Mewujudkan ‘Keluarga Cemara’ dalam Kehidupan Nyata
JAKARTA, (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hampir 10 juta Gen Z menganggur, sementara data lain mengungkap 5,7 juta lansia masih bekerja menanggung biaya hidup generasi yang lahir pada rentang tahun 1977 hingga 2012 itu.
Ketika lansia bekerja dan Gen Z menganggur berada dalam satu rumah, tentu bukanlah potret keluarga ideal. Mencari inspirasi ikon keluarga bahagia, sinema bertajuk ‘Keluarga Cemara’ mungkin bisa menjadi salah satu rujukan.
Tanggal 29 Juni, merupakan Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang ke-31, namun perayaan puncaknya secara nasional dijadwalkan pada Minggu (30/6/2024) di Semarang, Jawa Tengah.
Sejarah Hari Keluarga Nasional pertama kali dipelopori oleh Kepala BKKBN di era Presiden Soeharto, yaitu Prof Dr Haryono Suyono pada tahun 1992. Dipilihnya tanggal 29 Juni sebagai Harganas karena pada tanggal 29 Juni 1949 adalah peristiwa kembalinya para pejuang untuk berkumpul dengan keluarga setelah perang.
Selain itu, tanggal tersebut juga bertepatan dengan momen dimulainya gerakan Keluarga Berencana Nasional atau Hari Kebangkitan Keluarga Nasional.
Sebagai penguatan gagasan Harganas, Haryono menyampaikan tiga pokok pikiran, yakni: mewarisi semangat kepahlawanan dan perjuangan bangsa; menghargai dan mengingatkan perlunya keluarga bagi kesejahteraan bangsa; serta membangun keluarga Indonesia yang mampu berbenah diri menuju keluarga sejahtera.
Mengingat pentingnya peran keluarga dalam membangun bangsa, peringatan Harganas akhirnya memperoleh legitimasi pada 15 September 2014, melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Hari Keluarga Nasional ditetapkan tanggal 29 Juni, yang diperingati setiap tahun meski bukan merupakan hari libur.
Inti dari semangat peringatan Harganas adalah bagaimana mewujudkan keluarga ideal. Keluarga ideal setidaknya memiliki indikasi para anggotanya produktif, hidup sejahtera, hubungan yang harmonis, serta menerapkan pranata sosial dan agama yang baik. Terbentuknya keluarga ideal adalah cikal-bakal terbangunnya sebuah bangsa berkualitas, karena kumpulan keluarga ideal membentuk masyarakat bermartabat hingga pada ujungnya menjadi bangsa berperadaban.
Cerita tentang keluarga, di dalamnya ada sosok ayah, ibu, dan anak-anak, serta terkadang juga kakek-nenek atau saudara berada dalam satu atap. Bangunan keluarga sehat bila masing-masing anggota produktif sesuai kapasitas masing-masing. Tidak ada yang menjadi beban, apalagi benalu, kecuali anak kecil.
Namun, data yang dirilis BPS baru-baru ini cukup membuat kita terhenyak. Betapa tidak, ada sebanyak 9,89 juta orang Generasi Z menganggur yang tergolong NEET (not employment, education, or training) alias tidak bekerja, tidak sedang menempuh pendidikan, dan tidak pula mengikuti suatu kursus atau sejenis pelatihan. Kondisi ini sering disebut sebagai pengangguran di usia muda karena tidak melakukan kegiatan apa pun.
Angka pengangguran usia muda itu setara 22,5 persen dari 44,47 juta penduduk berusia 15--24 tahun pada Agustus 2023. Jumlah penganggur itu sebagian besar tinggal di perkotaan dan lebih banyak dari kalangan perempuan.
Fakta itu semakin ironis tatkala disandingkan dengan data lain yang mengungkap keberadaan 9,4 juta warga lanjut usia di atas 60 tahun yang masih bekerja menopang ekonomi keluarga. Sebagian dari 5,7 juta lansia terpaksa bekerja keras karena menanggung beban 11,1 juta generasi produktif, termasuk di dalamnya adalah kaum milenial, dan Gen Z.
1
2
Komentar