Perjalanan Ubud Village Jazz Festival, 12 Tahun Idealisme Buahkan Barometer Jazz Murni Tanah Air
GIANYAR, NusaBali.com - Ubud Village Jazz Festival (UVJF) adalah satu dari sedikit atau bahkan satu-satunya festival musik jazz di tanah air yang super idealis. Festival yang dirintis di Ubud tahun 2013 silam ini berkomitmen menampilkan 100 persen musisi beraliran jazz.
UVJF berbeda dengan festival jazz tanah air yang lebih moderat, di mana musisi lintas genre dan yang 'bertolak belakang' pun dipentaskan demi menggaet massa. Para pendiri UVJF justru resisten terhadap praktik festival jazz semacam ini dan jadi awal mula festival yang sudah melewati 10 edisi ini ada.
Sepasang sahabat, Anom Darsana dan Yuri Mahatma adalah dua tokoh idealis di balik festival jazz yang idealis ini. Sebelum mereka bertemu sekitar tahun 2009 silam, Anom masih berkarier di Swiss sebagai sound engineer (teknisi audio) dan Yuri berkarier sebagai musisi dan komposer musik jazz tanah air.
"Saya sempat sekolah di Swiss, setelah tamat sempat kerja sound engineering di festival seperti Montreux Jazz Festival, Cully Jazz Festival, dan Lussane Jazz Festival di Swiss sebelum saya pulang ke Bali dan mendirikan Antida Music," kata Anom, di konferensi pers UVJF Ke-11 Tahun 2024 di Sthala Ubud, Gianyar, Kamis (25/7/2024).
Kembali ke Bali, Anom dan Yuri dipertemukan oleh kesamaan pemikiran terhadap musik jazz tanah air, sampai mereka ke satu titik di mana mempertanyakan mengapa tidak ada festival jazz yang idealis di tanah air. Ada banyak festival jazz namun tidak benar-benar murni menampilkan musisi jazz.
Kata Anom, Indonesia memiliki banyak talenta jazz namun semuanya tidak bisa diakomodir festival jazz yang juga banyak di tanah air. Sebab, dengan alasan komersial dan menarik massa, tidak semua musisi yang ditampilkan festival-festival ini seorang 'Cat' (sebutan gaul antarsesama musisi jazz).
"Akhirnya, mengapa tidak kami bikin festival jazz yang unik, yang benar-benar murni jazz. Festival lain bisa besar mungkin bukan karena jazznya tapi karena ada musisi yang digemari masyarakat tapi tidak murni jazz," ungkap Anom.
Tahun 2013 jadi edisi pertama UVJF dan digelar di Arma Museum, Ubud. Meski sudah digelar di pusat aktivitas wisatawan asing, UVJF perdana hanya dihadiri 150 penonton. Anom mengakui, mengenalkan jazz ke publik cukup sukar dan jika dilihat dari sisi komersial, laporan keuangan UVJF merah hingga edisi keempat.
Di samping itu, musisi yang ditampilkan tidak dilihat dari segi kepopuleran melainkan dipilih berdasarkan kualitas musiknya. Hal ini memperparah kondisi UVJF edisi pertama dari segi komersial. Tapi, pemikiran idealis untuk terus mengadakan festival jazz bagi para Cats dan pecintanya tidak surut walau besar pasak daripada tiang.
Idealisme itu lantas membuahkan hasil, UVJF mulai dilirik penonton dan pemerintah lantaran bertransformasi jadi destinasi wisata khusus. Wisatawan asing mengalir ke Bali untuk menonton festival ini, kamar-kamar hotel sekitar pun penuh. UVJF jadi rumah untuk para Cats nasional dan internasional menjadi diri sendiri di atas panggung.
"UVJF jadi festival yang disukai musisi jazz. Kami tidak akan pernah mengubah idealisme ini, kami ada di jalur jazz dan akan tetap di jalur ini. Kami dikenal karena ini, sampai ada musisi di Jakarta yang bilang, 'Kamu belum jadi musisi jazz kalau belum manggung di UVJF' dan ini jadi kebanggan bagi kami," tutur Anom.
