nusabali

Prof Dr I Nengah Sudipa MA Guru Besar Sastra Inggris yang Tetap Cintai Bahasa Bali

  • www.nusabali.com-prof-dr-i-nengah-sudipa-ma-guru-besar-sastra-inggris-yang-tetap-cintai-bahasa-bali

DENPASAR, NusaBali - Menggeluti profesi sebagai dosen dan peneliti sastra Inggris tidak menjadikan guru besar Universitas Udayana (Unud) Prof Dr I Nengah Sudipa berhenti mencintai Bahasa Bali sebagai bahasa ibu. Bertepatan hari ulang tahun ke-70, Rabu (31/7), guru besar kelahiran Desa Duda Timur, Kecamatan Selat, Karangasem ini memasuki masa purnabhakti.

Buku purnabhakti yang berisi sejumlah karyanya selama ini turut melepas dosen yang dikenal para koleganya memiliki karakter bersahaja ini. Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana menggelar acara pameran dan bedah buku purnabhakti Prof Sudipa di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Denpasar. 

Dalam buku yang disunting kedua putranya tersebut, Prof Sudipa tidak hanya menulis dalam bahasa Inggris yang merupakan bidang kepakarannya. Namun, juga ada gagasan yang disampaikannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bali. Tulisan bahasa Bali bahkan ada pada bagian awal buku, dilanjutkan tulisan berbahasa Indonesia, dan terakhir karya-karya dalam bahasa Inggris. Menarik, karena jelang purnabhaktinya, Prof Sudipa yang menamatkan masternya di Monash University, Australia ini cukup produktif menulis dalam bahasa Bali.  Beberapa cerpen berbahasa Bali di antaranya berjudul Gulem, Gering, Punia, hingga Maluan Durian memiliki filosofi masyarakat Bali yang hidup dan bertumbuh dalam kesadarannya selama ini. 

Selain cerpen terdapat juga beberapa artikel berbahasa Bali yang dua di antaranya terbit di Harian Umum NusaBali, yakni berjudul Mulat Sarira (terbit Minggu, 21 Januari 2024) dan Kangin Kauh (Minggu, 11 Februari 2024). “Tulisan saya itu sesuai dengan kejiwaan saya saat itu kalau dalam bahasa Bali disebut ‘kleteg bayu’,” kata Prof Sudipa. Cerpen Gulem misalnya dibuat Prof Sudipa pada tahun 2017 saat berkunjung ke Padang, Sumatera Barat. Cerita ini menyampaikan pesan bahwa kegelapan tidak hanya ada di alam semesta (makrokosmos) tetapi juga di dalam diri (mikrokosmos).

“Cerpen Gulem sebenarnya saya tulis 2017 pada waktu mengalami kabut asap ketika berkunjung ke Padang, Sumatera Barat. Sampai di Bali langsung saya tulis,” ujarnya. Prof Sudipa mengatakan, buku purnabhakti yang disiapkannya selama lima tahun terakhir ini sengaja menampilkan tulisan dalam tiga bahasa. “Itu antara lain tujuannya adalah untuk mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing,” ucap suami dari Ni Made Suapti Karma ini. 

“Apa yang saya tulis ini masih perlu disempurnakan. Semua yang saya kerjakan saya serahkan kepada Sang Pemilik Waktu, semoga memberi saya kesempatan untuk berkarya lagi,” tambahnya. 

Sepanjang puluhan tahun pengabdiannya di bidang akademis, Prof Sudipa telah berhasil menerbitkan puluhan buku. Ia pun beberapa kali diminta menjadi dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di luar Bali. Prof Sudipa berpesan agar anak muda tekun menimba ilmu. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan merupakan kekuatan agar berhasil mengukir kehidupan yang indah. 

“Saya titip hari ini bagaimana kita bisa mengukir kehidupan menggunakan ilmu yang kita miliki sebagai power,” ucapnya. Sementara itu Guru Besar Linguistik Universitas Andalas, Sumatera Barat, Prof Dr Oktavianus MHum, yang membedah buku purnabhakti Prof Sudipa mengatakan penggunaan tiga bahasa dalam buku bukanlah sebuah kebetulan. “Ini adalah cerminan sikap bahasa Prof Sudipa. Beliau mencintai bahasa Bali, menyayangi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan menguasai bahasa Inggris yang digunakan untuk mendalami linguistik selama ini,” ujar Prof Oktavianus. 

Prof Oktavianus menambahkan, pengalaman hidup Prof Sudipa yang panjang, lahir di sebuah desa Bali yang terpencil hingga berhasil menyelesaikan pendidikan di luar negeri, tercermin dalam filosofi yang mendalam pada tulisan-tulisan buku purnabhakti ini. Tulisan menarik berjudul ‘Usia’ misalnya, secara halus mengkritik egoisme manusia yang meminta umur panjang. Sebaliknya para binatang justru sebaliknya meminta umur yang lebih pendek dari yang ditawarkan Hyang Tunggal. “Penjelajahan Prof Sudipa ke belantara ilmu pengetahuan sampai memasuki purnabhakti tidak hanya mengantarkan beliau ke hiruk pikuk pengkajian bahasa atau linguistik, tapi juga ke perenungan mendalam tentang hakikat (kehidupan),” ujar Prof Oktavianus. 7 a 

Komentar