Buat Apa ke Bali?
PENEMUAN laboratorium narkoba di tengah kebun di Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyar (NusaBali, 24/7), kian menambah deretan pertanyaan: untuk apa sesungguhnya orang-orang ke Bali? Benarkah mereka ke pulau ini semata untuk piknik seperti lebih setengah abad silam?
Syahdan, di zaman pemerintahan raja-raja di Jawa Timur, seperti Singasari, Daha, atau Kediri, orang-orang Jawa yang datang ke Bali adalah manusia pilihan, bukan orang sembarangan. Mereka datang berkelompok, dipimpin para mpu. Dari rombongan inilah kita mengenal nama-nama besar dalam sejarah Bali, seperti Dang Hyang Nirartha, Mpu Kuturan. Merekalah yang mewariskan kebesaran bagi Bali, sehingga pulau ini punya taksu, kekuatan gaib, sesuatu yang sulit dipahami, tapi ada dan punya wibawa maha besar.
Dulu, orang-orang Jawa ke Bali memberi bimbingan untuk menata wilayah, pemerintahan, dan memberi garis-garis batas pada tindakan-tindakan moralitas yang tinggi. Mereka membentuk aturan-aturan agar orang-orang Bali bersatu, senantiasa takluk dan takzim pada leluhur. Zaman keemasan kerajaan di Bali justru ditandai oleh pengaruh besar orang-orang suci dari Jawa Timur. Tak bisa dielakkan, adat istiadat, kehidupan beragama, hubungan kekerabatan dalam bentuk kelompok-kelompok banjar di seluruh Bali, adalah berkat jasa orang Jawa. Kebudayaan ini antara lain melahirkan gaya berkesenian yang khas, kemudian memberi keharuman pada Bali.
Orang-orang Barat pun kesengsem, yang kemudian sangat berjasa mempopulerkan Bali sebagai sebuah taman yang harus terus dicatat di peta dunia. Walter Spies, Rudolf Bonnet, Miguel Covarrubias, adalah beberapa orang Barat yang membuat Bali terkenal. Dulu mereka ke Bali karena ingin mengetahui kehidupan yang asli, eksotis, dan sangat dekat dengan kebudayaan purba. Baru orang-orang yang datang belakangan menyebut Bali klasik, Bali unik, tak lagi purba.
Popularitas, kekayaan, kebahagiaan, harapan, mimpi, keajaiban, bisa diberikan oleh Bali. Karena manusia adalah pemimpi, tak heran jika orang macam apa pun, dari mana pun, mencoba mengadu untung di Bali. Kekayaan dan popularitas itu bisa dijamah di sini karena yang datang ke Bali adalah orang-orang tamasya. Mereka datang karena senang atau sedang susah di negerinya, mau melupakannya dengan mencari kesenangan di Bali. Jika hendak bertemu orang yang tertawa ngakak karena kesenangan, datanglah ke Bali. Mereka lebih longgar membagi rezeki. Di Bali, mereka menikmati keramahan penduduk yang bisa mereka beli.
Kaum plesiran itu seperempat abad silam tak terlampau mengkhawatirkan, karena tak sampai mendesak-desak. Tapi kemudian yang datang selain bertambah terus jumlahnya, tingkah polah mereka pun macam-macam. Karena mereka datang membawa perasaan senang dan banyak uang, tentu apa salahnya dilayani?
Pariwisata telah membuat aliran manusia ke Bali sangat deras. Yang datang tak semata orang plesir, juga mereka yang hendak menggapai mimpi agar bisa punya banyak uang. Kini sudah populer, kalau ingin cepat punya banyak duit dengan gampang, datang dan bekerjalah di Bali.
Bekerja di Bali sekarang ini bisa berarti macam-macam. Pariwisata menyediakan seabrek pekerjaan baik, dan banyak sekali pekerjaan buruk. Orang baik-baik bisa segera menjadi jahat jika datang ke Bali, karena godaan mendapat sesuatu dengan cara mudah, sangat besar.
Sudah begitu rusakkah Bali? Ya, jika dihitung-hitung sekarang ini banyak sekali orang jahat dan pekerjaan buruk yang membuat orang tak cukup menjadi kejam, tapi juga menjadi sangat nista. Di destinasi wisata acap kehormatan tak lagi ada artinya di kalangan penjaja seks, yang merengek-rengek pada wisatawan asing di sepanjang trotoar. Ini sudah terjadi sejak akhir 1980-an.
Sejak lama orang khawatir degradasi moral yang disebabkan oleh turisme akan merusak masyarakat Bali. Tapi itu tak sepenuhnya terbukti hingga kini. Ekses turisme itu hanya berpola dalam lingkaran bisnis industri turisme, tidak menusuk ke inti kehidupan orang Bali. Tapi lingkaran itu membutuhkan wilayah, waktu, dan pendukung, karena mereka memiliki proses untuk tetap hidup dan berkembang.
Ekses turisme memang dahsyat. Masyarakat Bali selalu membanggakan kehidupan adat dan beragama mereka pasti ampuh menangkal bermacam ekses itu. Tapi belakangan mereka mulai kecut, karena desakan-desakan itu semakin kuat, dan mulai merusak wilayah-wilayah suci yang mereka keramatkan.
Pertanyaan sederhana untuk apa ke Bali pun jawabannya berkembang dari waktu ke waktu., tergantung kapan, kepada siapa, pertanyaan itu dilontarkan. Pendatang ke Bali kini tak semata pelancong yang tinggal satu atau dua pekan, juga orang-orang menetap. Di antara mereka sering membuat Bali susah. Ekses pendatang menetap ini acap jauh lebih berat, dan tak bisa cukup ditangkal tuntas oleh kehidupan adat istiadat dan agama. 7
Komentar