MUTIARA WEDA: Mayoritas Persepsi Negatif
Sarvam parikrosam jahi (Rgveda, 1.29.7)
Tinggalkan segala sesuatu yang membuat kita menjadi hina.
SALAH satu kelengkapan hidup adalah klesa (kekotoran bhatin). Sutra Patanjali menyebutnya ada lima. Dua di antaranya adalah raga (rasa suka) dan dvesa (tidak suka). Apapun yang sesuai dengan keinginan kita membuat kita senang, dan apapun yang bertentangan dengan keinginan membuat kita tidak senang. Yang selaras dengan keinginan adalah raga dan yang bertolak belakang adalah dvesa. Persepsi kita terhadap apapun selalu berada di bawah kendali raga dan dvesa ini. Hal-hal yang menguntungkan, yang membahagiakan, yang membuat kita untung, dan hal-hal yang bisa mem-feeding segala keinginan kita menyebabkan kita senang. Ini raga. Hal-hal seperti keberuntungan orang lain, benda-benda yang tidak sesuai selera, orang-orang yang tidak mendukung keinginan kita, dan yang membuat kita merasa ‘terancam’ menjadikan kita tidak senang (dvesa). Dari raga dan dvesa ini, persepsi kita muncul.
Persepsi itu bisa negatif atau positif. Jika sesuai dengan keinginan, persepsi kita positif. Sebaliknya, jika tidak sesuai selera, persepsi kita negatif. Jika kita objektif memperhatikan persepsi kita terhadap orang lain, rasanya 75 persen persepsi kita negatif. Artinya, dari 100 teman kita, 75 persen dari mereka kita persepsikan negatif. Atau bisa juga, dari 100 persen kualitas teman, kita mempersepsi mereka 75 persen negatif, hanya 25 persen positif (yang 25 persen tampak positif karena kita jarang berinteraksi dengan mereka). Hal ini terjadi terutama di tempat kita bekerja atau di keluarga, atau di organisasi tertentu yang sering bersentuhan antarindividu. Persepsi kita terhadap mereka lebih banyak negatifnya ketimbang positifnya. Di mana dapat angka 75 persen itu? Kita bisa asumsikan dengan zaman kali, di mana hanya ¼ kebaikan yang masih tersisa. Jika kita melihat orang lain, hanya 25 persen saja kita mampu melihat kebaikannya. Mungkin saja teman kita memang memiliki kebaikan 25 persen atau lebih, namun persepsi kita hanya mampu melihatnya maksimal 25 persen saja.
Itulah mengapa kita suka sekali ngerumpi, sebab membicarakan kejelekan orang lain sangat menyenangkan. Kita merasa senang, menang, dan hebat ketika dapat mengutarakan unek-unek atau persepsi negatif terhadap teman kita kepada orang lain. Seperti misalnya Si YS memiliki persepsi negatif kepada GS lalu menyampaikannya kepada KD. Demikian juga YS menyampaikan kejelekan KD di depan GS secara meyakinkan. Tidak berselang lama, ketika GS bertemu KD juga sama menyampaikan persepsi negatif terhadap YS. Jadi, YS hanya memiliki 25 persen persepsi positif di hadapan GS dan KD. GS dan KD hanya memiliki 25 persen hal positif di mata YS. Jangan-jangan antara GS dan KD juga persepsinya sama di antara mereka.
Ini normal di dalam pergaulan kita. Di mana-mana kita mendengar kejelekan orang lain, dan orang lain jelek di mata kita. Sepanjang hidup kita normal, tak peduli apapun jabatan, kedudukan, pangkat, gelar akademik, dan posisi di masyarakat, kita akan sangat mudah mempersepsi negatif kepada orang lain. Namun uniknya, meskipun persepsi kita negatif, jika kita berkepentingan, kita bisa ngomong halus dan memuji-muji teman itu, apalagi sedang membutuhkan pertolongan atau kepentingan lainnya. Mengapa bisa demikian? Bukankah secara logika, jika kita mempersepsi negatif pada orang itu, kita tidak lagi mau menemuinya, apalagi meminta bantuannya? Mungkin di zaman Satya Yuga seperti itu, tidak di zaman kali. Kita bisa saja berdamai dengan mereka oleh karena kualitas kita sama, sama-sama hanya mampu melihat kebaikan orang maksimal 25 persen.
Sebaliknya, jika kita ingin hidup tidak normal, ada niat untuk menjauhi persepsi negatif itu, maka teks di atas bisa membantu. Disarankan untuk menjauhi siapapun yang membuat diri kita hina. Maksudnya, apakah kehinaan kita hilang di mata mereka? Tentu tidak. Sekali orang memandang kita negatif dengan berbagai alasan, selamanya demikian. Jadi, kata ‘tinggalkan’ dari perintah di atas bisa kita praktikkan dengan cara, pertama, sebisa mungkin kita tidak membicarakan keburukan orang lain, meskipun kita punya banyak persepsi negatif. Kedua, kita tidak terjebak dengan drama persepsi negatif orang lain kepada kita. Ketiga, secara gradual kita menumbuhkan kesadaran diri dan memberikan peluang hanya persepsi positif yang berkembang. 7
I Gede Suwantana
Direktur bali Vedanta Institute
1
Komentar