UVJF disebut bukan ladang mencari untung para pendiri, tapi murni menyalurkan idealisme. Kata Anom, mereka masing-masing punya kesibukan dan usaha sendiri dan komite UVJF baru berkumpul sebulan sebelum festival dimulai. Yuri bahkan memberikan komentar yang lebih keras ketika ditanya idealisme UVJF di tengah festival jazz yang semakin moderat.
"Menurut saya pribadi, memasukkan musisi di luar jazz itu jadi ibarat aib untuk UVJF. Tapi, idealisme kami ini dalam hal konten musik yang harus jazz, dalam hal kolaborasi, kami menerima bentuk seni lain di luar seni musik," tegas Yuri yang juga kurator UVJF di konferensi pers, Kamis siang.
Berkat idealisme yang dipegang satu dekade ini, UVJF kini jadi barometer musik jazz nasional dan internasional. Salah satu penampil UVJF Ke-11 tahun ini, Uwe Plath, saksofonis asal Dortmund, Jerman jadi saksi hidup UVJF perdana dengan 150 penonton di awal, hingga jadi festival jazz sekaliber sekarang. Plath juga akan tampil lagi di UVJF tahun ini.
"UVJF telah memberikan warna di dunia jazz internasional. Saya masih ingat tampil pertama kali di acara perdana dan sejak itu selalu ada peningkatan. Di Eropa, UVJF ini sudah punya nama dan saya selalu mendapat pertanyaan bagaimana agar bisa datang ke sini, bagaimana agar bisa tampil di sini," ungkap Plath.
Setelah melewati sembilan edisi penyelenggaraan di Arma Museum, sejak edisi ke-10 tahun 2023 lalu, lokasi UVJF digeser ke Sthala Ubud, Jalan AA Gede Rai, Jalan Raya Mawang Kelod, Desa Lodtuduh, Ubud, Gianyar. UVJF Ke-11 tahun ini dan setidaknya empat edisi ke depan akan digelar di Sthala Ubud.
Alasan utama bergesernya UVJF ke Sthala adalah karena lokasi yang tersedia di Arma Museum sudah tidak mampu mengakomodasi penambahan panggung menjadi tiga. Alasan kedua adalah problem kemacetan di Ubud, khususnya akses menuju Arma Museum di Jalan Raya Pengosekan, Desa Mas, Ubud, Gianyar.
UVJF Ke-11 ini juga telah masuk 10 besar Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sthala - Ubud Village Jazz Festival tahun kedua ini akan mempersembahkan 16 penampilan solo, duo, grup, dan kolaborasi lintas negara dari tanah air, Jerman, Swiss, Prancis, Italia, Polandia, Rusia, dan lainnya selama dua hari, 2 dan 3 Agustus 2024.
Keenambelas penampil itu terdiri musisi jazz lokal seperti Adien Fazmail Quinteto, Collective Harmony, Dian Pratiwi, Jazz Centrum Quartet, Galaxy Big Band, FAWR Trio, Benny Irawan Trio, dan kolaborasi lintas negara seperti Erick Chuong Trio (Hongkong) featuring Sinuksma & Kanhaiya.
Ada juga penampilan kolaborasi dan musisi mancanegara seperti Claudio Diallo (Swiss) with Indra Gupta & Gustu Brahmanta, New Centropezn Quartet (Rusia), Noé Clerc Trio (Prancis), Rason, Rodrigo Parejo Quartet (Spanyol), Simone Prattico Trio (Italia), Uwe Plath Quartet (Jerman), dan Zagórski/Skowroński Project (Polandia) featuring Kajetan Galas.
"Kalau menotalkan jumlah musisi agak susah karena satu band itu jumlahnya berbeda, ada big band dari Jakarta itu nanti 23 musisi di sana. Ya, komposisinya dari seluruh penampil selama dua hari itu, 50 persen lokal, 50 persen internasional," kata Yuri.
Di Sthala Ubud, tiga panggung ramah lingkungan berbahan bambu akan berdiri yakni Giri, Padi, dan Subak. Panggung ini ada di bantaran (riverside) Tukad Wos yang menawarkan suasana eksotis. Ketiga panggung ini juga diprediksi mendapat pemandangan langit senja dari teduh dan rimbunnya vegetasi sekitar menambah indah suara melodi jazz.
Dan mulai tahun ini pula, UVJF secara resmi menjadi 'sister festival' dengan Rostov International Jazz Festival, Rusia. Ke depannya, program pertukaran musisi jazz antarkedua negara bakal dilakukan melalui Ubud dan Rostov.
