MUTIARA WEDA: Kemarahan Itu Tidak Ada
sangkalpa-buddhi-samvargah kama-sya 'sya parayanah, ihate 'tmanah tushtah tato yasya paripanthinah.(Bhagavad Gita 2.62).
Sambil merenungkan objek-objek indra, seseorang mengembangkan rasa keterikatan terhadapnya. Dari keterikatan itu, timbullah keinginan, dan dari keinginan itu, muncul kemarahan.
TEKS di atas mengajak kita untuk menganalisa dan membuktikan sendiri tentang apa itu wujud kemarahan. Dari mana kemarahan berasal? Indriya yang bersentuhan dengan objek-objeknyalah awalnya. Faktanya memang indriya selalu bersentuhan dengan objek-objeknya.
Oleh karena itulah, pikiran bisa mempersepsi, mempertimbangkan, dan menilai. Segera setelah indriya bersentuhan dengan objek-objeknya, rasa suka dan tidak suka dari pikiran menyertainya. Setelah itu keterikatan terjadi. Saat terikat pada satu objek, maka keinginan mengikuti.
Seperti misalnya, ibu-ibu datang ke supermarket. Niat awalnya hanya jalan-jalan. Setelah di sana, ada beragam barang disajikan. Dari semua barang itu, beberapa di antaranya menarik perhatiannya. Dia berniat untuk memilikinya. Keinginan untuk membeli pun sangat kuat. Namun, alas, uang tidak punya. Kemarahan pun muncul.
Jadi, kemarahan adalah ekspresi dari keinginan yang tidak kesampaian. Kemarahan hadir ketika keinginan tidak terpenuhi. Persoalan besarnya sekarang adalah kemarahan itu sangat berbahaya. Berbagai hal buruk bisa terjadi oleh karena kemarahan.
Keluarga bisa bersitegang, dengan tetangga bisa cekcok, antarkampung saling serang, bahkan antarnegara bisa berperang. Yang urgen adalah bagaimana mengatasinya? Bagaimana agar kemarahan tidak menguasai? Ini bukan persoalan mudah. Untuk mengendalikan marah itu tidak sederhana. Mengapa? Jika kita telusuri, cari-cari, kita tidak akan pernah bisa menemukan marah itu seperti apa bentuknya, di mana letaknya, dan berapa kekuatannya.
Biasanya, kita mudah mengendalikan sesuatu jika sesuatu itu ada bentuknya, tahu lokasinya, dan paham kekuatannya. Kita bisa memprediksi senjata apa yang digunakan untuk menghadapinya, berapa kekuatan yang diperlukan untuk menghancurkannya.
Oleh karena kemarahan itu tidak bisa ditemukan, maka tidak bisa dikendalikan. Namun, faktanya, keadaan itu menghancurkan, daya hancurnya luar biasa. Kemarahan itu seolah-oleh bukan eksisten, tetapi daya ledaknya dahsyat. Satu-satunya yang mesti dicari adalah pemicunya. Apa pemicunya? Kontak antara indriya dengan objeknya adalah pemicunya.
Apakah mungkin kita melatih diri agar indriya kita terbebas dari objek-objeknya? Rasanya mustahil, sebab, saat mata terbuka, yang dilihat adalah objek. Saat telinga terbuka, suara terdengar, demikian juga indriya lainnya. Kontak antara indriya dan obejk adalah desain semesta, yang kondisinya memang telah demikian, tidak bisa diapa-apakan.
Lalu apa yang bisa dikerjakan? Satu-satunya cara yang masih tersisa adalah, pertama memahami bahwa kondisinya memang demikian. Paham bahwa desain semesta itu tidak bisa digantikan. Yang diperlukan adalah memahami dan mengikutinya tanpa pertanyaan. Kedua, pemahaman itu kemudian dihubungkan dengan goal kehidupan.
Goal kehidupan kita adalah untuk kembali ke sumber awal. Keinginan-keinginan duniawi ini hanya sementara. Dengan memahami goal kehidupan secara baik, serta memahami dengan benar nature dari hubungan indriya-objek, maka konsekuensi atas keinginan-keinginan yang hadir bisa diminimalisir.
Kita akan paham bahwa rasa suka dan tidak suka adalah hal yang alami terjadi, karena memang itu ada di dalam tubuh. Ini disebut dengan mala atau kekotoran batin. Rasa suka (raga) dan tidak suka (dvesa) adalah dua jenis kekotoran batin yang senantisa menyertai kehidupan kita kapan saja.
Menyadari kondisi ini menjadi kunci. Goal kita hidup bukanlah sesuatu yang bersifat duniawi. Benda-benda yang ada, objek-objek yang disenangi maupun yang tidak disenangi sepenuhnya bersifat sementara, sehingga kita bisa membuat diri untuk tidak terikat dengannya. Keberadaannya memang tidak terelakkan, tetapi keputusan untuk tidak terikat ada di tangan kita.
Jika kita mampu tidak terikat, meskipun tetap berhubungan dengan objek-objek, maka keinginan akan terkendali. Jika keinginan terkendali, maka kemarahan secara otomatis terkendali. Bisa dikatakan bahwa kemarahan itu adalah bayangan dari keinginan yang tidak terpenuhi. Jika keinginan kita bisa dikendalikan dengan baik, maka bayangannya juga bisa dikendalikan. Tentu agar kita bisa mengendalikan bayangan dari keinginan yang tidak tercapai itu, pemahaman akan hubungan indriya-objek dan goal of life menjadi kunci. Pemahaman inilah membuat kemarahan itu tidak berdaya. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
1
Komentar