Reuni Seniman Legenda Bali
Kelompok 7 Gelar Pameran Bertajuk ‘Pinara Pitu’
Judul ‘Pinara Pitu’ diambil dari konsep tujuh nada yang mencerminkan keberagaman karakter artistik masing-masing anggota.
DENPASAR, NusaBali
Setelah lebih dari tiga dekade, Kelompok 7 dari Sanggar Dewata Indonesia kembali berkumpul dan menggelar pameran bertajuk ‘Pinara Pitu’. Acara ini berlangsung atas kolaborasi dengan Gurat Art Project yang diselenggarakan di Santrian Art Gallery Jalan Danau Tamblingan No 47, Sanur, Denpasar Selatan, sejak 5 Juli hingga 30 Agustus 2024.
Pameran ini dibuka oleh Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Bali Prof dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana MSn. Pada kesempatan tersebut, pihaknnya menekankan pentingnya acara ini sebagai bagian dari sejarah seni rupa Bali. “Kehadiran Kelompok 7 dengan pameran ini adalah momentum penting untuk memahami perkembangan seni rupa Bali,” katanya.
Dalam pameran ini pengunjung diajak untuk melihat karya seni dan jejak sejarah hingga arsip perjalanan dari seniman Kelompok 7 yang merupakan perupa legenda asal Bali. Pada awal dekade 1990-an, Kelompok 7 hadir dengan artistik yang lebih beragam sebagai hasil dari pencerapan mereka secara akademik dan persinggungan mereka dengan kebudayaan di luar Bali, yaitu Yogyakarta.
Kecenderungan karya yang lebih eksperimental, pengolahan atas material, dan eksplorasi-eksplorasi nonrepresentasional menjadi tawaran artistik ‘baru’ bagi medan sosial seni kala itu. Hal ini juga memberi inspirasi dan memantik para perupa muda Bali untuk menghadirkan eksplorasi yang lebih beragam dan dinamis.
Sebagian anggota Kelompok 7, seperti Made Djirna, Made Budhiana, Nyoman Erawan, dan Nyoman Wibawa, terus bergerak dalam wilayah artistik hingga kini. Sementara itu, anggota lainnya, seperti Made Bendi Yudha, Made Ruta, dan Made Sudibia, mengabdikan diri pada dunia pendidikan seni dengan menjadi pendidik di ISI Bali.
Kurator Gurat Art Project Savitri Sastrawan, menjelaskan bahwa pameran ini bukan sekadar reuni. “Ini adalah kesempatan bagi Kelompok 7 untuk berbagi perjalanan mereka dalam seni rupa Bali kepada publik,” ujarnya ditemui di sela-sela acara, Sabtu (5/7) malam. Pameran ini dibuka untuk umum dan siapapun yang memiliki ketertarikan dengan seni rupa boleh hadir ke pameran ini tanpa dipungut biaya.
Sedangkan, judul ‘Pinara Pitu’ diambil dari konsep tujuh nada yang mencerminkan keberagaman karakter artistik masing-masing anggota. “Seperti tujuh nada yang membuat semesta, tujuh perupa ini memiliki gaya yang sangat dinamis. Dalam konsep Pinara Pitu setiap nada dan warna suara yang dihasilkan berasal dari suara-suara yang terlahir di lima unsur alam atau Panca Maha Bhuta yang berevolusi menjadi tujuh karakter nada yang mewakili lima karakter unsur alam semesta,” jelas Savitri.
Pada pameran ini menampilkan karya terbaru dari masing-masing anggota Kelompok 7 serta arsip-arsip perjalanan mereka sebagai sebuah kelompok seni sejak awal dekade 1990-an. Kini, mereka kembali dengan semangat yang sama dan karya-karya yang lebih matang. Pameran ini tidak hanya menampilkan karya seni, tetapi juga arsip yang merekam jejak perjalanan mereka, menawarkan data dan pembelajaran tentang masa lalu untuk menatap masa kini.
Salah satu perupa dari Kelompok 7, Nyoman Erawan, 66, menampilkan lukisan berjudul ‘Tradition Gesture’ yang menggabungkan elemen tradisi dengan gaya kontemporer. “Tradition Gesture, yaitu sikap-sikap tradisi yang ditampilkan secara baru. Prosesnya membuat lukisan ini mengalir dengan sendirinya, karena selakon saya dasarnya sudah ada dari dulu, secara artistik, estetiknya sudah terpegang. Di sini saya mengangkat rupa-rupa tradisi yang diperbarui menjadi suatu karya yang kontenporer,” jelas perupa asal Sukawati, Gianyar itu saat ditemui di pameran, Sabtu kemarin.
Kelompok 7 berharap pameran ini dapat menginspirasi dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya arsip dalam seni rupa. “Arsip tidak hanya sebagai rekaman, tetapi juga sebagai alat untuk memahami dan memperbarui masa kini,” tambah Erawan. “Kami punya jejak sejarah dalam perkembangan seni rupa Bali, jadi catatan-catatan pameran dan perjalanan kami nanti silahkan dibaca di ruang arsip di pameran ini,” ucapnya.
“Harapan saya, jadi wilayah arsip itu penting untuk sebagai suatu pembelajaran mengetahui masa lalu kita. Arsip tidak menjadi suatu objek yang pasif, tetapi juga menjadi objek yang bisa membuat kita membaca masa lalu untuk kita perbarui di zaman kini, kita harus paham sejarah,” imbuh lulusan STSRI Yogyakarta ini. 7 cr79
1
Komentar