdakwa Bendesa Adat Berawa, I Ketut Riana, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, pada Kamis (27/6) pagi.
Kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi Direktur PT Bali Grace Efata, Nahak T Moruk yang menyerahkan uang Rp 100 juta kepada terdakwa Bendesa Adat Berawa.
Selain itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Nengah Astawa dkk juga menghadirkan tiga saksi lainnya yang juga terlibat dalam OTT pada pada Kamis (2/5) lalu masing-masing Made Budi Santoso, Vici Fitriati, dan I Komang Jumena.
Dalam kesaksiannya, Direktur PT Bali Grace Efata, Andianto Nahak T Moruk, mengungkapkan bahwa dirinya mengurus kontrak kerja dan perizinan bangunan hotel di tanah Berawa. Pertemuannya dengan Bendesa Adat Berawa bermula dari kontrak kerja perizinan yang dilakukan oleh PT Bali Grace Efata dengan PT Bali Berawa Utama.
"Setelah kontrak kerja, kami melakukan sosialisasi terkait pembangunan hotel di Kelian Adat. Saat itulah saya mendapatkan nomor kontak Bendesa Adat Berawa dari Kelian Adat yaitu Putu Kumara Yasa karena disuruh berurusan dari sana dulu, dan saya mulai berkomunikasi dengan terdakwa melalui telepon. Bendesa Adat Berawa meminta uang sebesar Rp 10 miliar untuk melanjutkan proses perizinan," ungkap Andianto.
Hakim lalu menanyakan uang Rp 10 miliar yang diminta Bendesa. ”Terdakwa juga mengatakan, Rp 10 miliar nantinya yang Rp 4 miliar untuk desa adat, yang Rp 6 miliar dibagi dua dengan saya. Tapi itu tidak saya gubris,” kata saksi.
Andianto menambahkan, permintaan uang tersebut dirasa sangat besar mengingat kontrak kerja yang mereka miliki hanya senilai Rp 3,6 miliar. "Saya kaget karena nominal yang cukup besar, saya menyampaikan kepada beliau bahwa kami harus berkonsultasi dengan pihak perusahaan karena nominal ini sangat tinggi. beliau tetap menyampaikan kepada saya bagaimana caranya agar bisa dibijaksanai," lanjutnya.
Kata Andianto, selama proses sosialisasi yang dilakukan pada 5 Januari 2024, Bendesa Adat Berawa tidak hadir dalam acara tersebut dan menolak menandatangani berita acara sosialisasi sebelum permintaan uang sebesar Rp 10 miliar dipenuhi. Hal ini mengakibatkan tertundanya proses perizinan yang diperlukan untuk pembangunan hotel.
Andianto juga mengaku mengejar terdakwa untuk menandatangani pertemuan konsultasi publik (PKP) saat pertemuan dengan alasan AMDAL tidak akan keluar jika tidak ditandatangani. Format berita acara dibuat oleh Andianto untuk perizinan. “Proses perizinan AMDAL-nya memang harus lengkap tanda tangan Kelian Adat, Bendesa Adat, LPM, BPD, Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan lainnya,” katanya.
Pada akhir sidang, terdakwa I Ketut Riana membantah kesaksian Andianto Nahak, yang menyebutkan bahwa dirinya meminta uang Rp 10 miliar. Terdakwa menyatakan bahwa permintaan uang sebesar Rp 10 miliar itu bukan berasal darinya, melainkan justru ditawarkan oleh Andianto. "Awalnya bukan saya yang meminta Rp 10 miliar, jurstu saudara Andi yang menawarkan Rp 10 miliar itu. Saya kaget malah kenapa bisa Rp 10 miliar. Saya memang rencana minta ketemu dengan pemilik perusahaan yang akan membangun itu tapi tidak dikabulkan, tidak pernah diberi kesempatan," tegas I Ketut Riana. 7 cr79
1
Komentar