"Tahun ini, kami menargetkan penonton sebanyak 2.500 orang per hari atau setengah dari kapasitas yang bisa ditampung Sthala. Kebanyakan penonton ini ekspat dan wisatawan asing. Ada juga yang sudah reguler dan tahu jadwal UVJF tiap tahun," imbuh Anom. *rat
Sepasang sahabat, Anom Darsana dan Yuri Mahatma adalah dua tokoh idealis di balik festival jazz yang idealis ini. Sebelum mereka bertemu sekitar tahun 2009 silam, Anom masih berkarier di Swiss sebagai sound engineer (teknisi audio) dan Yuri berkarier sebagai musisi dan komposer musik jazz tanah air.
"Saya sempat sekolah di Swiss, setelah tamat sempat kerja sound engineering di festival seperti Montreux Jazz Festival, Cully Jazz Festival, dan Lussane Jazz Festival di Swiss sebelum saya pulang ke Bali dan mendirikan Antida Music," kata Anom, di konferensi pers UVJF Ke-11 Tahun 2024 di Sthala Ubud, Gianyar, Kamis (25/7/2024).
Kembali ke Bali, Anom dan Yuri dipertemukan oleh kesamaan pemikiran terhadap musik jazz tanah air, sampai mereka ke satu titik di mana mempertanyakan mengapa tidak ada festival jazz yang idealis di tanah air. Ada banyak festival jazz namun tidak benar-benar murni menampilkan musisi jazz.
Kata Anom, Indonesia memiliki banyak talenta jazz namun semuanya tidak bisa diakomodir festival jazz yang juga banyak di tanah air. Sebab, dengan alasan komersial dan menarik massa, tidak semua musisi yang ditampilkan festival-festival ini seorang 'Cat' (sebutan gaul antarsesama musisi jazz).
"Akhirnya, mengapa tidak kami bikin festival jazz yang unik, yang benar-benar murni jazz. Festival lain bisa besar mungkin bukan karena jazznya tapi karena ada musisi yang digemari masyarakat tapi tidak murni jazz," ungkap Anom.
Tahun 2013 jadi edisi pertama UVJF dan digelar di Arma Museum, Ubud. Meski sudah digelar di pusat aktivitas wisatawan asing, UVJF perdana hanya dihadiri 150 penonton. Anom mengakui, mengenalkan jazz ke publik cukup sukar dan jika dilihat dari sisi komersial, laporan keuangan UVJF merah hingga edisi keempat.
Di samping itu, musisi yang ditampilkan tidak dilihat dari segi kepopuleran melainkan dipilih berdasarkan kualitas musiknya. Hal ini memperparah kondisi UVJF edisi pertama dari segi komersial. Tapi, pemikiran idealis untuk terus mengadakan festival jazz bagi para Cats dan pecintanya tidak surut walau besar pasak daripada tiang.
Idealisme itu lantas membuahkan hasil, UVJF mulai dilirik penonton dan pemerintah lantaran bertransformasi jadi destinasi wisata khusus. Wisatawan asing mengalir ke Bali untuk menonton festival ini, kamar-kamar hotel sekitar pun penuh. UVJF jadi rumah untuk para Cats nasional dan internasional menjadi diri sendiri di atas panggung.
"UVJF jadi festival yang disukai musisi jazz. Kami tidak akan pernah mengubah idealisme ini, kami ada di jalur jazz dan akan tetap di jalur ini. Kami dikenal karena ini, sampai ada musisi di Jakarta yang bilang, 'Kamu belum jadi musisi jazz kalau belum manggung di UVJF' dan ini jadi kebanggan bagi kami," tutur Anom.
UVJF disebut bukan ladang mencari untung para pendiri, tapi murni menyalurkan idealisme. Kata Anom, mereka masing-masing punya kesibukan dan usaha sendiri dan komite UVJF baru berkumpul sebulan sebelum festival dimulai. Yuri bahkan memberikan komentar yang lebih keras ketika ditanya idealisme UVJF di tengah festival jazz yang semakin moderat.
"Menurut saya pribadi, memasukkan musisi di luar jazz itu jadi ibarat aib untuk UVJF. Tapi, idealisme kami ini dalam hal konten musik yang harus jazz, dalam hal kolaborasi, kami menerima bentuk seni lain di luar seni musik," tegas Yuri yang juga kurator UVJF di konferensi pers, Kamis siang.
