MUTIARA WEDA: Ilusi Eksistensi Diri
na caiva dhīrāṁ ṛṣīṇāṁ pratiṣṭhāṁ pūrvaṁ niṣṭhitāṁ bhavanti na ca pāpīyasāṁ bhūyaḥ śāstrārthavidyate. Manu Smrti (4. 174)
Orang-orang yang bijaksana dan berpengetahuan tidak mencari pengakuan atau status. Mereka tidak terpengaruh oleh sifat-sifat buruk seperti kesombongan dan kemunafikan.
TERSEBAR surat edaran dari Rektor Universitas Islam Indonesia mengimbau jajarannya untuk tidak mencantumkan jabatan professor dirinya dalam surat-menyurat. Ini mungkin bentuk tanggapan atas polemik ke-profesor-an beberapa waktu lalu di Indonesia. Ketika masalah itu mencuat, berbagai tanggapan muncul. Negatif tentunya. Oleh karena profesor adalah jabatan tertinggi dalam atmosfer akademik, orang yang berkecimpung sangat merindukannya. Ingin menjadi, dan berusaha untuk itu sebenarnya ok ok saja, namun akan menjadi sorotan jika jabatan ini diperoleh dengan cara di luar rel dan diperoleh oleh mereka yang dianggap ‘tidak layak’. Akhirnya cacian, cibiran, cemoohan, dan yang lainnya bertebaran.
Apa sebenarnya itu? Jika ditelusuri jawabannya hanya satu, ‘ilusi akan eksistensi diri’. Ada istilah ‘asmita’ untuk menyebut ini, dan berlaku umum dalam derajat yang berbeda. Setiap orang menginginkan penghargaan, ingin dilihat, diindahkan, ingin tampak, self-esteem. Orang mengimajikan dirinya berharga di mata orang lain, bila perlu lebih unggul dari yang lain. Ini adalah bentuk dari eksistensi diri. Sepanjang dalam batas normal, orang lain tentu tidak mempermasalahkan sebab mereka semua dasarnya sama. Namun, ketika sudah menjadi narsis, melebihi ambang batas, kelebihan, selalu ingin tampil lebih dari orang lain, selalu ingin kelihatan, selalu ingin dihargai, apapun caranya, orang lain mulai tidak nyaman dan mencibirnya. Mereka tidak suka, bisa saja karena rasa jealousy, ketidakberdayaan, dendam, atau yang lainnya.
Oleh karena itu, agar narsis kita tetap berada pada ambang batas, pada level semua orang, memperhatikan teks di atas sangat penting. Orang yang memang benar-benar bijaksana dan memiliki pengetahuan, sikap pamer diri itu tidak perlu. Agar dilihat orang lain, memamerkan diri itu tidak penting. Pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri adalah wujud dari pengakuan dan status tersebut. Mereka telah puas di dalam dirinya. Terkenal atau tidak bukan lagi urusan dirinya. Jika memang alam menghendaki terkenal, maka diinginkan atau tidak, momentum untuk dikenal itu pasti ada. Sebaliknya, jika keterkenalan itu bukan menjadi bagian kita, apapun upaya yang dilakukan, apakah dengan narsis, berspekulasi, bermanuver, menyebut diri ini dan itu, dan lain sebagainya, diri kita tetap saja sebegitu. Malah kesibukan kita bertambah untuk menangkis serangan dari orang yang tidak senang dengan kita.
Lalu pertanyaannya, apakah kita tidak perlu mem-branding diri? Di tengah-tengah dunia tanpa batas ini, di tengah riuhnya sosial media, mengenalkan diri sangat penting, menyatakan diri ada itu sangat penting. Teks di atas tidak serta merta menyatakan bahwa mem-branding diri itu tidak penting. Ada kalimat berikutnya yang sangat penting: ‘tidak terpengaruh oleh sifat-sifat buruk seperti kesombongan dan kemunafikan’. Kita perlu mem-branding diri, tetapi tidak dikuasai oleh ketamakan, kesombongan. Jika kita punya aktivitas positif, berbagai informasi tentang kegiatan itu tentu sangat bagus untuk menginspirasi orang lain. Atau kita mengunggah di akun media sosial untuk membuat catatan harian tentu tidak masalah. Narsis jenis ini normal. Namun, jika niat kita muncul dari kesombongan, ingin tampak lebih unggul dari orang lain dan sejenisnya, ini yang menjadi persoalan.
Tapi, sebaik-baiknya orang mem-branding diri, tetap saja ada orang yang tidak suka. Itu wajar, tidak masalah. Sebaik apapun kita melangkah, ada saja orang yang tidak suka. Memang hidup itu demikian, karena setiap orang memiliki persepsinya masing-masing. Perspesi itu pasti benar menurut dirinya. Namun, jika kita bijak, kita tidak perlu mengindahkan itu. Orang hanya bisa menilai dari persepsinya, bukan atas kebenarannya. Tetaplah menyiarkan diri dalam konteks pengetahuan, kebijaksanaan dan bukan karena kesombongan. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
Komentar