Harga Nener Nyungsep, Petambak Menjerit
SINGARAJA, NusaBali - Sejak dua bulan terakhir, para petani tambak di Kecamatan Gerokgak, Buleleng yang budidaya nener (benih bandeng) tengah mengalami masa sulit.
Anjloknya harga nener ke titik terendah, ditambah minimnya permintaan pasar, membuat para petambak merugi dan kesulitan bertahan.
Indrawan, seorang pengusaha tambak nener di Desa/Kecamatan Gerokgak, mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi ini. “Situasi ini seperti buah simalakama. Jika kami menghentikan usaha, banyak pekerja akan kehilangan mata pencaharian. Namun, jika diteruskan, kami sulit bertahan karena biaya operasional yang tinggi,” keluhnya, dikonfirmasi Rabu (31/7) siang.
Kata dia, saat ini harga nener yang terus menurun hingga mencapai Rp 2 per ekor, jauh di bawah harga pokok produksi. Hal itu membuat para petambak merugi besar. “Kami tidak tahu apa penyebab pasti anjloknya harga nener. Padahal, Buleleng dikenal sebagai sentra pembibitan bandeng,” tambah Indrawan.
Padahal, menurutnya untuk berada di titik impas harga per ekor setidaknya ada di kisaran Rp 10 ke atas. Ia pun mengaku tidak mengetahui penyebab anjloknya harga nener. “Petani tambak semua menjerit, kami juga tidak mengetahui apa sebabnya. Saat ini bisa untuk menutup biaya listrik saja sudah syukur,” imbuhnya.
Anjloknya harga nener tidak hanya berdampak pada para petani tambak, tetapi juga pada perekonomian lokal. Banyak sektor usaha yang terkait dengan budidaya nener, seperti produsen pakan dan jasa transportasi, ikut terimbas. Pemerintah daerah diharapkan segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk membantu para petani tambak.
Hal senada juga disampaikan petani budidaya lainnya, Hengky Putro Raharjo. Ia juga mengaku merasakan dampak buruk dari penurunan harga nener. Menurutnya, fluktuasi harga yang sangat tajam membuat para petani sulit merencanakan produksi. “Penurunan permintaan nener hingga 75 persen sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.
Untuk mengatasi masalah ini, Hengky mengusulkan beberapa solusi, seperti pengembangan budidaya keramba jaring apung (KJA) dan keramba tancap laut (KTL). “Dengan cara ini, nener hasil penetasan dapat dibesarkan hingga siap tebar ke laut,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya kerja sama semua pihak, termasuk pemerintah, untuk mencari solusi jangka panjang. “Jika tidak segera ditangani, Buleleng bisa kehilangan statusnya sebagai sentra penghasil nener terbesar,” tegasnya.7 mzk
Komentar