Berkat idealisme yang dipegang satu dekade ini, UVJF kini jadi barometer musik jazz nasional dan internasional. Salah satu penampil UVJF Ke-11 tahun ini, Uwe Plath, saksofonis asal Dortmund, Jerman jadi saksi hidup UVJF perdana dengan 150 penonton di awal, hingga jadi festival jazz sekaliber sekarang. Plath juga akan tampil lagi di UVJF tahun ini.
"UVJF telah memberikan warna di dunia jazz internasional. Saya masih ingat tampil pertama kali di acara perdana dan sejak itu selalu ada peningkatan. Di Eropa, UVJF ini sudah punya nama dan saya selalu mendapat pertanyaan bagaimana agar bisa datang ke sini, bagaimana agar bisa tampil di sini," ungkap Plath.
Setelah melewati sembilan edisi penyelenggaraan di Arma Museum, sejak edisi ke-10 tahun 2023 lalu, lokasi UVJF digeser ke Sthala Ubud, Jalan AA Gede Rai, Jalan Raya Mawang Kelod, Desa Lodtuduh, Ubud, Gianyar. UVJF Ke-11 tahun ini dan setidaknya empat edisi ke depan akan digelar di Sthala Ubud.
Alasan utama bergesernya UVJF ke Sthala adalah karena lokasi yang tersedia di Arma Museum sudah tidak mampu mengakomodasi penambahan panggung menjadi tiga. Alasan kedua adalah problem kemacetan di Ubud, khususnya akses menuju Arma Museum di Jalan Raya Pengosekan, Desa Mas, Ubud, Gianyar.
UVJF Ke-11 ini juga telah masuk 10 besar Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sthala - Ubud Village Jazz Festival tahun kedua ini akan mempersembahkan 16 penampilan solo, duo, grup, dan kolaborasi lintas negara dari tanah air, Jerman, Swiss, Prancis, Italia, Polandia, Rusia, dan lainnya selama dua hari, 2 dan 3 Agustus 2024.
Keenambelas penampil itu terdiri musisi jazz lokal seperti Adien Fazmail Quinteto, Collective Harmony, Dian Pratiwi, Jazz Centrum Quartet, Galaxy Big Band, FAWR Trio, Benny Irawan Trio, dan kolaborasi lintas negara seperti Erick Chuong Trio (Hongkong) featuring Sinuksma & Kanhaiya.
Ada juga penampilan kolaborasi dan musisi mancanegara seperti Claudio Diallo (Swiss) with Indra Gupta & Gustu Brahmanta, New Centropezn Quartet (Rusia), Noé Clerc Trio (Prancis), Rason, Rodrigo Parejo Quartet (Spanyol), Simone Prattico Trio (Italia), Uwe Plath Quartet (Jerman), dan Zagórski/Skowroński Project (Polandia) featuring Kajetan Galas.
"Kalau menotalkan jumlah musisi agak susah karena satu band itu jumlahnya berbeda, ada big band dari Jakarta itu nanti 23 musisi di sana. Ya, komposisinya dari seluruh penampil selama dua hari itu, 50 persen lokal, 50 persen internasional," kata Yuri.
Di Sthala Ubud, tiga panggung ramah lingkungan berbahan bambu akan berdiri yakni Giri, Padi, dan Subak. Panggung ini ada di bantaran (riverside) Tukad Wos yang menawarkan suasana eksotis. Ketiga panggung ini juga diprediksi mendapat pemandangan langit senja dari teduh dan rimbunnya vegetasi sekitar menambah indah suara melodi jazz.
Dan mulai tahun ini pula, UVJF secara resmi menjadi 'sister festival' dengan Rostov International Jazz Festival, Rusia. Ke depannya, program pertukaran musisi jazz antarkedua negara bakal dilakukan melalui Ubud dan Rostov.
"Tahun ini, kami menargetkan penonton sebanyak 2.500 orang per hari atau setengah dari kapasitas yang bisa ditampung Sthala. Kebanyakan penonton ini ekspat dan wisatawan asing. Ada juga yang sudah reguler dan tahu jadwal UVJF tiap tahun," imbuh Anom. *rat
Komentar