nusabali

MUTIARA WEDA: Dendam yang Dipelihara

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-dendam-yang-dipelihara

Yudhishthira uvāca: Kriyātāmityayaṃ rājā dhṛtarāṣṭro janārdana, api vā dhaninaṃ tasmin kṛṣṇā mām aparājitā. (Sabha Parwa, Adhyaya 67, Sloka 6)

Yudhishthira berkata: "Raja Dhritarashtra, biarkan permainan ini dilanjutkan. Biarlah Draupadi menjadi taruhanku, meskipun dia tidak pernah kalah."

YUDISTIRA dilawan bermain dadu oleh Korawa dengan taruhan. Pada saat itu, Korawa mengandalkan Sakuni, pemain dadu ulung dengan bilah dadunya yang sulit dikalahkan. Akhirnya, semua kekayaan Yudistira diambil, kalah. Dia mempertaruhkan seluruh saudaranya. Ketika tidak ada lagi properti yang bisa dipertaruhkan, hanya Draupadi tersisa, dan dipertaruhkan. Draupadi pun akhirnya diambil, kalah. Logikanya, apapun benda yang dipertaruhkan dalam perjudian, benda itu akan menjadi milik pemenang. Semua properti termasuk saudara dan Draupadi menjadi milik Korawa. Korawa boleh menggunakan barang yang dimenangkan sesuai keinginannya. Pada saat itulah, Draupadi ditelanjangi di persidangan oleh Dussasana. Korawa merasa benar melakukan itu oleh karena Draupadi telah menjadi miliknya. Para tetua seperti Bhisma, Kripa, Drona, dan yang lainnya pun tidak bisa menolak kebenaran itu dan tidak bisa berkata apa-apa. 

Berkaca dari itu, mari kita lihat Draupadi. Mengapa dia bisa dijadikan barang taruhan? Selama ini yang kita tahu bahwa barang taruhan itu biasanya berupa uang, emas, dan properti lainnya, bukan manusia. Mungkin di zaman itu, istri, adik, dan anak adalah properti sehingga bisa dijadikan taruhan. Yudistira pun merasa benar mempertaruhkan adik-adik dan Draupadi miliknya. Untung Korawa berbaik hati dengan memberikan saudaranya beserta Draupadi meninggalkan istana dan dibuang ke hutan selama 14 tahun. Syaratnya, jika dalam pengasingan tersebut mereka dikenali sebelum masanya habis, maka mereka harus mengulang selama 14 tahun lagi. Logika Korawa mengapa mau berbaik hati adalah, mereka merasa akan menemukan pernyamarannya dalam kurun waktu itu dan berpikir Pandawa akan diasingkan seumur hidup.  

Mempertaruhkan Draupadi dalam perjudian ini sebenarnya sebuah anomali dalam konteks sekarang. Mengapa? Hak asasi manusia tidak mengizinkan ada orang yang bisa dijadikan seperti barang milik. Mungkin di zaman itu lumrah. Perbudakan adalah sesuatu yang lumrah, secara etik benar. Budak bisa diperjual-belikan, diperlakukan seperti hewan dan sejenisnya, tidak salah secara norma. Namun anomalii ini justru membuat petaka besar. Oleh karena Draupadi diperlakukan secara brutal, dendam tak tertahankan pun tumbuh. Kebaikan Korawa dengan mengizinkan untuk diasingkan pun menjadi lahan subur bagi dendam itu untuk tumbuh menjadi pohon yang besar. Mestinya, pada saat itu, keempat saudara Yudistira langsung saja dieksekusi dan Draupadi dilenyapkan. Korawa pun aman, tidak ada lagi halangan. 

Namun, oleh karena ingin melakukan kekejian yang lebih brutal dengan mempermalukan mereka seumur hidup dengan cara mengasingkannya di hutan, alasan kebaikannya itu membuat Pandawa tumbuh kuat. Energi dendam itu di-energized. Bahkan selama 14 tahun, Korawa tidak mampu menemukan mereka di pengasingan. Korawa pun harus memutar otak kembali. Lawannya yang dulu sangat lemah kini pulih kembali dengan kekuatan dendam yang luar biasa. Mereka semangat untuk berperang habis-habisan. Mereka pun mempersiapkannya, mencari dukungan raja-raja bawahan. Pada saat ini, manuver Krishna sangat memegang peranan penting dalam memenangkan Pandawa. 

Dalam banyak hal, di atas kertas peperangan ini dimenangkan oleh Korawa. Pertama, pasukan Korawa jauh lebih besar. Kedua, para pahlawan seperti Bhisma, Drona, Karna, dan Kripa ada di pihak Korawa, dan mereka tidak bisa dikalahkan oleh pahlawan sekelas Arjuna. Ketiga, orang yang sebenarnya mampu mengalahkan mereka hanya Krishna, tetapi Krishna berjanji untuk tidak mengangkat senjata. Ini yang membuat Korawa merasa di atas angin. Namun di akhir, ketentuan berkata lain. Rasa dendam yang dibiarkan tumbuh menjadi pohon besar akan sanggup meredakan badai. Dendam itu ibarat anak panah yang telah terlepas dari busurnya. Pandawa mesti menang, tidak ada pilihan lain. Anak panah itu harus mengenai sasarannya, tidak bisa dihentikan. Peran Krishna dalam mengatur agar anak panah itu tidak digagalkan oleh arus angin dan daya gravitasi sangat sentral. Kecerdikan Sakuni tidak mampu memprediksi manuver itu. Dan, Pandawa menang, tetap hidup di atas puing-puing kehancuran. 7

I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute

Komentar