Sakral, Pementasan Gandrung Duta Kota Denpasar
DENPASAR, NusaBali - Kesakralan mewarnai penampilan Sekaa Gandrung Pura Majapahit Banjar Monang Maning dan Banjar Samping Buni, Desa Pemecutan Kelod, Denpasar Selatan, saat tampil di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI di Panggung Ratna Kanda, Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, Senin (1/7).
Pementasan Gandrung ini membawakan 7 buah garapan tari dan tabuh yang disajikan apik oleh 3 lintas generasi, mulai penabuh anak-anak, dewasa, hingga generasi tua.
Diawali tabuh gambang sebuah garapan tabuh kuno, dengan komposisi gending yang berpedoman pada laras pelog. Kemudian dilanjutkan tabuh dan tari berjudul Gegandrangan menyiratkan tarian pergaulan cinta kasih ditarikan oleh laki-laki.
Penonton pun tampak bersemangat memberikan dukungan meski hujan melanda siang itu. Tarian ini dibawakan para penabuh lingsir atau tua dan para pengibing tampak silih berganti tampil ke panggung. Baik pengibing laki-laki maupun pengibing perempuan. Kemudian dilanjutkan persembahan Tari Legong yang ditarikan tiga penari perempuan. Dan sebagai pengiring tabuh Gegandrangan dari kalangan dewasa. Kemudian tabuh dan tari Gegandrangan kembali dilanjutkan, bahkan tarian ini sepenuhnya dibawakan penari laki-laki.
Suasana berbeda mulai dirasakan para penonton ketika para pengibing pria dan wanita mengalami ketidaksadaran alias kerauhan. Para pecalang pun dengan sigap mengamankan pengibing yang tidak sadarkan diri dan harus dipercikkan air suci oleh Jro Mangku.
Menariknya penari yang masih remaja itu dengan gemulai menari diiringi oleh para penabuh cekatan anak-anak yang terampil meski kategori rumit dan sulit memainkan bilah-bilah gandrung itu. Regenerasi Gandrung Pura Majapahit yang memiliki kekhasan dari tabuh yang disakralkan itu, mampu menunjukkan keberlanjutan kesenian sakral yang ada di Kota Denpasar.
Jro Mangku Made Yudana selaku pengayah atau pamangku di Pura Majapahit menuturkan, Gandrung Pura Majapahit diamong dua banjar yaitu Banjar Gandrung Muning dan Banjar Samping Buni. Gandrung ini sudah diwarisi sejak 1900, dan puncak kejayaan pada dekade 1940-an.
“Penabuh yang cukup terkenal saat itu adalah ada maestro I Ketut Mandra, I Ketut Godra dan penarinya I Ketut Manda, dalam kiprahnya kemudian kesenian gandrung ini luar biasa pentas di seluruh desa-desa yang ada,” ungkapnya.
Lanjut Jro Yudana, pada tahun 1980 pernah gamelan gandrungnya mengalami kerusakan kemudian mendapat perhatian dari Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, akhirnya diperbaiki. “Tahun 1980 kita angkat kembali, saya sendiri penarinya, dilanjutkan pada tahun 1990 oleh adik saya hingga generasi ke-8, semuanya penari laki-laki. Saya bersyukur, saya ngayah di Pura Majapahit, di mana pragina kami semuanya laki-laki padahal sangat sulit mencari penari laki, namun dengan kesadaran rasa cinta kasih mereka menyanggupi,” jelasnya.
Ada cerita magis di balik memilih penari laki-laki itu. Jro Yudana menuturkan, awalnya mereka penari laki-laki ini menolak dipilih untuk ngayah menari, namun kemudian ada cerita unik. “Ketika ditunjuk, dia tidak mau dengan alasan nanti dibilang banci, lalu apa yang terjadi, contohnya ada penari Komang Enda, ketika ditunjuk mereka menolak, kemudian yang terjadi malamnya dicari sama seorang dedari dan akhirnya dia ngayah sanggup menari. Selanjutnya ada penari Rubi juga awalnya menolak dan dicari lagi oleh dedari akhirnya mau,” ungkapnya.
Jro Yudana merasa bersyukur Gandrung Majapahit ini bisa tampil di ajang PKB tahun ini. “Astungkara di PKB ini kita tampil, kita berproses menampilkan lintas tiga generasi, tetap menyajikan original agar para generasi ini mulai sadar, inilah rumitnya membawakan gending-gending kuno,” tuturnya. 7 a
1
Komentar