Berkunjung ke Banjar Tapesan, Desa Abiantuwung, Tabanan yang Dikenal Penghasil Pandan Harum
Warga se-Banjar Budidayakan Pandan Harum, Produksi Kembang Rampe
Menariknya untuk menciptakan mesin pengering kembang rampe seluruh warga di Banjar Tapesan menggunakan mesin cuci yang sudah dimodifikasi khusus
TABANAN, NusaBali
Banjar Tapesan di Desa Abiantuwung, Kecamatan Kediri, Tabanan selama ini dikenal sebagai penghasil pandan harum atau yang biasa disebut kembang rampe. Hampir seluruh warganya menggantungkan hidup menjadi petani pandan harum hingga berbisnis produksi kembang rampe.
Bahkan karena dinilai menjanjikan sejak tahun 2.000 masyarakat yang awalnya menanam padi beralih menanam daun pandan harum. Sebagai warga Bali pandan harum atau kembang rampe ini digunakan sebagai sarana upakara terutama mempercantik canang sari. Ketika memasuki Banjar Tapesan, kanan kiri jalan sudah disambut dengan tanaman pandan harum ini. Meskipun memiliki lahan sempit, pandan harum tetap menjadi pilihan untuk ditanam warga. Bahkan ada pula warga yang menanam padi hanya sepetak saja.
Salah satu rumah produksi kembang rampe di banjar Tapesan.-DESAK SUMBERWATI
Kelian Dinas Banjar Tapesan, I Putu Surya Adi Pradana mengatakan budidaya pandan harum yang sudah dilakukan warganya adalah warisan leluhur. Sebelum itu areal persawahan di Banjar Tapesan ini ditanam padi kemudian beralih ke pandan harum. "99,99 persen beralih ke pandan harum ini dari tahun 2.000," ujarnya, Senin (29/7).
Menurutnya, budidaya pandan harum hingga menjadi bisnis rumahan mengalir begitu saja. Awalnya budidaya pandan harum tersebut hanya ada di daerah Buduk, Mengwi, Badung kemudian berkembang ke Banjar Tapesan. Sehingga sekarang setiap rumah tangga di Banjar Tapesan bergelut di bidang budidaya pandan harum langsung diproduksi menjadi kembang rampe. "Kalau dibilang warisan iya, karena dari orang tua dulu sudah berbudidaya. Padahal dulu areal persawahan kami di sini padi, sekarang beralih ke pandan harum karena memang menjanjikan," katanya. Dengan budidaya pandan harum ini, warga di Banjar Tapesan memilih sebagai pekerjaan utama.
Meskipun ada yang menjadi pegawai negeri namun tetap memiliki usaha budidaya daun pandan tersebut. Bahkan ada pula warga yang tidak memiliki lahan, tapi mereka rela mengontrak lahan untuk berbudidaya pandan harum. "Paling tidak setiap rumah tangga itu memiliki lahan sekitar 10 are," terang Adi Pradana. Sementara itu salah seorang petani pandam harum, I Made Muja mengatakan dia sudah menggeluti budidaya pandan harum ini sejak 20 tahun lalu. Awalnya pekerjaan tersebut adalah warisan orang tuanya kemudian diteruskan sampai sekarang.
"Saya memiliki lahan 10 are, dulunya kami menanam padi, kemudian beralih lahan ditanam pandan harum. Kalau padi tanam di sini tidak bagus hasilnya sering gagal panen," akunya. Menurut dia, dalam perawatan pandan harum ini tidak begitu mudah. Harus dilakukan perawatan berkala seperti pemupukan, penyemprotan, hingga penyiraman. Sebab jika tidak dirawat dengan baik, daun pandan harum nantinya akan diserang hama ulat yang menyebabkan pohon busuk.
Selain itu perawatan di saat musim kemarau juga harus dilakukan ekstra. Karena jika kekurangan air, pandan harum pun menjadi kuning dan mati. "Kalau perawatan ekstranya itu saat musim kemarau. Jika tidak ada air dari irigasi kami harus menyedot air dari sungai. Ini yang sulit," kata Muja. Untuk saat ini pandan harum yang diproduksi menjadi kembang rampe tersebut pemasaran dilakukan di sekitar Pasar Mengwi, Badung. Sehari sekali panen biasanya dia membawa sekitar 60 kg hingga 150 kg tergantung pesanan.
Mesin cuci ‘modifikasi’ yang digunakan sebagai pengering kembang rampe.-DESAK SUMBERWATI
Namun apabila hari raya permintaan pandan harum ini melonjak tinggi. Sehari dia harus membawa sampai 200 kg ke Pasar Mengwi. "Langganan saya kebanyakan ada di Pasar Mengwi. Nanti yang di Pasar Mengwi akan membawa ke pedagang lain. Bisa sampai ke daerah Jimbaran," beber Muja. Mengenai harga, Muja menjual bervariatif. Karena pandan harus yang sudah dijadikan kembang rampe ini diproduksi menjadi dua versi. Ada yang versi original dan versi memakai warna hijau (warna makanan). Untuk yang original per kilogram dijual Rp 7.000 dan yang menggunakan warna dijual Rp 9.000 per kilogram.
"Sekarang permintaan banyak yang meminta menggunakan warna. Selain bisa bertahan lama sampai lima hari, juga dari segi keindahan warnanya lebih segar. Kalau yang original hanya bisa bertahan dua hari, selepas itu pandan akan menjadi kuning," tuturnya.
Muja pun membeberkan sekilas, pandan harum yang habis dipetik hingga siap digunakan untuk perlengkapan upakara. Awalnya daun pandan tersebut dipetik. Dalam pemetikan ini satu pohon cukup diambil tiga helai untuk menghindari pohonnya mati. Kemudian daun yang sudah dipetik langsung dipotong menggunakan mesin pemotong. Setelah terkumpul daun pandan yang sudah dipotong siap diwarnai. Bahkan cara mewarnai pun ada tekniknya. Pandan yang sudah dipotong dipindahkan ke dalam wadah besar yang berisi air. Kemudian dicampur warna sesuai takaran.
Jika sudah tercampur merata pandan harum yang sudah dipotong ini dimasukkan ke dalam mesin pengering selama 5 menit. Menariknya untuk menciptakan mesin pengering ini seluruh warga di Banjar Tapesan menggunakan mesin cuci yang sudah dimodif. Sesudah kering barulah pandan harum siap dijual. "Tujuan dikeringkan biar pandan tidak cepat busuk atau basah," tandas Muja. Bahkan dengan usahanya ini keuntungan yang didapat Muja lumayan banyak. Sehari untuk bersih yang sudah dia dapat sekitar Rp 150.000. Nah, jika ditotal tiap bulannya keuntungan bersih didapat mencapai Rp 4.500.000. "Berkat usaha ini, saya juga bisa menyekolahkan anak-anak sampai di tingkat kuliah," akunya.
Dia pun berharap usahanya ini bersama warga lainnya di Banjar Tapesan bisa terus berkembang dan lestari. Apalagi dalam prosesnya tidak hanya mencari uang saja melakoni pekerjaan budidaya pandan harum, tetapi juga bagian dari melestarikan budaya. 7 des
Komentar